Catatan Kecil Perjalan | Bakti Wiyasa dari situs ke situs kuno di Bali

 Catatan Kecil Perjalan | Bakti Wiyasa dari situs ke situs kuno di Bali

Kadang menghabiskan bayak waktu di perjalanan dari desa ke desa, berjumpa sosok ke sosok di pelosok dan perkotaan Bali ditemani motor dan mobil lawas 90 an. Senang jika disebuah lokasi telah terbangun kesadaran mencintai dan merawat situs budaya yang diwarisi sebuah desa dan masyarakatnya.

Rasa sedih dan bahkan rasa sesak di dada saat menyimak langsung sebuah situs suci yang metaksu, luar biasa keberadaan istimewa yang mesti saya dampingi untuk diselamatkan akhirnya suatu hari saya dapati telah rata dengan tanah, tetap dilanggar dengan diam-diam.

Hebat nya bisa situs leluhurnya sendiri disepakati oleh prajuru, kerama pengempon dan masyarakat untuk dibongkar bersama (akibat minimnya pengetahuan situs yang diwarisinya).

Tattwa-pengetahuan suci disematkan leluhur pada sebuah situs ternarasikan secara simbolik. Wujudnya berupa ragam hias pada sebuah artefak, bangunan suci, daun pintu, pucak dan dasar serta badan bangunan. Mungkin banyak yang mengira hiasa-biasa hanya sekedar kesenian biasa.

Keinginan untuk berbuat dan menata situs budaya yang berusia ratusan tahun hendak nya dipikir berluang-ulang sebelum menyentuh, memindahkan, apalagi menghancurkannya dengan alasan apapun sebelum memahami benar dari sebuah situs leluhur.

Tujuan baik kita untuk menata situs kuno bisa menjadikan dirikita sebagai agen penghancur peradaban dan akan budaya bangsa. Karena identitas sebuah desa dan masyrarakat terekam dalam tatanan situs kuno itu dan kita dengan ego pembaharuan telah merubah, mengilangkan sikut, ketekan, grade, petitis sepat siku-siku pada bagunan suci tanpa disadari. Karena dikira memperbaiki namun sejati nya merusak struktur dari tiap tatanan.

Berbuat inovatif dan kreatif sebagai ciri ktratifitas dalam kehidupan itu bagus sekali, lebih bagus lagi diterapkan pada yang benar benar ranah dan medium baru bukan pada situs kuno sehingga tidak kontra produktif.

Baca Juga:  Ni Ketut Arini, Semua Produk Budaya dan Kesenian Mesti Didaftarkan HAKI Agar Lebih Dikenal Generasi Penerus.

Pola rias pada situs kuno salah satu nya dinarasikan pengetahuannya oleh karang simbar, karang guak, karang util, karang kuping guling, karang gajah, karang singa, karang celeng dan lain-lain.

*
Memang menyesakkan jika mengetahui sebuah situs suci yang istimewa di sebuah desa yang sarat nilai-nilai luhur, kesucian, kawisesan (baca kecerdasan) dan situs nya itu telah melewati proses sakral dengan ritus suci dalam bentangan zaman ke zaman segera disepakai dirubah diawali denga proses meratakan. (jika ini terjadi istilahnya kitalah sejatinya penghancur terbaik daru kebudayaan kita sendiri ). Sampai disini semoga dipahami jika sebuah desa, masyrakar bisa gagal merawat titipan leluhur dan dihancurkaannya sendiri sebum gemerasi yang masih anak-anak disebuah desa mampu menyimak dan mengases tattwa pada situs.

Bagi saya memang mengetkan melihat tiba – tiba telah terbangun tatanan anyar megah menjulang dengan ragam hias yang ornamentik, bergenit-genit dengan menyelipkan ragam hias pada setiap bidang tanpa dasar inti penerapan yang mencerminkan dari keberadaan situs semula (variasi pada situs kuno melebihi dan keluar dari konteks pakemnya), meninggalkan pokok-pokok tatanan lama yang sejati.

Situs kuno dianggap sekedar kuno, tertinggal, ketinggalan zaman dan jadi target pembaharuan ( baca penghancuran tatanan peradaban leluhur sendiri ), tak disadarinya pada situs-situs kuno itulah dibutuhkan kejujuran memelihara karena disanalah kejujuran dan kode-kode orisinil ditandakan sebagai pesan yang menarasikan tatanan gumi, desa dan jagat.

*
Tapi kini sangat membanggakan di masyarakat telah kukuh dengan katan jaga, lestarikan, rawat, ‘lan tami due Ida’ , jika rusak mari RESTORASI kembalikan pada bentuk, bahan dan struktur, ukuran semula, bukan lagi kalimat RENOVASI.

BW. 14 Agustus 2020
Gumi Pohmanis
Tabanan – Bali

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *