Karya Seni Instalasi ‘Not For Sale’: Kegelisahan I Wayan Nano Terhadap Surga
Seniman Ubud, I Wayan “Nano” Sudarna Putra/Foto: surya darma
GALERI atau museum, bukan satu-satunya tempat untuk memajang karya seni rupa. Kini, sawah pun menjadi ruang bagi para seniman untuk menampilkan karya terbaiknya. Lihat saja, seniman Ubud, I Wayan “Nano” Sudarna Putra yang menyajikan karya seni instalasinya di tengah sawah.
Karya ikoniknya, yakni “Not For Sale” kembali hadir melalui medium yang paling ia kuasai, yaitu seni instalasi di ruang yang menjadi akar agraris Bali, dan kini berada di garis tembak alih fungsi lahan.
Selama ini, Bali memang sering dipasarkan ke dunia sebagai “surga” pulau kecil yang entah bagaimana mampu memuaskan jutaan wisatawan setiap tahunnya. Namun di balik gemerlap itu, suara masyarakat lokal kian teredam.
Dibalik industri pariwisata, tersimpan ketegangan mendasar, yakni siapa sebenarnya yang berhak menentukan arah dan masa depan pulau ini?
Dalam program Bisik Basa Basi bertema Risau di Abian Carik, Desa Kapal, Nano – sapaan akrabnya, menampilkan “Not For Sale”, seni instalasi yang dibangun dari bambu dan alang-alang material.
Bahan yang dipilih itu bukan sekadar karena terjangkau, tetapi sarat makna, yaitu simbol perlindungan, pemurnian, dan penjaga keseimbangan dalam kosmologi Hindu Bali.
Dengan bahasa sederhana namun tajam, karya ini menegaskan, bahwa “Sebelum sawah menjadi komoditas, ia adalah ruang suci.”
Seni yang Menggugat Laju Perubahan Bali
“Not For Sale” bukan proyek tunggal. Sejak 2010, Nano telah menciptakan instalasi serupa di Jungjungan, Ubud wilayah yang kini telah berubah menjadi koridor wisata padat. Karya ini sempat viral, menarik perhatian publik selama beberapa tahun.
Lewat instalasinya, Nano ingin menggugah kesadaran bahwa yang terancam bukan hanya tanah fisik, tetapi fondasi esensial Bali, yaitu identitas kultural, pengetahuan agraris, sistem sosial subak, dan ruang spiritual masyarakat Bali.
Karya ini menolak normalisasi pembangunan tanpa kendali; menolak gagasan bahwa pariwisata adalah dewa yang harus dipatuhi tanpa syarat.
Bagi Nano, pariwisata hanyalah bonus, bukan tujuan utama eksistensi Bali. Tanpa budaya dan alam yang lestari, pariwisata kehilangan alasan fundamentalnya untuk ada.
Kendali Pariwisata yang Beralih ke Algoritma Global
Jika dulu perubahan Bali dikendalikan pemerintah dan investor tradisional, kini muncul kekuatan yang lebih halus dan meresap, yaitu platform digital global.
Airbnb, Booking, Agoda, TripAdvisor, Klook, Traveloka, dan ratusan aplikasi lain beroperasi melalui algoritma yang menentukan secara factual, seperti harga akomodasi dan jasa, arus dan sebaran wisatawan, destinasi yang tiba-tiba popular, pengalaman yang dianggap “menjual”, dan citra Bali di mata dunia.
Mekanisme ini efisien, tetapi konsekuensinya jelas. Siapa yang menguasai platform, ia yang memegang kendali. Pelaku usaha lokal harus tunduk pada ritme dari luar, seperti komisi aplikasi, perang diskon global, sistem ulasan yang bias, tren pasar yang fluktuatif, dan biaya hidup yang terus meningkat.
Ironisnya, platform ini tidak mengenal ngayah, tidak memahami struktur banjar, tidak peduli pada sistem subak, dan tidak mengetahui Galungan. Bali modern pun menjadi ironi: mereknya mendunia, tetapi kendalinya tidak lagi sepenuhnya di tangan orang Bali.
Meneguhkan Batas: Kedaulatan di Tanah dan Digital
“Not For Sale” menjadi ruang renungan publik, sebuah penanda batas. Instalasi ini mengingatkan bahwa Bali sedang kehilangan ruang fisik sekaligus ruang digital.
Seni ini menyuarakan realitas, antara lain; petani kalah oleh logika jual-beli tanah, sistem subak terhimpit ekspansi, serta Bali tampak cantik di Instagram, tetapi rapuh di dunia nyata
Tanah yang dijual bukan sekadar aset, melainkan masa depan budaya.
Seni menjadi sirene peringatan, yakni panggilan untuk berhenti sejenak sebelum Bali bertransformasi menjadi panggung di mana tubuhnya lokal, tetapi skenarionya ditulis dari luar pulau.
Kedaulatan Digital: Tugas Baru Bali
Bali tidak bisa berhenti hanya pada tanah dan budaya. Di era platform, diperlukan Kedaulatan Digital melalui platform pariwisata lokal yang berstandar internasional, dikelola profesional dan transparan, terintegrasi dengan budaya, agrikultur, dan UMKM local, serta mengembalikan pendapatan dan kendali ke Bali.
Ini bukan anti-globalisasi, tetapi pro-kemandirian. Seperti bambu Nano yang tegak di tengah sawah, platform lokal adalah cara lain untuk berkata: “Bali berhak mengatur dirinya sendiri.”
Penutup: Tanah Ini Bukan Komoditas, Tapi Identitas
“Not For Sale” lebih dari judul karya; ia adalah pernyataan politik, spiritual, dan ekologis. Tanah Bali telah menanggung terlalu banyak beban: spekulasi properti, tekanan pariwisata masif, hingga dominasi algoritma global.
Nano mengingatkan: jika Bali terus dikendalikan dari luar, masyarakat lokal akan tetap menjadi kru panggung penting, namun tak pernah menentukan cerita.
Saatnya Bali kembali memegang kendali: di tanah, di budaya, dan di ruang digital. [B]
Penulis: I Gede Made Surya Darma, seniman dan pelaku pariwisata

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali