Katak Bercinta dengan Putri Kerajaan, Kisah Dramatari Arja RRI

 Katak Bercinta dengan Putri Kerajaan, Kisah Dramatari Arja RRI

Dramatari Arja Klasik, Pakem Radio Republik Indonesia (RRI) masih memiliki penggemar fanatik. Lihat saja, ketika Komunitas Seni Keluarga Kesenian Bali RRI menampilkan kesenian klasik itu di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Senin (27/6) malam dipadati penonton. Pengunjung Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV seakan rindu dengan ketenaran Arja RRI yang terkenal pada tahun 90-an itu. Meski beberapa penarinya sudah ada yang meninggal, tetapi pendukung yang baru juga tak kalah menariknya.

Pada kesempatan itu, Keluarga Kesenian Bali itu mengangkat “Katak Genggong”. Kisah itu tak hanya dibeber secara polos dan datar, tetapi dikemas dengan apik dan sarat pesan. Melalui judul itu, komunitas seni ini menyampaikan pesan pentingnya sikap rendah hati. Sebab, sikap angkuh akan berakibat buruk. Lelucon diselipkan pada adegan-adegan yang dirancang secara khusus, buka menghilangkan pakem RRI yang sudah ada. “Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali memberikan kesempatan RRI Denpasar untuk tampil setiap ajang PKB,” kata Koordinator pementasan, Gusti Made Sumadi.

Itu karena, arja memiliki ciri khas yang membedakan dengan dramatari arja yang lain. Misalnya dari pepesonnya ada Galuh, Liku, Limbur, dan Desak itu menjadi satu, tidak pernah terpisah. “Kadang-kadang peran ini kan bisa jadi temannya Mantri Buduh, pisah dengan permaisurinya. Selain itu, sari struktur pementasan pakem RRI ini di awal membawa suasana adem, setelah adem muncul tawa. Setelah tawa, Mantri Manisnya ini menyampaikan tutur dan tattwa. Setelah itu lagi humor. Terakhir baru puncaknya, sehingga tidak semua melucu,” ungkapnya.

Pria yang kerap disapa Aji Tibah saat siaran ini menambahkan, penari yang tampil merupakan seniman-seniman senior yang tergabung dalam Komunitas Seni Keluarga Kesenian Bali. Hanya tiga orang yang masih berdinas di RRI Denpasar. Sisanya merupakan pensiunan RRI Denpasar yang hingga saat ini masih aktif mengisi acara Arja Negak yang disiarkan RRI Denpasar setiap hari Minggu. “Untuk tampil di PKB kali ini, kami cuma lima kali latihan. Para senior sudah paham sebenarnya. Karena setiap minggunya kami sudah terbiasa mengisi Arja Negak. Jadi latihan itu hanya untuk memahami jalan cerita saja,” pungkasnya.

Baca Juga:  Tari dan Musik Etnik Batak Toba yang Menginspirasi

Lakon “Katak Genggong” mengisahkan Raden Sukla Wicitra, raja di Kerajaan Lemah Sweta menolak pinangan dari permasuri Dewi Alis Gesing dari Kerajaan Pering Wuri untuk dinikahkan dengan anaknya. Karena merasa sakit hati ditolak, Dewi Alis Gesing kemudian membuat kerajaan Lemah Sweta hancur. Kemarau panjang seperti tidak biasanya, wabah penyakit merajalela, serta tidak ada yang mengetahui apa penyebab terjadinya bencana itu.

Namun Raden Sukla Wicitra sudah tahu siapa yang menyebabkan hal ini terjadi. Raden Sukla Wicitra pun mendatangi Dewi Alis Gesing dan memohon agar negerinya dikembalikan seperti sedia kala, dengan apapun persyaratannya dia akan menyanggupi kecuali mati dan tidak menjadi mantunya. Dewi Alis Gesing memberi syarat dia akan diubah menjadi katak. Namun wujudnya akan berubah menjadi manusia kembali, apabila ada seorang gadis cantik yang sombong mau menikahinya. Keinginan Dewi Alis Gesing ini agar sang Raden merasakan sakit yang sama yang dialami olehnya. Raden Sukla Wicitra pun menyanggupi menjadi katak.

Sementara di Kerajaan Kresna Paksa, seorang putri pewaris tahta bernama Diah Somadewi akan dinobatkan sebagai raja. Namun meski parasnya sangat cantik, Diah Somadewi berperangai angkuh. Bahkan sang adik, Diah Anggreni selalu menjadi sasaran keangkuhannya. Suatu hari, Diah Somawati bermain di taman. Tiba-tiba selendang kesayangannya terbang ditiup angin. Semua pelayan dan perajurit disuruh mencari namun tidak ada yang berhasil.

Ternyata selendang itu berada di tengah telaga yang sangat dalam, dibawa oleh seekor katak yang bisa berbicara seperti manusia. Diah Somawati dengan angkuh menagih selendang itu, namun tidak diberikan. Sang katak memberikan syarat, bahwa ia akan menyerahkan selendang itu jika tuan putri mau bersahabat dengan si Katak. Karena merasa terdesak, dengan terpaksa Putri mengiyakan syarat Si Katak.

Baca Juga:  “Rupek” Ketika Kalanari Theatre Movement Yogyakarta Mengupas Situs Air Bali

Namun, ketika berteman dengan si katak banyak hinaan dan cemoohan yang didapat. Merasa sakit hati menanggung malu, akhirnya Diah Somawati menendang dan mengusir si katak. Dengan kejadian itu, Kerajaan Kresna Paksa Tiba-tiba kekeringan, gagal panen beberapa kali karena hujan tak pernah turun setahun lebih. Raja yang ayah Diah Somawati pun bingung. Menurut Pendeta kerajaan, untuk menyelamatkan negeri Kresna Paksa, Raja harus mengundang Katak untuk memanggil hujan. Namun seekor katakpun tidak ditemui. Raja semakin bingung dan menyerahkan tanggung jawab ini kepada Diah Somawati karena telah mencaci maki dan mengusir seekor katak.

Penyesalan Diah Somawati atas perbuatannya yang dulu sombong, kikir suka mengatur baru dia rasakan. Akhirnya dia berkata lantang “Katak datanglah! Seandainya kamu bisa datang dan mengundang hujan, demi rakyatku, jangankan bersahabat, jadi istripun aku rela. Selesai berucap seperti itu, katak memanggil hujan, dan tiba-tiba muncul Raden Sukla Wicitra. Dia menceriterakan apa sebenarnya yang terjadi. Akhirnya Raden Sukla Wicitra menikah dengan Diah Somawati, kerajaan Kresna Paksa menjadi subur kembali. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post