Esensi Legong Kembang Ura. Benarkah Membuat Rakyatnya Sejahtera ?
- Kupasan
- Bli Ciaaattt
- 01/03/2022
- 6 minutes read
Keinginan untuk melihat parade palegongan dengan nuansa yang berbeda, belum juga saya temukan. Padahal dari pukul 16.00 Wita duduk di kursi empuk Gedung Taksu Dharma Negara Alaya (DNA) sembari mengintp sajian 6 Sekaa Palegongan, Kamis 24 Februari 2022. Namun, diakhir sesi ketiga ternyata ada yang lain ……..
Saya terlelap dalam masa silam ditahun 30 an. Suara gamelan palegongan mempesona. Bunyi jujur, manis, enak didengar, terasa alami tempo doeloe yang mengheningkan jiwa dan raga. Gending-gending petegak klasik karya maestro Lotring dan Geria seakan mengajak kita untuk setia melantunkan keaslian palegongan itu. Saat merayakan kekaguman itu, saya terusik dan tersentak dengan kerasnya suara speaker, microfon terpajang diantara instruments yang ada. Aduh!
Suara speaker terlalu keras! Seharusnya tidak perlu menggunakan microfon, karena akustik gedung itu sudah lumayan baik. Seputar itu pula obrolan saya dengan Gabriel Laufer, warga Belgia yang juga hadir dalam parade Palegongan ini. Saya mengintip dari kejauhan. Rupa-rupanya volume microfon kurang terkontrol dengan baik. Suara gangsa menukik, hingga megacaukan gendrang pendengaran yang kurang nyaman. Ini terjadi pada sekaa yang bermain di sebelah selatan panggung. Ah, sangat disayangkan !
Hal lain yang juga mengangu, yakni lampu yang ada diantara penonton, kenapa harus terang benderang? Semestinya lampu-lmapu itu redup, agar fokus penonton menjadi sempurna di atas panggung pertunjukan. Mestinya, hal-hal sekecil ini mendapat perhatian, bukannya dianggap sepele. Bukankah gedung ini super modern dengan penataan cahaya/lighting yang jitu?
Pada pentas itu diawali Sekaa Palegongan Lestari Budaya Banjar Meranggi Kesiman yang menampilkan tabuh dan Tari Legong Lasem. Kemudian Sekaa Palegongan Merdu Komala Banjar Binoh Kelod menampilkan Jobog, Sekaa Palegongan Pura Luhur Kanda Pat Sari Banjar Pondok, Peguyangan menampilkan Kuntul, Sekaa Palegongan Banjar Kaja Sesetan menampilkan Legong Kreasi Puputan, Sekaa Palegongan Bandhana Eka Pura Tambangan Badung Pemecutan menampilkan Legong Bandhojayadi, dan Sekaa Palegongan Bandhana Sidhi Gurnita Desa Adat Sidakarya menampilkan karya baru, yakni Legong Kembang Ura.
Perhatian saya sangat tergoda dengan penampilan Legong Kembang Ura dari Sidakarya itu. Legong baru itu karya koreografer muda berbakat, Putu Parama Kesawa. Disitu, ada polesan vintage dalam kostum, ekspresi nyebeng, seperti dalam potrait penari era colonial yang mengagumkan. Bentuk geraknya dalam legong kuno, serta gerak ‘ngengsog’ yang sengaja didiamkan untuk memberi kesan tegas. Inilah yang saya cari. Sebuah pengembangan legong yang menggunakan gerak tradisi kuno. Make up wajah penari begitu pas dan tampaik sangat baik, tidak tebal dan terlihat wajah alami yang cantik tanpa filter.
Namun demikian, pujian saya tidak akan berlebihan, karena ada hal-hal yang kurang pas dihati saya. Penggunaan kostum kurang menarik terutama dibagian kepala bertaburan bunga yang sangat berlebihan seperti penari gandrung. Warna kostum tampak kusam bergaya vintage berasa sisye calonarang. Kalau vintage dengan warna kostum legong kuno barangkali pas dilihat.
Setelah pertunjukan usai, saya bergegas bertemu dengan Parama Kesawa untuk memberikan apresiasi terhadap garapannya. Kesa, sang koreografer sangat positif menerima kritikan. Inilah sesungguhnya seniman muda zaman milenial yang siap dan lapang dada menerima segala masukan.
Dalam perbincangan saya dengan Kesa, pria kalem ini mengatakan Legong Kembang Ura adalah menterjemahkan esensi kembang ura yang terdapat dalam tari topeng Sidakarya. Dalam pertunjukan topeng Sidakarya sering melihat penari menaburkan bunga, pis bolong, dan beras. Kembang Ura adalah simbol kedermawanan Ida Dalem Sidakarya yang ingin rakyatnya sejahtera.
Dalam pikiran saya, ura berasal dari me-Ura (bertaburan) dalam arti positif, yaitu taburan bunga yang mensejahterakan. Dalam konteks cerita ini, wujud taburan berupa bunga, pis bolong dan beras tidak nampak jelas dalam gerak. Padahal, Dalem Sidakarya adalah figur kuat dalam sinopsis yang diceritakan.
Sementara itu, penataan tabuh terasa romantik dengan sentuhan ngumbang isep dalam setiap gerakan. Walau masih terkesan gending palegongan klasik, yang mana melodi, struktur, komposisinya seperti pada palegongan pada umumnya. Jujur, saya ingin gending yang lebih asyik dan unik sebagai identitas kembang ura. Saya berulang-ulang menyaksikan lagi di youtube tetap saja, belum nempel dipendengaran saya. Jangan khawatir bro! Tentulah saya apresiasi tinggi karya tabuh dari I Made Andita ini yang selalu kreatif berkarya dalam setiap Pesta Kesenian Bali (PKB) dalam setiap tahun.
Parade palegongan yang bertajuk “Revitalisasi dan Pengembangan Berbasis Tradisi” yang dikoordinir oleh Dinas Kebudayaan Denpasar ini sebagai langkah nyata pemajuan Kebudayaan Bali di tengah mandeknya penghasilan dan kesejahteraan para “seniman swasta” yaitu seniman tanpa penghasilan bulanan. Berbeda dengan seniman yang sekaligus menjadi Pegawai Negeri Sipil atau Aparatur Sipil Negara hidupnya lebih terjamin dalam masa pandemi ini.
Nah, siapa lagi yang akan membantu para “seniman swasta” ini? Kasihan mereka. Apakah para seniman swasta yang tanpa penghasilan ini, mendapat jatah pentas? Semestinya, kita perlu peka terhadap seniman swasta ini. Pemerintah harus jujur melakukan pemerataan kesejahteraan untuk para seniman swasta yang benar-benar terdampak di masa pandemic Covid-19 ini. Memajukan peradaban kebudayaan, bukan saja memperbanyak kwantitas event yang penuh glamour, tetapi kepedulian pemerintah akan kesejahteraan seniman swasta yang harus mendapat perhatian lebih terutama para seniman tua yang uzur dan terlupakan.
Nah, Semoga saja Tari Legong Kembang Ura ini dapat menggugah hati para pemegang kebijakan agar benar-benar bisa mensejahterakan rakyatnya, terutama para seniman swasta yang basah dalam karya, tetapi kering dalam penghasilan. Ciaaattt ! [B]
I Made Agus Wardana
Asal Denpasar, komposer kreatif yang biasa disapa Bli Ciaaattt, pencipta Gamelan Mulut (Gamut) asal Denpasar, sebagai pengajar seni tabuh di dalam negeri dan luar negeri.
Asal Denpasar, komposer kreatif yang biasa disapa Bli Ciaaattt, pencipta Gamelan Mulut (Gamut) asal Denpasar, sebagai pengajar seni tabuh di dalam negeri dan luar negeri.