Tari Legong Buwuk Terinspirasi Dari Kisah Nyata

Pernah menyaksikan Tari Legong Buwuk? Karya tari kreasi ini tergolong unik karena tari ini diciptakan dari sebuah musibah kebakaran. Garapannya, tergolong apik dan mengedepankan pakem tari tradisional Bali. Bentuk dan wujudnya hampir sama dengan tari legong biasanya, yakni merupakan salah satu karya tari klasik yang senantiasa menjadi ikon tari di Pulau Dewata. Tari Legong Buwuk tergolong sebagai tari kreasi, namun kelahirannya terinspirasi dari Tari Legong Klasik yang ada sebelumnya. Jika dilihat dari busana yang dipakai, Tari Legong Buwuk menyajikan estetika berbanding terbalik dari tari legong yang asli. Jika tari legong pada umumnya berbusana bersih, apik dengan gelungan berkilau keemasan dan diwarnai kerlip mutiara. Namun, berbeda halnya dengan Legong Buwuk yang hanya menggunakan kostum sederhana. Bahkan, busananya terkesan acak karena menggunakan kain robek yang terkesan kotor. Gelungannya juga beda, yairu tanpa prada, sehingga terkesan buwuk (lama). Itulah keunikan Legong Buwuk. Ya, itu karena tari ini lahir dari sebuah musibah yang dialami oleh keluarga ibu Ni Made Kinten selaku pimpinan Sanggar Miniarthis, Karangasem. Kebakaran itu melenyapkan semua harta benda termasuk kostum-kostum berharga, seperti busana dengan kain gringsing dan songket miliknya. Bencana itu memang menyedihkan, tetapi menjadi inspirasi I Gede Gusman Adhi Gunawan merupakan putra Ni Made Kinten untuk mencipta sebuah garapan tari baru. Pimpinan Sanggar Gumiart itu kemudian bangkit dan menjawab musibah itu dengan mengarap tari legong. Koreografer kondang yang juga Dosen Pendidikan Sendratasik di IKIP PGRI Bali ini kemudian terinspirasi dari sisa-sisa kain yang terbakar untuk melahirkan karya tari yang diberi judul Legong Buwuk. Terciptanya, tari itu juga mendapat dukungan dan masukan dari aktivis Rumah Budaya Penggak Men Mersi yang selanjutnya iringan musik diterjemahkan oleh I Wayan “Pacet” Sudiarsa. Tari ini diiringi gamelan Gong Suling yang sempat ditampilkan di Panggung Terbuka Ardha Candra Taman Budaya Bali. Wawan Gumiart, demikian sapaan akarab pria kreatif itu mengatakan, karya tari Legong Buwuk ide dan gagasannya didasari atas kisah nyata. Perjuangan seorang seniwati untuk bangkit dari keterpurukan pasca musibah kebakaran itu menjadi inti dari terwujudnya karya seni itu. Lima orang penari menggambarkan musibah serta makna leewat gerak tari yang indah. Tari ini diciptakan pada 2014 dengan durasi waktu 11 menit. Menurut Wawan Gumiart, sejak kelahirannya pada tahun 2014 itu, tari ini sudah bertransformasi menjadi beberapa karya, diantaranya pada awal penciptaan ditarikan oleh 5 orang penari putri dan dipentaskan pertama kali saat event Bali Mahalango 2014 diberi judul Legong Buwuk. Kemudian karya dengan ide yang sama, namun konsepnya dikembangkan maka lahirlah karya Tari Jaya Baya. Karya ini dibawakan oleh 8 orang penari dengan formasi 4 penari putra dan 4 penari putri. Tari Jaya Baya pernah mengikuti kompetisi tari di Jakarta mewakili Bali dalam even Festival Nasional Seni Pertunjukan di Gedung Kautaman TMII Jakarta pada tahun 2014. Tari itu berhasil meraih prestasi terpilih sebagai karya terbaik. Transformasi terakhir, karya ini diberi judul Adyus Apwi dalam bentuk karya kontemporer yang diiringi dengan music midi oleh komposernya Ari Wijaya Palawara. (B/AD)
Pernah menyaksikan Tari Legong Buwuk? Karya tari kreasi ini tergolong unik karena tari ini diciptakan dari sebuah musibah kebakaran. Garapannya, tergolong apik dan mengedepankan pakem tari tradisional Bali. Bentuk dan wujudnya hampir sama dengan tari legong biasanya, yakni merupakan salah satu karya tari klasik yang senantiasa menjadi ikon tari di Pulau Dewata. Tari Legong Buwuk tergolong sebagai tari kreasi, namun kelahirannya terinspirasi dari Tari Legong Klasik yang ada sebelumnya.
Jika dilihat dari busana yang dipakai, Tari Legong Buwuk menyajikan estetika berbanding terbalik dari tari legong yang asli. Jika tari legong pada umumnya berbusana bersih, apik dengan gelungan berkilau keemasan dan diwarnai kerlip mutiara. Namun, berbeda halnya dengan Legong Buwuk yang hanya menggunakan kostum sederhana. Bahkan, busananya terkesan acak karena menggunakan kain robek yang terkesan kotor. Gelungannya juga beda, yairu tanpa prada, sehingga terkesan buwuk (lama). Itulah keunikan Legong Buwuk.

Ya, itu karena tari ini lahir dari sebuah musibah yang dialami oleh keluarga ibu Ni Made Kinten selaku pimpinan Sanggar Miniarthis, Karangasem. Kebakaran itu melenyapkan semua harta benda termasuk kostum-kostum berharga, seperti busana dengan kain gringsing dan songket miliknya. Bencana itu memang menyedihkan, tetapi menjadi inspirasi I Gede Gusman Adhi Gunawan merupakan putra Ni Made Kinten untuk mencipta sebuah garapan tari baru. Pimpinan Sanggar Gumiart itu kemudian bangkit dan menjawab musibah itu dengan mengarap tari legong.
Koreografer kondang yang juga Dosen Pendidikan Sendratasik di IKIP PGRI Bali ini kemudian terinspirasi dari sisa-sisa kain yang terbakar untuk melahirkan karya tari yang diberi judul Legong Buwuk. Terciptanya, tari itu juga mendapat dukungan dan masukan dari aktivis Rumah Budaya Penggak Men Mersi yang selanjutnya iringan musik diterjemahkan oleh I Wayan “Pacet” Sudiarsa. Tari ini diiringi gamelan Gong Suling yang sempat ditampilkan di Panggung Terbuka Ardha Candra Taman Budaya Bali.
Wawan Gumiart, demikian sapaan akarab pria kreatif itu mengatakan, karya tari Legong Buwuk ide dan gagasannya didasari atas kisah nyata. Perjuangan seorang seniwati untuk bangkit dari keterpurukan pasca musibah kebakaran itu menjadi inti dari terwujudnya karya seni itu. Lima orang penari menggambarkan musibah serta makna leewat gerak tari yang indah. Tari ini diciptakan pada 2014 dengan durasi waktu 11 menit.
Menurut Wawan Gumiart, sejak kelahirannya pada tahun 2014 itu, tari ini sudah bertransformasi menjadi beberapa karya, diantaranya pada awal penciptaan ditarikan oleh 5 orang penari putri dan dipentaskan pertama kali saat event Bali Mahalango 2014 diberi judul Legong Buwuk. Kemudian karya dengan ide yang sama, namun konsepnya dikembangkan maka lahirlah karya Tari Jaya Baya. Karya ini dibawakan oleh 8 orang penari dengan formasi 4 penari putra dan 4 penari putri.
Tari Jaya Baya pernah mengikuti kompetisi tari di Jakarta mewakili Bali dalam even Festival Nasional Seni Pertunjukan di Gedung Kautaman TMII Jakarta pada tahun 2014. Tari itu berhasil meraih prestasi terpilih sebagai karya terbaik. Transformasi terakhir, karya ini diberi judul Adyus Apwi dalam bentuk karya kontemporer yang diiringi dengan music midi oleh komposernya Ari Wijaya Palawara. (B/AD)
9 Comments
… [Trackback]
[…] Read More to that Topic: balihbalihan.com/2020/04/17/legong-buwuk-tari-kreasi-dari-sebuah-musibah/ […]
… [Trackback]
[…] Here you can find 51653 more Info on that Topic: balihbalihan.com/2020/04/17/legong-buwuk-tari-kreasi-dari-sebuah-musibah/ […]
… [Trackback]
[…] Here you can find 23694 more Info to that Topic: balihbalihan.com/2020/04/17/legong-buwuk-tari-kreasi-dari-sebuah-musibah/ […]
… [Trackback]
[…] Find More here on that Topic: balihbalihan.com/2020/04/17/legong-buwuk-tari-kreasi-dari-sebuah-musibah/ […]
… [Trackback]
[…] Read More Info here on that Topic: balihbalihan.com/2020/04/17/legong-buwuk-tari-kreasi-dari-sebuah-musibah/ […]
… [Trackback]
[…] Find More Info here on that Topic: balihbalihan.com/2020/04/17/legong-buwuk-tari-kreasi-dari-sebuah-musibah/ […]
… [Trackback]
[…] Here you can find 56066 additional Information on that Topic: balihbalihan.com/2020/04/17/legong-buwuk-tari-kreasi-dari-sebuah-musibah/ […]
… [Trackback]
[…] Find More on on that Topic: balihbalihan.com/2020/04/17/legong-buwuk-tari-kreasi-dari-sebuah-musibah/ […]
… [Trackback]
[…] Find More Info here to that Topic: balihbalihan.com/2020/04/17/legong-buwuk-tari-kreasi-dari-sebuah-musibah/ […]