Tari Panji Masutasoma; Merawat Kebhinekaan, Memupuk Toleransi
Doa, tak hanya bisa dilakukan dengan menghaturkan sesajen, lalu mengucapkan mantra-mantra atau tembang (lagu-lagu) suci, tetapi dapat juga dilakukan melalui seni tari. Cara itu dilakukan oleh seniman yang juga dosen Fakultas Seni Pertunjukan Institut seni Indonesia (ISI) Denpasar, Ida Ayu Wayan Arya Satyani. Karya seni baru berjudul Tari Panji Masutasoma, sekelumit doa bagi keutuhan negeri tercinta Indonesia. Karena itu, selama 12 karya tari itu mengumandangkan indahnya toleransi melalui perpaduan tari Panji Gambuh gaya Budakeling, Rudat, dan Burdah Saren Jawa, serta teks Sutasoma sebagai narasinya. Kostum para penari terkesan minilais bernuansa putih yang penuh makna.
Tari Panji Masutasoma itu telah dipentaskan di Pitaloka, Sanur 17 Agustus 2022, bersama dua karya hasil Penelitian dan Penciptaan Seni (P2S) lainnya yakni Teater Pakeliran Tutur Candra Bherawa karya I Gusti Putu Sudarta, dan Tari Janger Nusantara Mahardika karya Ni Made Haryati. Ketiga karya itu sebagai cara memperingati 77 tahun Indonesia Merdeka, bekerja sama dengan manajemen Pitaloka. Diseminasi karya ini digelar bertajuk “Bhinneka Tunggal Ika, Seni Menyatukan Kita”. Bukan hanya seni pertunjukan, malam itu juga tampil seniman lukis dan sanggar tari dari desa setempat, serta sanggar seni Buana Pusaka Pajajaran, Bandung, cabang Bali.
Di malam hari kemerdekan itu, Pitaloka sebuah restaurant di kawasan wisata Sanur memang terkesan beda malam itu. Para pengunjung yang kebetulan hadir, secara tidak sengaja mendapat suguhan seni kreatif dari para seniman-seniman muda kreatif. Beberapa seniman dan penggiat seni khususnya seni pertunjukan ada yang hadir untuk dapat menyaksikan pertunjukan seni itu. Bahkan, pejabat LP2MPP ISI Denpasar, Koordinator Prodi dari Fakultas Seni Pertunjukan, para dosen, serta masyarakat setempat juga tak mau ketinggalam. Acara pentas seni itu kemudian ditutup dengan dialog karya dari masing-masing peneliti.
Tari Panji Masutasoma diawali dengan melantukan kakawin Sutasoma oleh dua penari remaja, laki dan perempuan yang mencerminkan keragaman yang indah. Penari laki mengenakan busana nasional, sementara yang wanita berbusana tradisional. Penampilan para penembang ini mirip seorang dalang yang memaparkan kisah tari berikutnya. Lalu, muncul 7 penari laki-laki dan perempuan mengungkap pesan kebhinekaan itu melalui gerak tari dan proses kreatif yang mereka lalui. Para penari merealisasikan proses kreatif yang mencerminkan sikap ber-Bhinneka Tunggal Ika, serta menggelorakan semangat toleransi.
Tari Panji Masutasoma ini menyajikan sumber kreatif yang begitu komplek sebagai gambaran dari keberagaman yang indah itu. Hal itu tampak dari para penari yang juga lihai dalam menyajikan berbagai keterampilan, bukan hanya sekedar menyajikan gerak tari. Para penari betul-betul dituntut memiliki ketrampilan lebih dari sekedar menari. Mereka, tak hanya menguasai tari Panji Pagambuhan gaya Budakeling, tetapi juga terampil memainkan suling Gambuh, memainkan rebana ‘Burdah’, melantukan Kakawin Sutasoma, menguasai teknik putaran pada tari Sufi, serta luwes mengikuti pengembangan gerak tarinya. Ya.., penari itu menari, menyanyi, sekaligus memainkan musiknya.
Tari ini menjadi lebih mempesona, karena para pendukungnya memiliki kemampuan yang memang lebih, sehingga antara penari laki dan perempuan hampir tak tampak bedanya. Satu kekhasan dari garapan tersebut, semua penari menari sambil melantunkan tembang-tembang kuno yang dapat membangkitkan rasa patriotisme. Para penari memiliki tubuh yang sangat lentur, sehingga kesan tradisional atau kedaerahan dilebur menjadi satu-kesatuan yang utuh. Gerak tarinya terkesan modern, tetapi nuansa gerak tari tradisional Bali masih kuat.
Tari Panji Masutasoma memusatkan perhatian pada karakterisasi figur Sutasoma dengan mengelaborasikan tiga elemen penciptaan, sehingga tercipta karakter baru. Struktur koreografinya dibagi dalam tiga babak. Pertama, papeson menggambarkan Sutasoma dalam suasana tenang (dalam Bahasa Bali disebut alep), agung, magis melalui gerak pepanjian, unsur musikal juga dominan suling Gambuh dan bait-bait kakawin Sutasoma.
Babak kedua, pangawak menggambarkan gejolak, kegelisahan, ketegangan. Koreografinya, diwarnai perpaduan gerak Panji dengan dasar gerak Tari Rudat (pencak silat), unsur musikal yang lebih dinamis dengan memasukkan instrumen Burdah. Babak ketiga pakaad diwarnai suasana hening, tentram, harmoni dengan memadukan kidung, kakawin, nyanyian-nyanyian rohani dari kesenian Rudat dan Burdah. Gerak-gerak yang dieksplor bersifat lebih tenang, statis, ringan. Sedang struktur dramatik karya disusun dalam format kerucut ganda, yakni terdapat beberapa kali tanjakan emosional menuju klimaks karya hingga penurunan atau penyelesaiannya.
Semua gerak para penari itu mampu mencerminkan sikap toleransi, karena sebelumnya mereka terlibat dan wajib mengikuti proses kreatif yang disebut mapaguruan, berguru kepada para ahlinya. Salah satunya mapaguruan ke Desa Saren Jawa, Budakeling, Karangasem untuk belajar kesenian Burdah yang merupakan salah satu sumber kreatif dari karya tersebut. “Kami mengajak mahasiswa berguru langsung kepada saudara muslim di desa Saren Jawa, berinteraksi secara langsung, merasakan sambutan hangat, tata krama, dan tata Bahasa Bali halus antara warga Budakeling dengan warga Desa Saren Jawa,” kata Ida Ayu Wayan Arya Satyani.
Hal tersebut sangat penting, sehingga mampu memberi pengalaman yang dapat menyentuh hati dan meresap dalam prilaku sehari-harinya dalam mengamalkan toleransi di negeri majemuk ini. Selain kesenian Burdah, Tari Panji Masutasoma juga menggunakan tari Panji dalam dramatari Gambuh gaya Budakeling, dan teks Sutasoma sebagai sumber kreatifnya. Kostumnya sama, menggunakan hiasan kepala yang dari depan tampak menggunakan peci simbol nasionalisme, dipadu dengan keklopingan yang mejadi ciri khas Panji. Sementara itu, bagian bawahnya merupakan perpaduan sesaputan Panji dengan tenur yakni rok dari tarian Sufi. Perpaduan ragam unsur budaya sebagai simbol toleransi, kelapangan hati untuk menerima keberagaman.
Dayu Ani, sapan akrabnya mengatakan, proses penciptaan tari ini merujuk pada metoda penciptaan angripta sasolahan: ngrencana (persiapan), nuasen (ritual awal), makalin (pemilihan, persiapan materi, dan improvisasi), nelesin (merapikan, menata secara utuh), dan ngebah (pementasan perdana). Disamping mapaguruan (berguru), para para penari juga dituntut memiliki kemampuan multitalenta (ngraweg): menari, bermusik, dan berolah vokal. “Kami berharap karya dapat berkontribusi dalam upaya memupuk toleransi dan merawat kebhinekaan bangsa Indonesia,” ungkapnya.
Tahun ini Indonesia harus memperkuat toleransi dan moderasi beragama. Sebagai seniman, dirinya turut memupuk sikap toleransi melalui seni. Sebab, seni sebagai salah satu unsur budaya ciptaan manusia yang dapat membentuk karakter bangsa. Sifat seni yang kreatif dan universal menempatkan seni sebagai alat komunikasi yang efektif, termasuk dalam upaya pertahanan bangsa. “Tari Panji Masutasoma diciptakan untuk menyuarakan pentingnya merawat kebhinekaan dan memupuk toleransi sebagai reaksi terhadap fenomena intoleransi yang terjadi di Indonesia, disamping keprihatinan kami terhadap kelangsungan hidup seni klasik Gambuh di Bali, khususnya di Desa Budakeling,” tegasnya.
Dayu Ani menambahkan, karya tari ini hasil dari penelitian P2S yang dananya berasal DIPA ISI Denpasar Tahun 2022. Sebagai pendukung garapan, yakni Yayasan Bumi Bajra Sandhi, Manajemen Pitaloka Sanur Denpasar, Pengangge Art Tanjung Benoa, dan A’strobo’y LightArt. Tari ini didukung Komang Jana Arta Suputra, Pande Komang Satria Wirapranata, I Putu Ryan Arya Saputra, I Putu Aditya Guna Eka Putra, I Putu Parama Kesawa, Pande Kevin Muliartha, Ida Bagus Putu Mahijasena, I Made Arma Wilingga Arsa, dan Ida Ayu Wayan Prihandari. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali