Hari Kartini 2022: Perekonomian Perempuan Bali Terjepit dalam Himpitan Pandemi Covid-19

 Hari Kartini 2022: Perekonomian Perempuan Bali Terjepit dalam Himpitan Pandemi Covid-19

Perayaan Hari Kartini tahun 2022 menjadi moment kebangkitan ekonomi kaum perempuan di tengah himpitan pandemic Covid-19. Selama Covid-19 melanda hampir seluruh negara di dunia, perekonomian menjadi terpuruk, tak terkecuali sektor pariwisata. “Pulau Bali sebagai destinasi wisata utama Wisatawan Mancanegara (Wisman), sangat merasakan keterpurukan ekonomi tersebut, sehingga berpengaruh pada kehidupan kaum perempuan Bali,” kata Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Women Crisis Centre (WCC), Ni Nengah Budawati, Kamis 21 April 2022.

Pandemi Covid-19 mengakibatkan turunnya tingkat kunjungan wisatawan ke Bali, yang tentunya berpengaruh pula pada pendapatan masyarakat, terutama para pekerja pariwisata. “Berdasarkan data yang dirilis Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, bahkan Bali pernah berada dalam posisi nol kunjungan wisatawan asing. Kondisi tersebut membuat para pekerja pariwisata yang jumlahnya sangat dominan, harus berjuang dan mencari cara untuk tetap bertahan dan memenuhi kelangsungan hidup keluarga,” paparnya serius.

Hal itu pula dirasakan perempuan Bali. Dalam kondisi yang sangat sulit ini, perempuan-perempuan Bali harus ikut berjuang dan turut memikirkan perekonomian keluarga. Perempuan Bali menjalankan peran gandanya, selain memenuhi kewajiban domestik, juga mencari jalan untuk menambah pendapatan keluarga, baik dengan berjualan makanan, membuat kerajinan, bahkan mencoba hal-hal baru di luar kebiasaannya. “Keterlibatan perempuan dalam perekonomian keluarga dapat memberikan solusi dalam persoalan keuangan keluarga,” ucapnya.

Satu hal yang membuat perempuan Bali lebih berjuang lagi, ketika harga bahan pokok mulai mengalami kenaikan. Artinya, belum selesai berjibaku dengan tantangan pandemi Covid-19, dan belum juga perekonomian sepenuhnya membaik, perempuan Bali harus menghadapi persoalan lain. “Harga bahan pokok mulai mengalami kenaikan. Ini tentu sangat menyulitkan dan merugikan ibu rumah tangga. Mereka semakin terjepit tanpa solusi yang jelas dari pemerintah. Harga bahan baku terus naik, namun berbagai kebutuhan tetap harus dipenuhi secara berkelanjutan,” imbuhnya.

Baca Juga:  Seminar Jajan Tradisional Kaliadrem, Siap Menjadi Oleh-oleh Kota Denpasar

Sebut saja kenaikan dan langkanya minyak goring yang membuat ibu-ibu resah. “Dengan meningkatnya harga kebutuhan bahan pokok, seperti minyak goreng yang saat ini meningkat dua kali lipat dan semakin langka akan membuat sulit ekonomi masyarakat miskin khususnya perempuan yang sebagian besar bekerja di sektor informal, seperti pedagang makanan yang hidup dari hasil berjualan,” tutur Budawati.

Wanita kelahiran Kintamani, Bangli ini kemudian berharap kepada pemerintah sebagai pengambil keputusan agar segera mengambil langkah-langkah atau solusi agar ketimpangan harga kebutuhan sehari-hari bisa diatasi secepat mungkin. “Kenaikan harga bahan pokok tentunya akan berdampak pada ketimpangan mengakses pemenuhan kebutuhan bahan pokok, dan membuat posisi perempuan semakin rentan,” kilahnya.

Masa pandemi yang terjadi hampir dua tahun lamanya, sangat mempengaruhi perekonomian keluarga, sehingga menyebabkan munculnya persoalan rumah tangga semakin meningkat. Perceraian juga cenderung meningkat, karena faktor ekonomi. “Ini adalah dampak dari mulai menurunnya pendapatan ekonomi keluarga, banyak pekerja dari sektor pariwisata mengalami pemutusan kerja. Bahkan pelaku perceraian saat ini adalah dari pekerja yang ke luar negeri. Persoalan rumah tangga ini bisa diatasi jika sama-sama memahami situasi saat pandemik dan bersama-sama mencari solusi,” jelasnya.

Menimbang berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi perempuan di Bali, momen G20 yang nantinya akan digelar di Nusa Dua pada November 2022 mendatang, diharapkan bisa mendorong pemerintah untuk tegas menentukan kebijakan yang lebih mendukung posisi perekonomian perempuan. ”Ketidakadilan ekonomi yang terus berlanjut pada perempuan disebabkan karena sistem patriarki di dalam masyarakat. Sistem ini diperkuat oleh kebijakan negara yang tidak berpihak pada perempuan. Berbagai program yang ada justru tidak melibatkan perempuan yang berdampak pada pemiskinan perempuan,” ungkap Marhaini Nasution dari Aksi! untuk Keadilan Gender, Sosial dan Ekologi.

Baca Juga:  Upacara Saraswati di Tengah Pandemi, Mangasah Kecerdasan Menemukan "Pengimpas-impas" Virus Corona

Maka itu, pada pertemuan G20 nanti diharapkan suara-suara perempuan didengar untuk diadopsi menjadi sebuah keputusan. Momen G20 juga menjadi ajang advokasi terkait situasi ketidakadilan yang dihadapi perempuan, khususnya di Bali dan umumnya di seluruh Indonesia. “LBH WCC dan Aksi! for gender, social and ecological justice berharap dengan kebijakan yang berpihak pada keadilan gender dan ekonomi perempuan, akan berdampak pula pada menurunnya tingkat kekerasan dan ketidakadilan yang dihadapi perempuan,” tutupnya. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post