Wayang Kulit ‘Jayadrata Antaka’ di PKB Ke-47, Ajak Penonton Menghargai Sesama dan Memanusiakan Manusia

 Wayang Kulit ‘Jayadrata Antaka’ di PKB Ke-47, Ajak Penonton Menghargai Sesama dan Memanusiakan Manusia

KEMATIAN Abimanyu membuat Sang Arjuna menjadi sangat marah dan bersumpah akan menuntut balas akan kematian anaknya. Sumpah Arjuna di dengar oleh Jayadrata yang langsung membuat dirinya menjadi panik dan ketakutan.

Para Korawa memberikan perlindungan benteng yang berlapis lapis kepada Jayadrata supaya menyulitkan Arjuna beserta pasukannya untuk menembus persembunyiannya. Sri Krisna melihat situasi itu, melepaskan cakra sudarsana untuk menutupi matahari agar suasana menjadi malam.

Itulah sepenggal kisah wayang kulit berjudul “Jayadrata Antaka” yang disajikan oleh Sanggar Gelunggang, Banjar Lebah, Desa Susut, Kecamatan Susut, Duta Kabupaten Bangli dalam Utsawa (Parade) Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47 di Depan Gedung Kriya, Senin 14 Juli 2025.

Selain menyajikan kisah yang bertuah, I Putu Pande Sapriawan, seorang dalang muda berbakat itu juga piawai memainkan wayang. Dengan “tetikes” yang kuat, ia mampu menyajikan gerakan dan cara bertutur, sehingga benar-benar mencerminkan karakter tokoh wayang tersebut.

Baca Juga:  Ni Ketut Arini, Semua Produk Budaya dan Kesenian Mesti Didaftarkan HAKI Agar Lebih Dikenal Generasi Penerus.

Meski penonton tak sebanyak di Kalangan Ayodya, tetapi permainan boneka dua dimensi dari seorang dalang remaja ini sungguh memikat. Banyak, penonton yang tak mau berpindah sejak pegelaran kesenian yang mengandalkan bayangan itu dimulai.

“Kali ini, kami mengangkat kisah Jayadrata Antaka, kematian Jayadrata. Dalam kisah ini, kami ingin mengingatkan bagaimana kita menghormati seseorang, intinya memanusiakan manusia,” kata Sang Dalang, Pande Sapriawan sebelum pementasannya.

Sekarang ini banyak sahabat yang berlindung dalam sebuah nama persabatan untuk menuju kemenangan. Bukan seperti Jayadrata yang mengaku seorang satria, tetapi berlindung dibelakang seorang kesatria.

Jadilan teman sejati, jangan didepan menjadi sabahat, tetapi di belakang menikam. Jangan bermuka dua. “Semoga penampilan kami dapat menghibur, sekaligus dapat memetik pesan yang kami sampaikan. Karena cerita ini sarat makna yang bisa dijadikan bekal hidupn,” ungkapnya.

Baca Juga:  Wayang Kulit Style Bebadungan dari Gaya Hingga Gema

Awalnya, ketika adegan gineman (tokoh wayang musyawarah), penonton memang didominasi orang tua, tetapi setelah adegan perang anak-anak mulai bermunculan. Bahkan, beberapa dari mereka bertepuk tangan memberi apresiasi dari pertunjukan seni total teater itu.

Teknik permainan wayang Sang Dalang memang menarik. Bahkan, bebertapa penonton berbisik, ini akan mengulang ketenaran Dalang Rai Mesi yang pernah populer pada era tahun 1970 hingga 1980an.

“Saya memang banyak terinspirasi dari seniman Rai Mesi, terutama saat adegan alas arum, juga angkat angkatan,” ungkapnya.

Dalam penampilannya kali ini, Dalang Pande Sapriawan didukung oleh 8 orang, dari sebanyak 15 crew yang terlibat. Persiapan telah dilakukan sejak empat bulan lalu, dengan melibatkan Pembina yang juga seorang dalang, yakni I Nengah Darsana dan I Nengah Dwija Badrayana. [B/darma]

Related post