Teater Mandiri Pentaskan “GERR” Kisah Moral Kehidupan Manusia

 Teater Mandiri Pentaskan “GERR” Kisah Moral Kehidupan Manusia

Pasti menyesal jika tak sempat menyaksikan Adilango (Pergelaran) “GERR” dalam ajang Festival Seni Bali Jani (FSBJ) III. Pergelaran yang disajikan Teater Mandiri itu sungguh mempesona, tak hanya kemahiran para pemainnya, tetapi juga syarat pesan. Panggung tertutup Gedung Ksirarnawa, Art Center Taman Budaya Denpasar dibuat dengan suasana pertunjukan yang betul-betul beda. “GERR”, lakon yang ditulis Putu Wijaya di Jakarta 40 tahun lalu, namun dengan versi diedit khusus untuk disajikan dalam Adilango (Pergelaran) FSBJ III sungguh memberi inspirasi dan tuntunan dalam hidup.

GERR yang disutradari Putu Wijaya itu memberikan banyak kisah moral kehidupan manusia. Teater Mandiri yang tampil pada Sabtu 30 Oktober 2021 malam itu mendapat sambutan hangat dari penonton yang didominasi para seniman itu. Pengunjung yang hadir, bukan saja dari kalangan seniman dan penggiat seni, tetapi juga masyarakat yang fanatik terhadap pertunjukan teater ini. Bukan hanya orang dewasa, tetapi anak-anak dan remaja terutama dari kalangan siswa dan mahasiswa banyak yang menonton. Belum lagi lewat tayangan Youtube Disbud Provinsi Bali.

Teater Mandiri

GERR bercerita tentang Bima yang ketika hendak dikuburkan, hidup kembali. Keluarganya bingung karena setelah meratap histeris tiga hari tiga malam, sulit buat mereka menerima sejarah dibatalkan. Sebab semuanya sudah diselenggarakan dengan khidmat, rapi sesuai dengan prosedur yang galib dilaksanakan . Lebih afdol buat mereka untuk melanjutkan upacara sampai tuntas, daripada membatalkannya. Untung ada saran yang tepat dari kedua Penggali Kubur yang membantu upacara 3 itu, sehingga kepanikan berakhir damai bagi semua pihak.

Putu Wijaya mengatakan, melalui pergelaran GERR ini, dirinya ingin menyampaikan manusia sebagai mahluk sosial dan mahluk individu selalu terjadi masalah dalam kehidupanya. Mahluk sosial, menginginkan agar mahluk individu itu tunduk kepada mereka, tetapi mahluk individu memerlukan udara yang bebas, sehingga terjadi konflik. Maka, konflik ini harus didamaikan dengan cara saling pengertian. Harus semuanya saling mengerti “take end give” karena semuanya kadang-kadang separo-separo, seperti suami istri. Kadang-kadang sepertiga, dua pertiga tergantung dari kemampuannya. “Rumusnya tidak ada yang penting selain pemberian secara iklas,” kata Putu Wijaya.

Baca Juga:  Teater Selem Putih Pentaskan ‘Bendera’: Potret Kekinian dan Panjat Pinang

Teater Mandiri

Individu, kalau ingin tenteram dalam sebagai mahluk sosiasl, ia harus ikut dengan apa yang dikatakan komunitasnya. Tetapi, komunitas yang baik harus bisa mernerima ekspresi individu, jangan sampai dirubah, sehinga menjadi kehilangan. Jangan sampai seperti Bima untuk bisa berekpresi secara individu harus mengganti nama, ganti kulit, dan segala macam, sehingga dia tidak menjadi dirinya. “Usahakanlah agar komunitas itu menampung individu-individu itu agar mereka tetap murni dan tidak lebur. Sama dengan negara kesatuan kita. Disetiap daerah masih tetap memiliki kedaertahannya, namun muncul sebagai kesatuan untuk menghadapi sesuatu yang dilakukan bersama,” paparnya.

Teater itu bukan hanya hiburan. Teater itu adalah suara dan pengalaman batin untuk dikomunikaskan kepada masyarakat. Karena dia merupakan dorongan batin, maka dia tidak bisa ditahan oleh apapun, sensor, masalah kekurangan dana, sarana, yang semua itu akan dilawan dengan kreativitas. Meskipun pandemic menyebabkan kita sulit mengumpulkan orang, sulit untuk berlatih, tetapi ada saja jalan karena adanya keinginan kita untuk berbicara berembug dengan masyarakat. Di masa pandemic, tidak menyulitkan orang untuk berkesenian, seperti ajang Festival Seni Bali Jani ini. “Saya rasa disetiap kemalangan, kegagalan, dan disetiap kesusahan selalu ada janji kalau kita mau mencoba untuk menghidupkan kreativitas kita,” ujarnya.

Lalu untuk perkembangan teater Bali, Putu Wijaya kemudian berharap, semua cabang kesenian itu manfaatnya besar sekali bukan hanya untuk hiburan. Lukisan misalnya bukan untuk hiasan saja, tetapi untuk keseimbangan bathin. Teater Mandiri juga memiliki macam-macam aspek, seperti pendidikan disiplin, etos kerja, dan tolerasnsi semua ada didalamnya. Kalau semua itu diterangkan maka, menjadi sebuah pembelajaran yang bagus. “Karena bukan hanya menghaval teks, bukan cuma membuat orang senang tertawa, tetapi membuat orang berdisiplinh, mengerti berbicara dengan baik, dan paham kapan harus diam, dan kapan harus berbicara,” paparnya.

Baca Juga:  Bulan Bahasa Bali, Gubernur Koster Nyurat Lontar Bersama 2020 Peserta

Manfaat yang paling penting, bisa bekerja dalam satu tim, seperti namanya Teater Mandiri adalah independen. Artinya orang itu sanggup berdiri sendiri, juga cakap bekerja dengan orang lain, sehingga tidak individualistic, tetapi juga tidak nunut, seperti bebek. Itulah yang diupayakan dengan teater itu. “Ketika teater menjadi kurikulum sekolah itu menarik sekali. Sayang sekali, kalau itu dilupakan lagi. Sebaiknya itu tetap dilaksanakan. Asal sekarang digali, apa sebetulnya makna pembelajaran seni, pembelajaran teater,” terang Putu Wijaya. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post