Sekaa Gong Kebyar Gema Giri Kusuma Badung dan Sanggar Seni Anglocita Suara Buleleng Satu Panggung di PKB ke-47

 Sekaa Gong Kebyar Gema Giri Kusuma Badung dan Sanggar Seni Anglocita Suara Buleleng Satu Panggung di PKB ke-47

Sekaa Gong Kebyar Gema Giri Kusuma Badung/Foto: ist

SEKAA Gong Kebyar Dewasa Wira Agra Kusuma dari Desa Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung tampil memukau dalam ajang Utsawa (Parade) Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47, Jumat 11 Juli 2025.

Tampil di panggung terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Provinsi Bali sekaa gong dalam balutan busana sesaputan yang anggun, mereka menyuguhkan tiga garapan unggulan yang lahir dari rahim kearifan local Desa Blahkiuh.

Diawali dengan menyajikan Tabuh Lelambatan “Giri Kusuma”, lalu Tari Kreasi Kekebyaran “Kakundur”, dan diakhiri dengan Fragmentari “Sabda Prawara”. Sekaa Gong Wira Agra Kusuma tampil dengan identitas yang kuat, sarat makna spiritual.

Ribuan pasang mata terpaku pada penampilan energik yang penuh estetika ini. Tak hanya warga umum, hadir pula Bupati Badung I Wayan Adi Arnawa beserta istri, para tokoh adat, dan masyarakat Blahkiuh yang datang memberi dukungan pada jagoan desanya.

Baca Juga:  Tari Janger dan Legong Banjar Bengkel tetap Lestari

Penampilan Sekaa Gong Wira Agra Kusuma malam itu terasa istimewa karena tampil mabarung bersama Duta Kabupaten Buleleng, Sanggar Seni Anglocita Suara dari Banjar Adat Penarungan. Kedua duta kabupaten ini saling menghidupkan panggung, dan mampu mengundang kagum.

Koordinator Parade Gong Kebyar Dewasa Duta Badung, I Wayan Sandiasa menjelaskan, semua garapan mereka lahir dari filosofi Pura Luhur Giri Kusuma yang menjadi sumber spiritual masyarakat Blahkiuh.

Tabuh Nem “Giri Kusuma” digarap oleh I Wayan Gede Arnawa, S.Sn., sebagai ekspresi syukur atas anugerah alam dan harmoni kehidupan. “Tabuh ini bercerita tentang alam yang subur, masyarakat yang makmur, dan kesadaran akan hubungan sakral manusia dengan semesta,” ujarnya.

Dalam narasinya, “Giri” berarti gunung dan “Kusuma” berarti bunga. Pura Luhur Giri Kusuma berdiri megah di ketinggian, menjadi pusat spirit religius masyarakat desa. Lewat tabuh ini, Wira Agra Kusuma menggambarkan semangat lokal sebagai pilar Jagat Kerthi — tema besar PKB tahun ini.

Baca Juga:  Dolanan Gayung Batu, Undang Decak Kagum Penonton PKB Ke-47

Tari Kreasi Kekebyaran “Kakundur” menjadi karya yang mencuri perhatian. Ditata oleh tim koreografer dan komposer yang dikomandoi Dr. I Gusti Made Darma Putra, tari ini memvisualkan permata budaya Blahkiuh, yang berpijak pada warisan leluhur Hyang Ratu Panji.

Dengan irama cak yang menghentak dan gerak yang khas, “Kakundur” menyulap panggung menjadi ruang sakral, tempat memori dan identitas desa menari bersama zaman.

“Tari ini terinspirasi dari mahkota sakral peninggalan Dang Hyang Nirartha yang disimpan di Pura Luhur Giri Kusuma. Kakundur bukan sekadar tari, tapi pusaka gerak yang menggetarkan bumi dengan irama cak abadi,” tegasnya.

Puncak pertunjukan ditutup dengan fragmentari “Sabda Prawara”, garapan teatrikal yang membongkar sisi gelap di balik kejayaan.

Baca Juga:  Siapkan Sekehe Terbaik, Kota Denpasar Ikuti Seluruh Materi PKB XLVII

Mengangkat mitologi lokal tentang ritual ngerebeg, fragmentari ini menyampaikan pesan bahwa jika masyarakat Blahkiuh abai melaksanakan ritual tersebut, akan datang masa kelam berupa grubug (bencana).

Garapan yang ditata oleh tim kreatif Dr. Darma Putra, Ida Bagus Yodhie Hariscandra, I Wayan Muliyadi, dan Ayu Ari Citta Laksmi ini bukan hanya sajian seni, tapi juga peringatan agar kearifan lokal tidak tercerabut dari akar budaya.

Melalui PKB, Sandiasa menyebutkan bahwa masyarakat Blahkiuh tengah memperkuat posisi sebagai desa budaya. “Kami ingin terus menghidupkan nilai-nilai lokal dan menyampaikan warisan budaya ini kepada generasi muda,” ujarnya.

Ia pun menyampaikan terima kasih kepada Pemkab Badung, khususnya Bupati Adi Arnawa atas dukungan dan kesempatan tampil di panggung seni terbesar Bali. “Semoga ini menjadi awal dari kiprah lebih besar generasi muda kami di dunia kesenian,” tutupnya.

Baca Juga:  Pameran ‘BUILD UP’: Empat Seniman Bangun Proses Eksploratif dalam Perjalanan Karier Sebagai Perupa

Sementara Sanggar Seni Anglocita Suara dari Banjar Adat Penarungan, menampilkan Tabuh Nem Lelambatan “Giri Guru”. Bhuana Agung dan Bhuana Alit tak luput dari konsep dari keseimbangan dan keharmonisan yang ada di Bali.

Begitu pula dengan kata Giri yang berarti gunung dan Guru berarti pendidik semua insan di dunia. Konsep giri guru ini merefleksikan sebuah keseimbangan dan kerharmonisan yang nyata bagi kehidupan Hindu di Bali, memuliakan giri dan guru adalah tugas dan kewajiban semua insan untuk mencapai Jagat Kerthi.

Karya Putu Aldi Philberta Harta Celuk ini menawarkan esensi sebuah kemuliaan terhadap karya terdahulu dalam kesederhanaan, bagaimana cara kita memandang hal yang sama agar terlihat berbeda untuk sebuah keseimbangan dan keharmonisan.

Persembahan kedua, Tari Kreasi Kekebyaran “Sattva Samata” sebuah proses kehidupan Hindu Bali tak lepas dengan adanya konsep Tri Hita Karana yaitu, Parahyangan, Palemahan, dan Pawongan. Menjalakan konsep tersebut manusia akan memiliki hidup yang Sattva Samata.

Baca Juga:  Meriahkan Parade, Komunitas Seni Sundaram Pentaskan Fragmentari ‘Tuan Sayan’ di PKB Ke-47

Karya ini menawarkan sebuah perbedaan yang saling bertemu dalam satu titik yang seimbang dan harmonis akan dapat bersatu, tatkala ruang dan waktu saling dipertemukan akan lahir sebuah pengalaman, begitupula wujud dan jiwa saling mengikat akan melahirkan kehidupan. Tari ini digarap Putu Bratria Dama Dayanu dan I Ketut Pratista Tri Pramana sebagai komposer.

Persembahan ketiga, Fragmentari “Rungu I Meme” mengisahkan Ni Luh Pasek Gobleg yang membentuk generasi baru. Isi hatinya banyaknya prihal yang dihadapi.

Di dalam era sekarang Ni Luh Pasek layaknya sang pertiwi, yang harus mengemban keseimbangan dunia dalam membentuk jagat kerthi yang seutuhnya. Merupakan karya tari dari Gede Adi Setiawan dan Putu Tegeh Kertiyasa sebagai lomposer. [B/darma]

Related post