Tampil di Bulan Bahasa Bali V, Teater Jineng Sajikan Kisah “Ketut Garing” di Kedungu

Jika biasa mendengar lagu Ketut Garing, maka inilah kisahnya. Saat ini, lagu Ketut Garing sangat populer di masyarakat. Itu dipopulerkan oleh grup musik ternama Bali. Kali ini, Teater Jineng Samasta SMAN 1 Tabanan menampilkan kisah Ketut Garing melalui “Sesolahan” (Panggung Apresiasi Sastra) di Gedung Ksirarnawa, Art Center, Kamis 23 Februari 2023. Sesolahan ini berdurasi waktu sekitar 1 jam lebih itu, mengungkap kisah Ketut Garing melalui penggarapan serta penataan artistic yang apik.
Kisah Ketut Garing disajikan dengan pola teater modern, sehingga bisa diterima dari berbagai kalangan. Teater ini, lebih banyak memainkan alur, sehingga menjadi sajian seni yang sangat kreatif. Kisah itu disajikan secara maju mundur (flash back), yang diawali dari kematian Ketut Garing, lalu dilanjutkan dengan kisah Ketut Garing pada waktu masih kecil ketika lahir kembar. Unsur teatrikal yang ada, mampu menghidupkan suasana setiap adegan. Apalagi, disajikan pula dengan memasukan unsur tari sebagai simbol laut, isi laut dan lainnya.
Musik iringannya, para pemusik memainkan lagu-lagu tradisi dalam suasana modern. Hal itu, dapat memberi warna baru terhadap gending rare yang dibawakan. Gending-gending rare yang dibawakan, diantaranya lagu Juru Pencar, Ketut Garing, Dayung Sampan dan lagu lainnya yang belakangan sudah jarang dinyanyikan oleh anak-anak di jaman ini. Lagu-lagu tersebut, lebih banyak bernuansa bahari yang erat kaitannya dengan Ketut Garing sebagai seorang nelayan. Alat musiknya sangat sederhana, yakni tingklik (gangsa dari bambu), gitar dan penyanyi dengan karakter suara yang khas.
Meski disebut drama teater, tetapi tetap memakai pakem tradisi, sehingga pola drama gong yang stailistika ada pada pakaiannya yang masih mempertahankan drama gong. Juga ada pemaian drama gong itu sendiri yang masih dipertahankan. Sebut saja, punakawan, raja putra, raja buduh, putri manis dan lainnya. Semua itu ciri dari drama tradisi, namun didalamnya masuk gerak tari kontemporer yang memberi nuansa lebih manis.
Drama ini mengisahkan Ketut Garing ketika mati delod pasih (laut selatan). Lalu, kisah kembali ke awal yakni menampilkan kembaran Ketut Garing. Ketut Garing lahir kembar dari seorang raja, namun dari ibu selir. Lahir kembar buncing mestinya menjadi raja. Tetapi, karena lahiur dari anak selir, maka hidupnya dihancurkan. Ketut Garing kemudian disembunyikan di Kedungu, lalu dipungut oleh dadong Kedungu. Setelah dewasa menjadi murid kesayangan Jero Dukuh, sehingga memiliki kekuatan spiritual yang tinggi. Semua warga segan dengan Ketut Garing karena kecerdasan dan kejujurannya.
Putri raja Gusti Ayu Rai (yang sesungguhnya kembaran Ketut Garing) sangat suka jalan-jalan ke Kedungu. Lalu ketemu dengan Ketut Garing dan menjalin kasih. Masyarakat menolaknya, karena panjak bertemu kasih dengan orang berkasta akan menemukan pertentangan. Termasuk tidak disetuji oleh Dadong Kedungu. Ketut Garing kemudian sakit hati, lalu ke laut dan mati di tengah laut. Karena ketulusannya memuja Dalem Samudra, ia kemudian dihidupkan kembali oleh Sang Hyang Widi yang beristana di laut itu.

Setelah hidup, Dalem Samudra memberikan ujian pada Ketut Garing disusuh menjaga cupu manik. Saat itu, Ketut Garing digoda oleh rasakasa, ular, dedari dan lainnya. Namun, Ketut Garing masih kuat dan tidak tergoda. Maka itu, Dalem Samudra memberikan isi cupu manik yang berupa emas, berlian dan manik-manik. Ketut Garing menokalnya, ia hanya mohon ijin diberikan pulang ke Kedungu. Karena kebaikan Ketut Garing, maka Dalem Samudra menganugrahkan dungki. Itulah sebabnya masyarakat Kedungu, tetap memakai dungki setiap mencari ikan. Ketut Garing pulang ke pesisi menaiki kepiting merupakan ancangan Dalem Samudra. Karena itu, di Kedungu ada banyak kepiting.
Sutradara dan penulis naskah, Jero Arum Gunawan mengatakan, kisah ini diangkat karena banyak yang belum tahu kisah Ketut Garing secara keseluruhannya. Kisah ini, didapatnya di Desa Kedungu, Kecamatan Kediri. Namun, kisah itu berkembang pula di pegunungan, yaitu di daerah Batukaru. “Ketika kami melakukan observasi, bertemulah dua versi gunung dan segara. Cerita ini saling melengkapi, yang tidak ada di Kedungu ada di Batukjaru, dan begitu sebaliknya,” katanya.
Pertemuan dua cerita dengan versi yang sama itu, lalu muncul keinginan mencari benang merahnya. Hal itu, karena ingin menyajikan kisah lama yang belum diketahui secara keseluruhan oleh masyarakat. Kisah ini sesungguhnya berkembang di gunung dan di pesisi. Kalau di gunung dikisahkan Ketut Garing yang dibuang. Sementara di Kedungu dijelaskan Ketut Garing anak raja merupakan anak kembar buncing. “Dalam tradisi, anak buncing harus menjadi ratu, tetapi karena lahir dari anak selir, sehingga Ketut Garing dari kecil selalu dicari marabahayanya. Diincar dan dihilangkan, maka dibuanglah anak laki-laki ini untuk menyelkamatkannya,” bebernya.
Kisah ini memiliki keunikan. Bahkan lagunya yang ada di Kedungu, beda dengan di Badung, sehingga “rarasnya” seperti Badung dan perawakannya orang Tabanan. “Dalam drama ini, kami mengambil lokal jeniusnya, sehingga mengambil versi Kedungu. Ketut Garing ini anak yang cerdas dan berbakti, walau tak tahu orang tua sesungguhnya. Ia menjadi nelayan yang hebat dan mendapat penganugrahan dari Dalem Samudra. Jadi, Ketut Garing ini adalah potret nelayan yang unggul, mendapat kekuatan dari Dalem Samudra, sehinga orang di Kedungu selalu mengingatnya,” ujar pria asal Tabanan ini.
Ketut Garing mengajarkan dungki, pencar dan lainnya kepada para nelayan lainnya. Semua itu, diajarkan berdasarkan ajaran Dalem Samudra. Disitu ada spirit, bahwa Ketut Garing sebagai nelayan mendapat anugrah dari Dalem Samudra rajanya lautan. “Walaupu menjadi bendega dan nelayan jauh dari kata kemewahan, ada yang ditanamkan oleh Ketut Garing, bahwa kita penyungsung Dalem Samudra. Nelayan sebagai benteng jagat Bali, karena segala “mrana” mara bahaya itu datangnya dari laut, maka nelayan yang menjaganya,” terang Jero Arum.
Jero Arum mengatakan, kalau bendega masih susatya pada laut, maka mara bahaya bisa ditolak. Nelayan memiliki tugas, menjadi benteng jagat Bali yang pertama. Karena para nelayan itu menyungsung Bhatara Dalem Samudra. “Menutut Lontar Gong Besi, Dalem Samudra itu adalah Ida Sang Hyang Widi Wasa beristana di lautan, dengan gelar yang lain Sanghyang Baruna,” pungkas Jero Arum. [B/*]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali