‘Tribute to I Gde Dharna’ di Festival Seni Bali Jani 2025: Kilas Balik Perjalanan Maestro Seni Bali Utara
Sanggar Dermaga Seni Buleleng pentaskan ‘Tribute to I Gde Dharna’ di Festival Seni Bali Jani 2025/Foto: ist
JIKA saja menyaksikan adilango (pergelaran) Sanggar Dermaga Seni Buleleng (DSB) bersama komunitas seni Buleleng pasti merasa bangga menyaksikan kreativitas anak-anak muda dalam menggarap karya seni pertunjukan. Karya itu tak hanya indah, tetapi ada pesan moral yang kuat.
Sanggar Dermaga Seni Buleleng menampilkan garapan seni bertajuk “Tribute to I Gde Dharna” dengan melibatkan anak-anak muda. Garapan itu ditata secara apik menyajikan sosok kreativitas I Gde Dharna dalam kiprahnya menjaga dan melstarikan seni budaya Bali.
Pementasan diawali dengan tari kontemporer yang ekspresif, lalu berlanjut dengan pemaparan biografi dan karya-karya sang maestro. Teaterikalisasi puisi dan pembacaan cerpen Dasa Tali Dogen membingkai suasana menjadi reflektif.
Menariknya, fragmen Opera Perang Bali yang ditulis I Gde Dharna disajikan seakan menegaskan bahwa perjuangan seni bisa seheroik medan perang. “Semangat beliau adalah api yang seharusnya terus kita jaga dan nyalakan, terutama oleh generasi muda,” ujar Ketua Sanggar, Prof. Gde Artawan, Ketua Sanggar.
Pagelaran berdurasi sekitar 60 menit ini menjadi ruang penghormatan bagi salah satu tokoh penting dunia kesenian Bali. Panggung tak hanya menjadi saksi kreativitas, tetapi juga menjadi altar kenangan akan sosok yang selama hidupnya menyalakan obor seni dari utara Bali.
“Sosok I Gde Dharna bukan hanya seniman, melainkan juga pejuang yang memadukan semangat kemerdekaan dengan napas kesenian,” papar guru besar di Undiksha Singaraja itu.
Putu Andika yang dipercara menggarap tari sengaja menggunakan kostum bernuansa tradisional Bali yang dipadu dengan modernisasi. Hal itu menggambarkan sebagai warga Bali yang ada dalam suatu bentuk modernisasi.
Hal itu tetap memunculkan unsur Bali dengan konsep-konsep baru. Keseluruhan garapan merupakan gabungan tradisi dan modern, ada gabungan kontemporer, teater juga bermaian peran yang menonjolkan mimik seseorang untuk memainkan peran.
Lagu Merah Putih kemudian menggema penuh haru. Suara paduan yang mengalun menutup pagelaran Tribute to I Gde Dharna dengan semangat yang membakar jiwa. Di tangan-tangan penonton berkibar bendera kecil dari kertas, menyatu dalam lantunan lagu heroik karya sang maestro seni asal Sukasada, I Gde Dharna.
Kebersamaan menyanyikan lagu Merah Putih—bukan hanya sebagai simbol nasionalisme, tapi sebagai penghormatan pada sang penyulut api seni. Sebuah bentuk janji bahwa karya dan semangat I Gde Dharna akan terus menghidupi panggung-panggung masa depan.
Nama I Gde Dharna barangkali tidak sefamiliar maestro seni lainnya di tingkat nasional, namun di Buleleng—dan Bali—namanya adalah fondasi. Lahir pada 27 Oktober 1931 di Sukasada, Dharna adalah potret seniman multitalenta.
Ia menulis sajak, drama radio dan televisi, cerpen, hingga lagu berbahasa Bali maupun Indonesia sejak era 1950-an. Uniknya, ia melakukan semua itu di sela tugasnya sebagai PNS di Kantor Perdagangan Buleleng.
Karyanya tersebar di berbagai media seperti Suluh Marhaen, Bali Post, dan Nusa Tenggara. Puisinya terhimpun dalam antologi seperti Pantai-Pantai, Kaki Langit, Penyair ASEAN, dan Perang Jagaraga dalam Puisi.
Ia juga aktif menulis puisi dan drama berbahasa Bali yang kemudian dikumpulkan dalam buku Kobarang Apine, Perang Bali, dan Leak Macolek Bunga.
Dharna juga dikenal karena dua cerpen Balinya yang menggugah: Tusing Ada Apa Dé (2003) dan Dasa Tali Dogen (2009), serta novel Bintang Den Bukit (2015) yang menjadi penanda akhir hayatnya dalam dunia kepenulisan.
Tak sedikit penghargaan yang ia raih, termasuk Wijaya Kusuma dari Bupati Buleleng (1981), Dharma Kusuma dari Gubernur Bali (1989), Sastra Rancage dari Yayasan Rancage Indonesia, dan Widya Pataka dari Gubernur Bali.
I Gde Dharna bukan hanya penulis atau komponis. Ia adalah narasi hidup tentang bagaimana seni bisa menjadi perlawanan, penyadaran, bahkan perenungan. Ia menanam nilai-nilai dalam setiap larik puisinya, menyematkan kritik sosial dalam dialog drama, dan meniupkan harapan melalui lagu.
Tribute ini bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah pemanggilan ingatan kolektif. Sebuah pengingat bahwa dari desa kecil di Sukasada, lahir seorang pejuang yang menulis sejarah Bali dengan tinta seni dan nyala semangat.
Seorang Dharna mungkin telah tiada secara fisik, namun bara yang ia nyalakan akan terus menyala di hati mereka yang mencintai budaya. [B/darma]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali