“The Octopus Queen”, Hasil Kreasi Seniman I Ketut Putrayasa di Nusa Penida

“The Octopus Queen”, Hasil Kreasi Seniman I Ketut Putrayasa/Foto: istimewa
I Ketut Putrayasa, Seniman asal Desa Tibubeneng, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali ini memang tak pernah kehilangan ide. Setiap karyanya selalu ada yang unik, terutama pesan moral yang disampaikan begitu kuat. Selain indah, karyanya juga menginspiorasi.
Sebut saja karya seni yang ada di atas perbukitan karang Broken Beach, Nusa Penida. Sebuah karya instalasi bambu itu menjulang setinggi 25 meter. Wujudnya, sosok raksasa dengan mahkota berhiaskan 21 tentakel gurita itu diberi nama The Octopus Queen.
“Kehadiran karya The Octopus Queen ini bukan sekadar tontonan wisata. Karya seni itu adalah arca yang menjelma berhala modernitas,” kata Tatang B. Sp, pelukis sekaligus penulis yang memberikan pandangnya, Selasa 9 September 2025.
Gurita bukan sekadar makhluk laut cerdas dengan sembilan otak dan kemampuan beradaptasi tinggi. Ia menjadi metafora kehidupan manusia modern. “Gurita mampu memecahkan teka-teki, berkamuflase, bahkan menyimpan informasi,” terang Tatang.
Menurut Tatang, kemampuan itu menyerupai cara kapitalisme bergerak, yakni lentur, menyusup dan menguasai. Dalam karyanya, Putrayasa memvisualkan gurita dalam bentuk perempuan mitologis, seakan Medusa yang bangkit dari kedalaman karang purba.
Tangan The Octopus Queen mempersembahkan bunga teratai – simbol pasang surut kehidupan – dengan wajah tenang, namun penuh kewaspadaan. “Di situlah paradoksnya. Ia pengancam sekaligus pelindung. Sosok mitos lama yang lahir kembali dalam wajah pascamodern,” tambahnya.
Menurut Tatang, The Octopus Queen juga merepresentasikan gagasan klasik “survival of the fittest” – hanya yang kuat dan adaptif yang bertahan.
“Bayangkan, tubuh bambu raksasa itu menampung angin laut yang masuk-keluar tak henti. Ia adalah metafora tentang tubuh yang mampu mengendalikan segala yang liar. Itulah logika kapitalisme: yang kuat berkuasa, yang lemah tersingkir,” ujarnya.
Dengan santai, Tatang kemudian mengaitkan fenomena ini dengan Bali sebagai etalase industri wisata. Di satu sisi, masyarakat lokal menjadi bagian dari keramaian pasar. Di sisi lain, elit bisnis pariwisata menguasai orkestrasi ekonomi.
“Ini adalah hukum besi kapitalisme. Bagi yang bermodal akan bertahan di singgasana, sementara yang kecil terhimpit di bawahnya,” papar Tatang dengan santai.
Pria ini kemudian menyebut The Octopus Queen sebagai lambang fetisisme baru. Dahulu, manusia membuat patung penunggu sebagai perantara dunia nyata dan gaib. Kini, patung itu berubah fungsi, yakni menjadi objek konsumsi.
“Kita berlama-lama memandangnya, berswafoto, dan menjadikannya bagian dari industri wisata. Ia bukan lagi sakral, melainkan pesona kapitalisme. Inilah berhala modernitas,” jelas Tatang.
Fenomena ini bukan hal asing. Mulai dari pusat perbelanjaan, gadget, hingga pariwisata, semua menjadi pusaran sihir komoditas. “Manusia akhirnya tak sadar sedang memuja ideologi pasar,” tegas Tatang mengingatkan.
Tatang menilai Bali hidup dalam paradoks. Di satu sisi, budaya tradisi terus dijaga. Di sisi lain, modernitas dan industri wisata merangsek tanpa henti.
“Di halaman depan, Bali pragmatis. Di halaman belakang, Bali spiritual. Dua ruang ini bernegosiasi, tapi sekaligus menyimpan kegamangan,” terangnya.
Namun, seni itu tetap memberi jalan. “Karya seperti The Octopus Queen mengingatkan kita, bahwa di balik arus modernitas masih ada ruang batin yang perlu dirawat. Ia berdiri kokoh, menghadap Pulau Bali, seolah memberi pesan bahwa perubahan pasti datang,” imbuhnya. [B/darma]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali