“Rejang Danu Kerthi” dan “Baris Bala Samar” Dua Karya Tari Komunitas Manubada Merespon dan Mengeksplorasi Alam
Sajian seni tari tergolong baru, namun terkesan sangat kuno. Itu, karena para penari menggunakan properti dari alam, seperti keraras, andong, danyuh (busung kering), daun ambu, serta kendi-kendi dari tanah liat yang terkesan klasik. Begitu juga berutuk, tapel yang belum dicat, bahkan penari pun hampir semua bermake-up secara natural yang hanya bermodalkan pamor. Musik iringannya, tak terlalu meriah yang hanya menggunakan iringan Selonding yang memiliki nada yang sangat klasik, namun mengasyikan. Konon, Komang Adi Pranata sebagai koordinator pementasan mengalami kejenuhan ketika memakai properti yang mewah dan ‘ngejreng’.
Itulah sajian seni tari dan tabuh iringan Selonding dari Komunitas Manubada, Banjar Apuan, Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar pada Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV Tahun 2022 di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Rabu 29 Juni 2022. Mereka juga menilai sebuah feel yang hidup ketika memakai benda-benda dari alam. “Kami di Komunitas Manubada ini sudah 8 tahun dan hampir setiap hari berproses dan berkarya secara bersama-sama. Ada sebuah monoton yang kita rasakan ketika berbusana glamor, meriah. Lalu, kita terpikir mencoba menggunakan bahan-bahan yang disediakan alam saja,” kata Adi Pranata.
Bagi orang lain, properti ini mungkin terkesan sederhana dan tidak bermodal. Akan tetapi, justru Adi Pranata mendapatkan energi di situ. Karena semua properti ini hidup, berasal dari alam. Property yang semua berasal dari alam ityu ditunjukan pada dua garapan tari berjudul “Rejang Danu Kerthi” dan “Tari Baris Bala Samar”. Kedua tari ini, memang unik sebab termasuk garapan selonding, melalui proses merespon dan mengeksplorasi alam. Kedua tari ini lahir, setelah mereka melakukan penjelajahan dan observasi ke berbagai tempat untuk mendapatkan energi atau spirit berkesenian langsung di alam, lalu dituangkan ke dalam karya tersebut.
Tak hanya property yang unik, tetapi gerak tari juga tergolong beda. Beragam gerak tari ini lahir dari merespon dan mengeksplorasi alam dari beberapa tahun terakhir sejak pandemic. Koreografer dan penari melakukan penjelajahan dengan menari secara langsung di alam, seperti di danau, di sawah, pesisir pantai, dan pegunungan perbukitan. “Itu karena pandemi kemarin membuat kami benar-benar stuck. Akhirnya, kami membuat sebuah rekam jejak untuk bisa mengeluarkan uneg-uneg dan permasalahan kami, ya…. kami menarinya di alam,” terang pria energik ini serius.
Sebut saja Tari Rejang Danu Kerthi. Mereka melakukan observasi ke Ulundanu Batur untuk mendapatkan energi dan mood di sana. Tari Rejang Danu Kerthi merupakan sebuat project kompanye untuk edukasi menjaga keasrian danau (air) sebagai sumber kehidupan di muka bumi ini. Bentuk visual karya ini menggunakan pendekatan karya tari persembahan (ritual) rerejangan. “Karya ini menjadi sebuah karya tari persembahan pemujaan terhadap air dan Dewi Danu, serta menjadikan pementasan ini sebagai sarana hiburan bagi semesta yang menikmati sajian persembahan yadnya melalui gerak tari yang indah dan tulus,” jelasnya.
Tari Rejang Danu Kerthi oleh Adi Pranata, diibaratkan sebagai hiburan untuk Dewi Danu dan juga alam semesta. Selama ini, manusia sudah banyak menikmati alam, tetapi terkadang lupa berterimakasih. “Nah, adanya Rejang Danu Kerthi ini memberikan sebuah pesan bahwa persembahan tak sekedar sarana upakara, tetapi juga bisa berupa gerak-gerak yang indah dan ritmis yang dinikmati oleh semesta, terutama untuk Dewi Danu,” lanjut Adi Pranata dengan wajah serius itu.
Namun, sebelum kedua tari itu, Komunitas Manubada menampilkan sebuah karya instrumental berjudul “Hening”. Tabuh instrumentalia ini mengisahkan danau sebagai satu tempat untuk menenangkan diri bagi orang-orang, ketenangan air danau juga dapat membantu orang menghilangkan penat dari aktifitas sehari-hari. Karya ini pun dibuat dengan metode observasi ke Danau Batur dan Bedugul. Karya instrumental ini mengkemas gaya klasik Selonding namun tetap menggunakan teknik gegebug dan ciri khas permainan selonding yang sudah ada. Bahkan, dikembangkan ke dalam bentuk karya yang baru, dengan penambahan instrument suling dan gegendingan dari gerong yang mendukung kesan dan suasana klasik.
Sementara Tari Bala Samar konon terinspirasi saat Adi Pranata ikut prosesi Ngerebeg di wilayah Tegalalang, Gianyar tahun 2021. Saat itu, dia sempat mengambil peran sebagai wong samar. Energi mahluk-mahluk tak terlihat itu, memang ia rasakan hadir saat prosesi Ngerebeg. Mahluk-mahluk halus tersebut hidup berdampingan dengan alam, bahkan memiliki peran sebagai penjaga alam. “Bala Samar ini merupakan tokoh fiksi temuan saya dalam berimajinasi saat penggarapan karya. Saya mengibaratkan di sebuah sungai itu ada penghuninya, penjaganya. Ada sebuah pesan koservasi di situ. Karya Bala Samar ini memiliki pesan mahluk halus yang menjaga dan mengkonservasi wilayah itu, agar manusia tetap ingat untuk menjaga alam,” paparnya.
Dalam menciptakan Tari Baris Bala Samar itu, Eka Pranata dan kawan-kawannya sampai melakukan penjelajahan ke tegalan demi mendapatkan energi dan mood yang akan dimasukkan ke dalam karya. Tari Baris Bala Samar ini sebelumnya sudah dipentaskan di Denpasar Festival (Denfest) dengan formulasi yang lebih sederhana. “Saat di Denfest penarinya 4 orang, sekarang berkembang jadi 7 orang. Kami ingin karya ini suatu saat bisa menjadi sebuah kesenian yang mentradisi, turun temurun, tidak hanya pentas sekali saja. Karena kami pakai untuk ngayah juga, sebagai simbol kami menghormati keberadaan Bala Samar ini,” pungkas seniman kreatif ini. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali