Tradisi ‘Megebeg-Gebegan’, Teater Wisata Budaya di Bali Utara: Output dari Sebuah Penelitian
Tradisi Megebeg-Gebegan di Desa Tukadmungga, Buleleng/Foto: ist
WARGA Desa Tukadmungga, Kecamatan Buleleng tampak bungah, Rabu 23 Juli 2025. Mereka mengenakan busana adat madya yang sangat rapi, kompak dan ramah. Bagi para perempuan menganekan kebaya untuk dewasa dan memakai tutup dada untuk para gadis dan anak-anak.
Sementara bagi pria mengenakan busana ‘bebuletan’ tanpa memakai baju. Suasana sore menjelang malam itu, tanpak khusuk. Apalagi, suara gamelan tradisional yang terkadang ditindih tembang-tembang religius, membuat suasana semakin berbeda.
Maklum, pada saat itu sedang melaksanakan Megebeg-Gebegan, tradisi unik di Desa Tukadmungga asri itu. Tradisi ini dipercaya masyarakat setemat sebagai tolak bala yang diwariskan turun-temurun yang biasanya dilakukan sehari sebelum Nyepi.
“Acara ini merupakan penyajian hasil penelitian ‘Pemberdayaan Perempuan Melalui Seni Pertunjukan Inovatif Berbasis Budaya Megebeg-gebegan”,” kata Prof. Dr. Ni Made Ruastiti, S.St., M.Si., Guru Besar Bidang Seni Pertunjukan Pariwisata, Institut Seni Indonesia (ISI) Bali.
Prof Ruastiti melakukan penelitian selama dua tahun bersama I Nyoman Kariasa, Arya Pageh Wibawa, Ni Kadek Suryani, dan I Wayan Winaja. Pertunjukan ini berkolaborasi dengan Sanggar Wahyu Semara Shanti, sebagai medium pemberdayaan perempuan melalui sebuah pertunjukan.
Tradisi ini sebagai tetaer wisata budaya yang merupakan output dari sebuah penelitian. Teater ini melibatkan 250 penari anak-anak dan remaja, terdiri dari 150 anak perempuan sebagai penari, pembawa uperengga atau sejenis canang obor, dan 100 anak laki-laki bertugas sebagai penabuh.
Dalam pentas seni kali ini bekerjasma dengan Sanggar Seni Wahyu Semara Shanti, dan terdapat sebuah prosesi (semacam) peed aya (pawai), yang terdiri dari pembawa obor, canang sari, gebogan, dan juga ada penari rejang serta baris upacara.
Setelah prosesi itu, dilangsungkan prosesi mecaru yang dilaksanakan oleh Jro Mangku Gusti Aji. Kemudian, langsung dilaksanakan tradisi megebeg-gegeban yang terdiri dari 4 banjar di Desa Tukadmungga.
Keempat banjar itu, terdiri dari Banjar Dharma Yasa, Dharma Yadnya, Dharma Semadi dan Banjar Dharma Kerti. Tradisi itu dikemas dalam seni pertunjukan yang lebih estetik dan mempergunakan dua barungan ensambel gamelan.
Tradisi ini diiringi gamelan gong kebyar mepacek dan barungan baleganjur. Sementara garapan ditata oleh koreografer Kadek Angga Wahyu Pradana yang juga sebagai Ketua Sanggar Wahyu Semara Shanti. Dalam sajian seni ini, perempuan sengaja ditonjolkan lebih banyak dari laki-laki.

“Pertunjukan itu memberi kesan sangat kuat secara realitas, bahwa perempuan menjadi tonggak atau bahkan mesin utama kebudayaan. Melalui pertunjukan itu, bahwa jumlah yang dominan, bahwa nafas perempuan sebenarnya memiliki pengaruh untuk kehidupan,” jelas Prof Ruastiti.
Teater wisata berbasis komunitas
Prosesi penataan sesajen, caru, hingga aksi kolektif perebutan daging godel adalah rangkaian sakral yang tak hanya bertujuan spiritual, tetapi juga mempererat kohesi sosial. Kini tradisi ini tengah mengalami pergeseran bentuk, dari ritus sakral menjadi teater wisata berbasis komunitas.
“Saya tertarik meneliti tradisi itu untuk dihubungkan dengan pemberdayaan perempuan dan seni pertunjukan untuk pariwisata. Penelitiannya berjudul Pemberdayaan Perempuan Melalui Revitalisasi Tradisi Megebeg-Gebegan Sebagai Teater Wisata Budaya di Bali Utara,” paparnya.
Transformasi tradisi Megebeg-Gebegan ke seni pertunjukan atau teater tidak mengurangi nilai sakralitasnya. “Justru sebaliknya, diperkuat oleh peran aktif kaum perempuan yang bukan hanya menghidupkan tradisi, tetapi juga merekonstruksi narasinya menjadi lebih komunikatif, inklusif, dan adaptif terhadap zaman,” imbuhnya.
Perempuan pemeran utama
Keberadaan perempuan dalam budaya, nyaris terhitung di semua ranah. Di ranah upacara agama, misalnya, perempuan banyak sekali terlibat. Mulai dari tahap produksi atau persiapan, hingga sebuah penutupan. Perempuan tak pernah absen, termasuk dalam ranah entertainment.

“Bagaimana keberadaan perempuan sebagai pemeran utamanya itu, nyaris tak disebut-sebut, sehingga menambah kesan bahwa perempuan diakui sebagai manusia yang berarti, hanya dibalik layar. Perempuan sudah berdaya tapi enggak dapat pengakuan,” sebut Prof. Ruastiti.
“Saya piker, desa itu layak sebagai objek penelitian, secara kultur-budaya dan sosial, terutama keterlibatan perempuan pada urusan domestik dan ritual yang dominan, tapi jarang disebut atau dibahas itu, memang layak untuk diangkat kepermukaan secara gender,” paparnya.
Di Desa Tukadmungga, Megebeg-Gebegan memang telah menjadi ritual penolak bala dalam upacara persembahan caru godel (anak sapi). Acara itu biasa dilakukan setahun sekali, terutama di malam pengerupukan atau sehari sebelum hari Nyepi.
Peran perempuan dalam ritual itu sangatlah besar. Perempuan, tidak hanya merancang komposisi gebegan, menyusun sesajen, namun juga sampai pada tahap pelatihan koreografi dan narasi. “Disini, pekerjaan ibu-ibu PKK terhadap ritual itu cukup kompleks,” tegasnya.
Sebut saja dalam memimpin prosesi matur piuning di Pura Khayangan Tiga, sekaligus menghidupkan aspek spiritual ritus melalui kidung dan nyanyian dharma gita.
Sementara perempuan muda ikut serta masuk ke dalam barisan pertunjukan dengan perannya membawa gebogan dan sesaji, yang menambah keindahan serta kesan harmonis pada ritual itu sangat kuat.
Pertunjukan pariwisata
Tradisi Megebeg-gebegan ini, selain melibatkan perempuan dewasa upacara, perempuan yang masih kanak-kanak pun ikut dilibatkan sebagai simbol regenerasi melalui perannya dalam membawa canang.
“Dari pertunjukan “Megebeg-gebegan sebagai Teater Wisata Budaya di Bali Utara” ini, saya menemukan fenomena itu sebagai contoh nyata dari komunitas dalam makna turnerian, di mana batas hierarki dan usia dilampaui oleh solidaritas dalam praktik budaya kolektif,” sebutnya.
Hal itu dapat dirasakan, ketika perempuan terlibat dalam satu ritual itu telah melewati batas-batas usia. Termasuk menjadikan kehadiran para perempuan lintas-generasi mengkontraskan keindahan secara visual dengan sarat makna simbol-simbol.
Mereka menentukan bentuk dan warna gebegan, pilihan bahan alami untuk properti, dan penataan ruang yang sesuai kosmologi lokal. “Properti seperti tombak, janur tidak hanya menjadi objek visual, tetapi penanda spiritual yang dibentuk oleh narasi simbolik perempuan,” jelasnya.
Pertunjukan yang direvitalisasi ini, menjadi semacam duplikatnya agar para pengunjung lokal atau mancanegara bisa merasakan tidak hanya setahun sekali, tetapi juga kapan saja sebagai sebuah pertunjukan teater wisata. Tinggal datang saja ke desa itu sebagai tamasya budaya.
Untuk tetap menjaga kesakralannya, mesti tradisi Megebeg-Gebegan dalam pertunjukan itu sudah dikonsep berbeda dengan tujuannya yang lebih rekreatif (pariwisata). Tetapi, bukan berarti kesakralannya diganggu gugat, sebab, revitalisasi pada tradisi itu masih di garis yang wajar.
Pemahaman dan pelatihan teknologi
Selain perempuan dilibatkan dalam pertunjukan teater budaya, yang diwakilkan oleh anak-anak. Mereka yang dewasa, diberikan pemahaman dan pelatihan teknologi atau penguasaan terhadap pengelolaan sebuah website sebagai pendukung kepariwisataan.
Terus, peningkatan bahasa atau komunikasi untuk membawa keberadaan mereka, pada posisi layak sebagai manusia yang setara dan berada juga akan dilakukan nantinya. “Karena ini kita kaitkan dengan pariwisata, maka mencoba memberdayakan perempuan jadi leader,” ucapnya. [buda]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali