“The Golden Toilet in Winter” Karya Seni Instalasi Ketut Putrayasa “Bersuara”
Karya instalasi teranyar dari perupa Ketut Putrayasa adalah “The Golden Toilet in Winter” yang dipentaskan di Rumah Budaya Penggak Men Mersi di Jalan WR Supratman Denpasar, Sabtu 12 November 2022. Karya ini menghadirkan piranti sedikit absurd, yakni toilet berwarna emas, karpet merah, dan tumpukan es balok. Bagi kalangan awam, benda-benda itu mungkin dianggap biasa, tetapi berbeda dengan seniman asal Badung ini. Putrayasa menampilkan ketiga benda itu, bukan tak memiliki arti, bahkan benda-benada itu memiliki sayap, arti yang sangat luas.
Balok es, beralaskan karpet merah berada diatas stage berbentuk candi. Lalu, di depannya masih beralas karpet merah ada sebuah toilet mas yang dibungkus kain hitam. Seseorang dititahkan menggotong toilet emas, melintasi jalan berkarpet merah, tertatih dan ngos-ngosan, berjuang sekuat tenaga untuk bisa diletakkan pada tumpukan balok es. Tumpukan balok es itu sebagai simbol singasana yang dingin, juga menggambarkan situasi politik dunia yang dingin, yang saban waktu bisa meledak jadi krisis mengerikan.
Karya itu, seakan menjadi saksi, betapa kritik sosial cerdas “tersuarakan’ dalam sebuah garapan seni instalasi bertajuk “The Golden Toilet in Winter” itu. Benda-benda itu kemudian bersuara, ketika seni instalasi tersebut direspons oleh sastrawan Wayan Jengki Sunarta dengan membacakan puisi garapannya sendiri berjudul “Toilet Emas”. Puisi yang dibuat pada Hari Pahlawan 10 November 2022 itu diambil dari judul seni instalasi karya Ketut Putrayasa The Golden Toilet in Winter. “Saya membuat puisi khusus untuk merespons karya instalasi Ketut Putrayasa. Puisi tersebut berbicara tentang kritik sosial, juga mengkritik kekuasaan yang rakus, tamak dan jumawa, memangsa alam dan rakyat jelata demi kepuasan diri dan kelompok elitenya,” ujar Jengki Sunarta.
Karya instalasi Putrayasa juga direspons gerak tari teaterikal oleh seniman Achmad Obe Marzuki. Instalasi ini seakan menjadi sejenis satire “art simbolik” yang boleh ditafsir dengan cara pandang beragam sekaligus ambigu. Ia bisa dimaknai sebagai sapaan, suara kritis, serta cibiran halus pada kekonyolan-kekonyolan kita hari ini. “Secara tidak sadar kita menjadi manusia paradok (nungkalik), yang hulu kita jadikan hilir,” kara Putrayasa.
The Golden Toilet in Winter, atau Toilet emas menjadi sejenis medium, bagaimana kritik dan sapaan yang kadang terbaca berseberangan itu ditembakkan lewat seni instalasi sebagai bentuk suara yang lain, juga bentuk kepedulian yang tulus ikut terlibat merasakan krisis multidimensional hari ini. “Di titik ini, The Golden Toilet in Winter bukan lalu menjadi suara yang berseberangan dengan pemegang kemufakatan dunia yang panglimannya hampir dipastikan adalah modal yang tunduk pada sistem pasar, rancangan ideologi digaja dunia kapitalis,” sebutnya.
Toilet, karpet, merah, dan balok es adalah barang sehari-hari biasa ditemui. Namun di tangan seniman Ketut Putrayasa, istalasi ini benar-benar menjadi satire, cibiran halus pada pemegang kuasa yang tidak sungguh-sungguh melenyapkan derita warga, tapi diam-diam membangun koorporasi, membuat kesenjangan antara yang miskin dan kaya begitu jomblang.
Indikasi ini pernah dilansir B.Herry-Priyono & Yanuar Nugroho (2007), bahwa di tahun 1960, sebanyak 20% warga paling kaya dunia menguasai 70,2% kekayaan dunia, dan 20% warga paling miskin mengontrol 2,3% kekayaan dunia. Dan di tahun 1989, kelompok pertama sudah menguasai 82,7%, sedang yang kedua hanya kebagian 1,4%.
Jadi apapun kesepakatan-kesepakatan dunia yang bergulir di antara negara-negara, entah apa namanya, belum sanggup untuk tidak dicurigai. Kita yakin, pasti ada niat baik untuk membangun kesejahteran dan perdamain bersama. Namun sejumlah problem dunia yang tak kunjung selesai, semisal krisis iklim, krisis energi, kelangkaan pangan, perusakan lingkungan, krisis air bersih, limbah industri, dan lain-lain menunjukkan ketidakseriusan pemegang kebijakan. Maka, suatu hari George Soros pun mengaku, sebagaimana dikutip Herry -Priyono,
Jadi, apapun usaha dan kemufakatan itu, ujung-ujungnya adalah soal makan dan toilet. Di setiap persinggahan itu hanya akan menjadi tempat makan dan toilet. Negara-negara abai merawat bumi, sumber segala makanan yang semestinya dirawat dengan kesepatakan-kesepatakan saling membutuhkan. Tapi ada nasihat bijak dari Robin Sharma, penulis buku THE 5 AM CLUB, “Tolaklah khayalan umum bahwa mereka yang menumpuk paling banyak adalah pemenangnya.” Sementara orang Timur membalut ide asketiknya dengan melenyapkan penderitaan warga — itulah derma, itulah tugas pemimpin paling mulia.
Kelian Penggak Men Mersi, Kadek Wahyudita mengapresiasi lompatan kreativitas Ketut Putrayasa. Pemilik Rich Stone ini dipandang sebagai sosok seniman yang selalu memiliki gagasan cemerlang dan berani tampil out of the box. Selain lihai melahirkan karya-karya spektakuler, Putrayasa juga sering menyisipkan kritik cerdas untuk senantiasa mengingatkan kepada kita arti dari kehidupan yang harmonis. Baik bersama alam, manusia, maupun kepada sang Maha Pencipta. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali