27 Seniman Dalam dan Luar Negeri Gelar Pameran “Resurrection” di Art Xchange Gallery Sanur

 27 Seniman Dalam dan Luar Negeri Gelar Pameran “Resurrection” di Art Xchange Gallery Sanur

Jika anda seorang seniman atau penikmat seni, kunjungilah pameran seni rupa bertajuk “Resurrection” di Art Xchange Gallery, Kopi Bali House (Lt2), Sanur, Bali. Puluhan karya seni lukis dan instalasi itu menawarkan keindahan dan gagasan dalam menjalani hidup, terlebih di masa pandemi ini. Karya lukis uang dipajang didinding yang tertata apik dengan sajian seni rupa berbagai gaya, seperti gaya abstrak, naif, realis, surealis, hingga hiperrealis. Ukurannya pun berbeda-beda, namun tetap menyajikan seni yang menginspirasi. Pameran Resurrection telah dibuka pada, Minggu, 3 Maret 2022.

Sedikitnya ada 27 seniman yang terlibat yang berasal dari luar daerah dan luar negeri, seperti Bali, Yogyakarta, Surabaya, Malang, hingga Malaysia dan Macedonia. Pameran ini menampilkan karya patung, instalasi dan lukisan. “Resurrection” adalah pameran pertama yang menandai kehadiran Art Xchange Gallery yang diawali di Surabaya. Adanya tambahan galery di Bali ini dapat menyemarakan pameran para seniman. Pameran ini mengacu pada semangat Art Xchange Gallery untuk meninggikan martabat seni rupa yang sesuai dengan misi Art Xchange Gallery untuk memperkenalkan seniman Indonesia ke mancanegara,” kata kurator, Arif Bagus Prasetyo dihadapan awak media.

Gallery ini sebagai wadah pertukaran budaya untuk membangun yang saling pengertian dari berbagai lapisan masyarakat. Materi pameran beragam, dan mencerminkan dinamika kontemporer saat ini. Ada lukisan biasa, ada yang melibatkan teknologi tinggi. Ada karya dari hasil eksplorasi menafsirkan kembali tradisi seni rupa mulai dari sejarah seni rupa. Sebagian besar seniman yang pameran kali ini, jarang mendapat kesempatan tampil dalam pameran seni di Bali. “Itu mencerminkan visi dan misi Art Xchange Gallery untuk mendorong pertukaran seniman, mulai dari informasi dan pengalaman,” paparnya.

Pemilik Art Xchange Gallery, Benny Oentoro B.A, mengatakan, seni rupa belakangan ini seolah sudah mati. Budaya konsumerisme telah mematikan pasar seni rupa. Orang tidak lagi menghargai seni rupa dengan cara seperti dulu. Perupa tidak lagi menciptakan seni demi seni itu sendiri. Alih-alih, mereka memproduksi seni secara massal dan menciptakan seni demi uang. Menciptakan seni tidak lagi terletak pada mutu atau jiwa karya seni, melainkan terletak pada likuiditasnya. Semuanya demi mendapatkan uang secepat-cepatnya. “Maka itu, kami angket tema “Resurrection” yang artinya ‘Kebangkitan’,” paparnya.

Baca Juga:  Terjebak di Bali, Mick Baumeister Ciptakan Komposisi Musik Tetang Bali

Benny Oentoro sangat percaya, inilah saatnya untuk memulihkan pasar seni rupa seperti sedia kala. “Kita perlu membangkitkan seni, orang perlu belajar bagaimana menghargai seni dengan tulus, bukan karena nilai uangnya, tetapi karena konteksnya yang lebih luas. Seni membuka hati kita dan mengenyangkan pikiran kita. Tanpa seni, kita akan hidup di dunia yang hampa, dunia yang tidak ada pemikiran dan kegembiraan, hanya ada kehambaran,” imbuhnya serius.

Resurrection

Karena kebangkitan itu pula, Art Xchange Gallery ini dibuka di pulau Dewata, Bali. Hal ini tentu arah yang benar secara alami, karena Bali sudah terkenal di seluruh dunia sebagai destinasi internasional. Sebelum itu, Art Xchange Gallery telah dibuka di Surabaya (2009), lalu di Singapura (2011) untuk memberikan eksposur yang lebih besar kepada para senimannya di pasar yang baru, lantas di Jakarta (2018) dengan tujuan memperkenalkan seniman Indonesia secara lokal dan internasional. “Visi dan misinya untuk memberikan kesempatan bagi seniman muda menunjukan bakatnya kepada dunia. Seniman yang kita tampilkan pada pameran ini memiliki kekuatan masing-masing,” ucapnya.

Sebanyak 27 seniman yang berpameran itu, yaitu Ana, Andi Prayitno, Ang Che Che, Anis Kurniasih, Antoe Budiono, Ben Wong, Budi Asih, Burhanudin Reihan Afnan, Cadio Tarompo, Camelia Mitasari Hasibuan, Chairol Imam, Citra Pratiwi, Dedi Imawan, Dona Prawita Arissuta, Hendra Purnama, I Made Gunawan, I Made Santika Putra, I Putu Adi, I Wayan Legianta, Jemana Bayubrata Murti, Johhny Gustaf, Lim Tong Xin, M Aidi Yupri, Ni Nyoman Sani, Sinisha Kashawelski, Wahyu Nugroho dan Wisnu Ajitama.

Seniman Jemana Murti kelahiran di Bali tahun 1997, menyelesaikan pendidikan seni rupa di Nanyang Academy of Fine Arts pada tahun 2020. Praktik seninya meliputi seni lukis, patung, dan instalasi dengan skala besar. Ide karyanya berasal dari pengalaman hidup di Bali dan aspek religi Bali. Jemana aktif mengikuti berbagai pameran di Bali dan Singapura. Karyanya dikoleksi pencinta seni di Singapura dan Indonesia. Sebuah karyanya juga merupakan bagian dari instalasi permanen di resor Raffles Maldives Meradhoo.

Baca Juga:  Launching Video Klip Hyena Hingga Pameran Dan Lelang Lukisan

Ni Nyoman Sani asal Bali kelahiran 1975, merupakan seniman dengan karya unik berkonsep kuat yang banyak mengangkat tema perempuan. Sani sejak kecil sudah tertarik menggambar, namun kegemarannya itu tidak mendapat dukungan keluarga. Meskipun demikian, bakat seni rupa yang ada dalam dirinya terus dipupuknya dengan tekun berlatih menggambar. Ia berkuliah seni rupa di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Denpasar (sekarang Institut Seni Indonesia Denpasar) pada tahun 1995 – 2000.

Semangat berkesenian Sani diilhami perjuangan ibunya, seorang pekerja keras yang sangat tangguh. Berbekal kemampuan berdagang benda kerajinan, sang ibu membimbing anaknya untuk meraih impian. Sani menggemari ilustrasi fesyen dan akhirnya memutuskan untuk menekuni fine art dengan mengambil tema perempuan. Baginya, bagian tersulit dalam berkarya adalah mengakumulasikan apa yang dilihat dan diserapnya. Karya Sani kerap menghadirkan bentuk tubuh dan wajah perempuan dengan warna-warna gelap dan terang. Pilihan warna ini tergantung pada suasana hati Sani.

Resurrection

Menurutnya, perempuan ibarat malaikat bagi dirinya sendiri, namun juga bisa menjadi racun untuk dirinya sendiri, tergantung pada apa yang ia lakukan. Dalam berkarya, Sani biasa menggunakan cat akrilik, cat air, cat minyak, dan dermatograph. Karya yang dihadirkan kali ini terinspirasi dari wajah anaknya dengan nuansa bunga matahari yang mengingatkan pada kebun bunga matahari miliknya. Sebagai pelaku seni, Sani berkeyakinan bahwa komitmen dalam berkesenian adalah kunci utama menuju karier yang terus berkembang. Baginya, karyanya ibarat buku perjalanan hidup yang ditulis untuk anak-anaknya.

Sementara Wahyu Nugroho asal Yogyakarta, kelahiran 1995, adalah seniman muda yang menekuni seni patung. Karyanya banyak menampilkan kontradiksi antara objek buatan manusia dan ciptaan Tuhan, terutama alam. Sejak kecil tertarik dengan seni rupa. Setamat dari Sekolah Menengah Seni Rupa jurusan Seni Patung, ia kuliah di Program Studi Seni Patung, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, pada tahun 2013-2019. Setelah menyelesaikan studinya, ia fokus berkarya patung instalasi dengan menggabungkan berbagai media menjadi karya yang memiliki makna.

Baca Juga:  Tampil di Bali, The Weezer Panaskan Panggung 'Road To Now Playing Festival 2023’

Wahyu sangat memaknai setiap proses dalam menyelesaikan karyanya. Pembuatan karyanya biasa membutuhkan waktu satu sampai dua bulan. Presentasi karyanya juga memakan waktu cukup lama, karena melibatkan banyak benda, baik benda seni maupun komponen di luar konteks seni rupa. Karya Wahyu banyak berbicara tentang tumbuhan dan alam. Ia memang menggemari berbagai tumbuhan. Wahyu mencintai proses pertumbuhan pada tumbuhan. Menurutnya, belajar dari proses pertumbuhan, kita harus memberi ruang tumbuh pada sesama makhluk hidup serta menghargai apa yang sudah ditakdirkan lebih dulu ada. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post