Agung dan Dek Mani Berkolaborasi Merespons Pameran Made Kaek di Bentara Budaya Jogja

 Agung dan Dek Mani Berkolaborasi Merespons Pameran Made Kaek di Bentara Budaya Jogja

Penari Agung, Musisi Dek Mani dan perupa Made Kaek Berkolaborasi di Bentara Budaya Jogjakarta/Foto: ist

Malam itu, udara belum terlalu dingin. Orang-orang pun masih asyik dengan obrolannya. Ketika, suara suling (seruling) melengking, orang-orang itu kemudian semakin mendekat. Seorang penari bergerak pelan dan terkadang berirama, seperti alunan suling yang ritmis.

Itulah kolaborasi seni dari penari kontemporer Agung Gunawan dan musisi Made Manipuspaka yang tampil dalam pembukaan pameran Made Kaek bertajuk ‘Kala Api, The Age of Pawns di Bentara Budaya Yogyakarta, Jumat 23 Agustus 2024.

Agung yang mengenakan topeng dan memegang tongkat meliukkan tubuh, mengolah ragawi selaras alunan seruling dari Dek Mani, sapaan akrab Made Manipuspaka yang asal Ole, Marga, Tabanan itu. Lalu, Made Kaek melukis spontan di atas kanvas di depan para undangan itu.

Lengkingan seruling mengiringi gerakan ritmis Agung yang bergerak mengitari kanvas putih yang mulai dilukis Made Kaek. Agung ikut memercikkan cat ke atas kanvas dan memutari kalangan di halaman Bentara menirukan jalan kuda dengan dua kaki dan tongkatnya.

Baca Juga:  “Ngelangenin” Gandrung Sakral Ketapaian Kelod

Sementara Dek Mani terus saja memainkan suling dengan indah. Terkadang memainkan ganding (lagu) yang sudah ada, terkadang ditiup secara spontan dengan dasar-dasar musik serta pengalaman pentas. Seperti suara suling, Dek Mani yang juga seorang penari itu tak kaku.

Langkah kuda berkaki tiga yang dilakukan Agung itu merupakan gerak untuk merespons Kala Api, yang maksudnya kaki sejarah, kaki tangan, dan kaki-kaki yang melampaui segalanya. Penonton yang datang dari berbagai latar belakang profesi itu seperti menebak dari setiap gerak.

Hanya kaki yang akan melangkah lebih jauh, tangan yang akan meraih lebih banyak, mata kuda yang akan melihat lebih lama, leher yang akan lebih sering mendongak. “Sebagai manusia kuda yang berhati baja yang akan bekerja lebih keras tanpa mulut dan takut,” kata Agung.

Malam itu, Agung mengawali olah tubuh itu setelah seorang jongos (Erfianti Guritno) menyiapkan ubo rampe atau segala sesuatu yang diperlukan dalam pentas itu. Tubuh Agung, seakan berperang melawan energi kasar di luar dirinya yang tampaknya cantik, yang mematikan.

Baca Juga:  Adilango FSBJ III “Kursi” Teater Agustus, Beri Pesan Matinya Kuasa atas Perusakan Alam

Kelihatan harmoni, tetapi selalu bertabrakan dan membuat kecamuk. “Tapi saya menemukan cara untuk mengembalikan energi sejati dengan menggores warna hitam di kanvas Made Kaek sebagai simbol ketegasan dan kelurusan hati,” ujar Agung.

Agung Gunawan begitu berkesan menari dengan iringan musik perang dan suling Bali Dek Mani. “Saya tak menyangka dilibatkan dalam kolaborasi luar biasa, ini menjadi bekal semangat menempuh studi di Jogja,” kata Dek Mani, mahasiswa baru di Prodi Seni Musik ISI Yogyakarta itu.

Lalu, pengamat seni yang juga Dosen ISI Yogyakarta Suwano Wisetromo yang membuka pameran Made Kaek mengatakan pertunjukan seni Agung Gunawan dan Dek Mani itu sangat menarik. Agung menafsir zaman bidak (The Age of Pawns) dari perspektif kuda dalam permainan catur.

“Bidak (pion) seringkali menjadi sekadar ‘angka’ dan ‘alat’ tepatnya diperalat kekuasaan. Akan tetapi jika menemukan momentumnya, bidak akan bersatu untuk menumbangkan kekuasaan,” kata Suwarno.

Baca Juga:  Bali Fashion Parade 2024: Didukung 35 Desainer, Menampilkan 300 Karya dan Diperagakan 150 Model

Kuda pun demikian, bisa menendang penguasa dengan kaki belakangnya hingga yang tertendang bisa nyungsep. Suwarno menyebut kolaborasi Agung Gunawan dan Dek Mani menegaskan pesan yang ingin dikirimkan kepada banyak orang melalui pameran Made Kaek ‘Kala Api, The Age of Pawns’.

Made Kaek menggelar pameran tunggal di Bentara Budaya Jogja selama 23-30 Agustus 2024 dengan menampilkan 34 patung dan menyertakan sebuah lukisan di atas kanvas. Karya Made Kaek sangat mempesona yang memberikan makna dibalik keindahan.

Karya dalam pameran kali ini masih bertalian dengan respons keriuhan masa Pilpres 2024 yang masih berlanjut hingga kini. “Apalagi memasuki Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, di mana banyak pihak berlaga seperti bidak-bidak di atas papan catur,” ujarnya.

Makhluk-makhluk rekaan Made Kaek dengan misterinya masing-masing menungu peran dan dijalankan dengan berbagai strategi maupun cara untuk suatu tujuan, yakni kemenangan dan kekuasaan.

Baca Juga:  Siswa PAUD Warnai Tokoh Rama

“Kita sebagai bangsa sudah 79 tahun merdeka, tetapi masih banyak pribadi, masyarakat adat, kelompok minoritas, mereka yang terpinggirkan. Bahkan, sebagian rakyat belum merasakan kelegaan yang justru menjadi pion yang gampang dimainkan,” ujar Made Kaek.

Pesan keprihatinan Made Kaek terasa kontekstual dan relevan dengan peristiwa hari belakangan ini, saat ribuan massa melakukan aksi demonstrasi ke Gedung DPR RI yang juga terjadi di sejumlah kota untuk memprotes praktik penyimpangan konstitusi dan kongkalikong untuk mengesahkan RUU Pilkada yang bakal menguntungkan segelintir orang. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post