Problematika Penulisan Budaya dan Nasib Wartawan Budaya
Media budaya sejarang dianggap kurang memberi perhatian pada ruang-ruang budaya. Hal itu berbeda dengan dulu, sekitar tahun 90-an. Koran Bali Post setiap minggu hampir dua kali menampilkan tulisan budaya. Sebut saja rubric Kultur yang menampilkan pikiran mengenai kesenian dan budaya. Media saat ini semakin ringkas, singkat dan padat yang dianggap lebih mampu menarik pembaca dan pemasang iklan. “Disamping itu, kompetensi teman-teman wartawan yang juga sebagai andil, apalagi membuat kritik seni dan budaya, itu selalu ditagih,” kata I Made Sujaya saat menjadi narasumber pada Pablibagan Penggak Men Mersi, Sabtu 26 November 2022.
Dosen Universitas Mahadewa itu mengatakan, tantangan menulis kritik seni dan budaya itu ada pada media itu sendiri, juga pada penulisan wartawannya. Ruang ruang budaya itu tumbuh secara personal, sehingga menumbuhkan ruang penulisan yang dapat merunut sejarah. Sebagai jurnalis, penulis menuangkan pandangan baik kritik yang menjalankan iklim fungsi intelektual, bukan seorang kuli tinta. “Saya merasa berbangga, karena ruang digital membuat situasi bergerak dari mas media. Penggarapannya juga tak kalah dengan media main trims. Ruang di digital itu sebagai ruang baru untuk mengisi kekosongan di media cetak,” ungkapnya.
Wartawan budaya itu penting dalam dinamika budaya, karena ia memberikan persefektif melihat wajah budaya kedepan. Wartawan memberikan kepekaan menangkan realitas lebih akurat untuk bisa dituangkan dalam karya tulis jurnalistik itu. “Hanya saja media sekarang ketergantungan pada rilis. Itu bukan salah, tetapi rilis ini mestinya dijadikan sebagai media untuk memperkaya tulis menulis dengan melihat teks. Rilis itu dijadikan bahan saja, tetapi bisa melakukan pendalaman semakin kuat,” sebutnya.
Made Adnyana Ole mengawali pemaparannya dari keinginannya dulu yang ingin menjadi wartawan. Profesi itu dirasa dapat membangun kebudayaan Bali, Ia merasa tak ada acara lain yang bisa dilakukan. Tidak ingin menjadi guru, pengusaha atau petani. “Saya ingin menjadi wartawan budaya secara khusus menulis budaya. Ketika peristiwa kebudayaan ada di pusat sebut saja Pekan Komponis, hampir masyarakat tidak ada yang tahu. Masyarakat hanya tahu event saja, tetapi isinya tak ada yang membicarakannya. Karena didalam isi itu ada daya cipta, bagaimana seniman itu menciptakan,” paparnya.
Menurutnya ada banyak yang menginformasikan even-even seni dan budaya, tetapi isinya tidak ada yang membicarakan dalam bentuk tulisan. Padahal di dalam isi itu, ada daya cipta, bagaimana seorang seniman itu menceritakan ide, gagasan dan penciptaannya. “Ketika dulu ada pekan komponis yang berpengaruh dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB), ketika ada Baleganjur yang tidak sepemikiran, terjadi di media sosial. Kita tak menemukan tulisan ini. Kita jarang sekali membicarakan karya seni dengan siapa,” ucapnya.
Sesungguhnya itu ada di kampus-kampus, namun hanya memakai bahasa ilmiah. Maka itu, kehadiran media masa itu penting untuk meringankan persoalan gawat agar orang awam mengerti. Kalau tulisan itu berat, hanya orang tertentu yang mengerti. “Itulah pentingnya peristiwa kebudayaan yang lebih ringan dan bisa masuk media masa. Kalau media tak menampung itu, karena komersil memang berat dan tak ada solusinya,” imbuhnya.
Adnyana Ole menegaskan, penulisan budaya tak ada yang baru di Bali hanya ada pengulang-pengulangan saja. Hal itu mestinya memakai konsep Tri Kono Utpeti (penciptaan), Stiti (merawat) dan Pralina (menghancurkan). “Kita hancurkan gaya yang lama, lalu menciptakan sendiri. Contohnya, ketika menulis “Ngusaba Dangsil” orang hanya menulis saat puncaknya saja, tetapi tak ada yang menulis sebulan sebelum itu. Orang menulis saat evoria dan upacaranya saja, sehingga itu memunculkan pengulangan saja,” bebernya.
Penulisan budaya memang ada, tetapi jarang sekali membicarakan karya dengan gagasan seniman siapa. Walau itu sudah ada di kampus-kampus tetapi hanya dalam bahasa ilmiah. Karena itu media masa itu penting untuk meringankan persoalan-persoalan gawat, agar orang awam mengerti. “Ketika festival tak ada menonton, karena selain berat orang menonton disuruh berpikir lagi, sehingga mereka kurang tertarik menyaksikannya. Tetapi, kalau ada wartawan yang menulis, maka hal itu masyarakat akan semakin mengerti. Orang akan menjadi tertarik datang menonton,” sebutnya.
Sementara Kelian Penggak Men Mersi, Kadek Wahyudita mengatakan, saat ini Bali sangat kaya dengan event budaya, namun minim dalam pencatatannya. Event itu hanya berjalan, lalu menghilang. Belum banyak ada catatan yang bisa dijadikan referensi untuk penulisan berikutnya. Karena itu diperlukan satu ekosistem untuk saling menguatkan ujarnya narasi, sehingga ada kesejahteraan penulis. “Kami merasa perlu ada sebuah komunitas penulis budaya, sehingga kebudayaan bisa tercatat untuk kemudian dibaca oleh anak-anak muda,” ujarnya.
Dalam pabligbagan bertajuk “Problematika penulisan budaya di media massa” itu, Wahyudita menegaskan bukan tidak ada tulisan budaya, tulisan budaya itu ada, namun penulisan budaya itu belum bisa menyentuh yang tepat, karena adanya di kampus-kampus dalam bentuk penulisan ilmiah, namun sangat jarang dipahami masyarakat. “Perlu ada ekosistem untuk menciptakan penulis budaya, sehingga bisa mengimbangi ruang-ruang budaya yang begitu cepat,” ungkap, seniman karawitan ini. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali