“Candra Murti Ning Wana”, Pancer Langiit Angkat Kisah Lahirnya Hutan, Ajak Manusia Jaga Alam

Tata surya begitu megah mengeliling matahari yang gagah. Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto, Matahari, Bulan, bintang, apakah terpikirkan bagaimana itu bisa tercipta? Jawaban dari pertanyaan itulah yang diangkat dan dikupas Sanggar Pancer Langiit melalui karya Tari “Candra Murti Ning Wana”. Tari yang didukung para seniman muda berbakat ini disajikan dalam Adilango (Pergelaran) Festival Seni Bali Jani (FSBJ) III bertempat di Gedung Ksirarnawa, Art Center, Taman Budaya Provinsi Bali, Jumat 29 Oktober 2021.
Dengan koreo tari yang khas, sanggar seni beralamat di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung itu mengupas tuntas terciptanya wana (hutan) melalui sajian seni tari. Perpaduan gerak tari dengan iringan music serta penataan cahaya lampu yang sangat pas dapat menciptakan suasana sesuai tuntutan tema. Property berupa kain besar da lainnya, sebagai sarana membentuk laut, digarap dengan gerak tari yang padu. Penataan kostum begitu kuat, yang menyesuaikan dengan tema yang diangkat, sehingga menjadi berbeda dan sangat menarik.
Tari “Candra Murti Ning Wana” diawali dengan seorang penari yang bertugas sebagai pembaca puisi, sekaligus nembang tentang hutan dan kehidupanya dengan music yang dapat mendukung mewujudkan suasana. Di babak satu itu, penari wanita ini, seperti serang dalang yang memaparkan kisah yang akan disajikan saat itu.
Pada babak dua, perlahan muncul bulan yang agung dan megah lalu perlahan terlihat dewi bulan yang cantik dan anggun. Setelah dewi bulan menari tunggal dengan anggun dan cantic, selanjutnya muncul dayang-dayang, bidadari mengiringi keindahan dari dewi bulan dengan, suasana lembut, tenang dan penuh keindahan. Dayang-dayang itu menjadi simbol sinar percikan dari dewi bulan. Percikan sinar merupakan benih yang akan melahirkan berbagai tumbuhan hutan. Disini, ada permianan multimedia dimana cahaya sinar yang ada ditembakan oleh multimedia ke kostum penari dayang yang berwarna putih, sehingga menghasilkan warna yang sangat indah.
Dibabak tiga, sinar-sinar percikan dewi bulan yang disimbolkan oleh dayang-dayang bidadari jatuh ke bumi, kemudianmenjadi tumbuhan yang dilukiskan dalam bentuk ganggeng. Suasana pentas mulai berubah dengan sebuah koreo tari kelahiran hutan ganggeng. Penari itu bergerak, sambilo membentuk fose-fose, sehingga terbentuk suasana rimba. Kelahiran ganggeng ini merupakan symbol dari kelahiran berbagai pohon-pohon di hutan.
Pada babak empat, muncul manusia-manusia jahat yang menghancurkan hutan dengan membabi buta. Niat jahat itu, diawali dengan kelucuan dari si penebang hutan yang mempersiapkan alat alat kerjanya. Setelah itu, mulai adegan manusia jahat berbentuk barisan kemudian melaksakan aktifitas penghancuran hutan secara membabi buta. Walau, itu perbuatan yang jahat, tetapi dalam kore, gerak tari itu dengan suasana banyol, lucu dan terkadang suasana ketegangan dalam penghancuran hutan.
Sementara babak lima, mengisahkan hutan yang kering, hancur akibat ulah manusia. Suasana itu disimbolkan dengan penari akar yang memakai kostum akar kering dan usang. Pada adegan ini, muncul kembali Bulan dan Dewi bulan yang sangat bersedih melihat hutan yang diciptakan. Anak-anak ganggeng juga sudah hancur dan kering ulah dari perbuatan manusia jahat. Suasana dalam adega ini sangat menyedihkan, bahkan mencekam.
Dibabak enam, menggmbarkan pemurtian kewisesan, kemarahan Dewi Bulan yang melihat kehancuran hutan tersebut. Penari akar-akar yang tertidur mulai bangkit menjadi bhuta wisesa. Pada adegan ini puisi kembali masuk dibaca dan menceritakan kemarahan besar dari dewi bulan akibat hancurnya hutan ulah manusia jahat. Dalam adegan ini, seakan memberikan pesan jangan membuat hutan itu murka. Menriknya, pembacaan puisi ini dilakukan di tengah-tengah penononton, sehingga membuat suasana yang beda.
Sementara dibabak tujuh, akar Bhuta Wisesa yang diciptakan oleh Dewi Bulan menyerang seluruh manusia jahat. Melalui kekuatannya, manusia jahat ini disekap dan diteror sampai mati. Bentuk abstrak dan panic menyerang manusia jahat. Pada akhirnya seluruh manusia merasakan batas sadarnya. Suasana itu digembarkan dengan adegan penari membawa senter untuk membuat focus bagian tubuh penari manusia jahat. Ekspresi kesakitan manusia jahat diserikan focus cahaya senter yang dibawa oleh penari akar bhuta wisessa itu.
Sedangkan dibabak delapan, mengisahkan pada saat titik akhir sadar manusia jahat tersebut, mulai muncul bayangan siluet Dewi Bulan yang agung. Bayangan siluet ini dihasilkan dari backlight dan smoke. Setelah terlihat Dewi Bulan yang Agung itu, manusia jahat merasa sangat bersalah dan memohon maaf kehadapan Dewi Bulan. Kesalahan yang diperbuat tidak dapat dimaafkan, sehingga akhirnya semua manusia jahat mati di tempat. Dalam adegan ini, penari pembaca puisi itu merangkum semua isi pertunjukan dan sekaligus menutup pertujukan.
Pimpinan Sanggar, konsepter sekaligus koreografer, Dr. Anak Agung Gede Agung Rahma Putra, S.Sn., M.Sn. mengatakan, berdasarkian sastra lontar kuno berjudul “Batur Kalawasan” tertulis sebelum adanya bumi ini, ada tiga komponen utama yang diciptakan terlebih dahulu, yaitu Bulan, Bintang dan Matahari atau Surya, Candra, dan Lintangtranggana. Matahari (Surya) melahirkan lautan, Bulan (Candra) melahirkan Wana (hutan), dan Bintang (Lintangtranggana) sebagai penunjuk arah mata angin, yang menunjukan dimana laut dan gunung. “Berdasarkan narasumber terkait dengan bait kalimat dalam lontar tersebut, Pancer Langiit merumuskan ide mengangkat tari “Candra Murti Ning Wana” yang memiliki arti Bulan melahirkan hutan,” katanya.
Melalui karya “Candra Murti Ning Wana” ini, Pancer Langiit ingin menyampaikan semua orang harus mampu menghargai hutan beserta isinya. Sebab, menghargai dan merawat hutan sama dengan menghargai alam semesta. Keindahan hutan itu bagaikan keagungan Bulan atau Candra yang harus dijaga, dirawat dan dihargai. Leluhur sudah mewariskan ilmu pengetahuan terkait dengan fungsi hutan dan pemanfaatannya. Tumbuh-tumbuhan yang hidup dalam hutan memiliki jasa yang besar untuk keberlangsungan hidup manusia di bumi ini. Termasuk kebutuhan sandang, pangan dan obat-obatan sudah disediakan berlimpah oleh hutan.
Sayangnya, keserakahan manusia dalam eksploitasi hutan yang berlebihan menghancurkan ekosistem hutan dalam sekejap mata. Itu karena manusia mengesampingkan ajaran leluhur terkait dengan hutan dan alam semesta, sehingga menyebabkan buta mata manusia untuk tidak peduli terhadap hutan dan alam semesta ini. “Melalui karya ini, kami Sanggar Pancer Langiit berharap agar timbul secara bersama, yaitu rasa sadar, eling, dan bakti terhadap keagungan Bulan yang melahirkan Wana. Perlu juga, diimbangi dengan mempelajari ajaran sastra leluhur untuk menjaga hutan agar tetap ajeg dan lestari. Ajeg dan lestarinya hutan membuat alam semesta tersenyum,” harapnya. [B/*]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali