Bumi Bajra Pentaskan “Plastik” di Petato Head Seminyak. Sampaikan Pesan Jaga Lingkungan
Industry pariwisata di Bali seperti hotel, restaurant, club, bar dan lainnya tengah berjuang untuk mengurangi, bahkan tidak menggunakan plastic sekali pakai. Tetapi, kelompok seniman ini malah berlomba-lomba memakai plastic dihadapan para wisatawan. Kelompok seniman itu, justru memakai plastik, lalu mempertontonkan kepada semua orang. Ya.., tentu saja, karena garapan itu bukan bermaksud mengajak orang memakai plastic, melainkan mengingatkan semua orang akan bahaya plastik yang dapat mengancam lingkungan. Seniman remaja sebagai pendukung garapan tari itu, menyampaikan pesan itu melalui olah gerak tari yang unik. Mereka memakai busana dari plastic untuk meyadarkan semua orang agar tidak mencemari lingkungan utamanya air.
Itulah pesan dari garapan tari berjudul “Plastik” yang disajikan oleh Komunitas Bumi Bajra di Potato Head Bali Beach Club Seminyak, Sabtu 10 September 2022. Garapan yang tergolong tari kontemporer berdurasi 11 menit 38 detik itu mampu membuat pengunjung club berdecak kagum. Penonton yang merupakan para wisatawan domestic maupun asing itu, tak hanya terkesima dengan gerak para penari yang lentur bagai karet itu, tetapi juga tersentuh akan pesan yang disampaikannya. Iringannya yang berupa musik digital diaransemen menggunakan aplikasi oleh Putu Afri Hardyana, mampu memberikan aksen sebanyak 8 penari, sehingga tampil penuh penjiwaan. Indah memang…!
Tari Plastik dikoreograferi oleh Putu Parama Kesawa Ananda Putra bersama Putu Aditya Guna Eka yang berperan sebagai Ass Koreografer. Garapan seni ini sengaja memvisualisasikan gerak tari yang merupakan representatif dari plastik yang mengambang di tengah lautan atau air sungai. Beragam bentuk plastik dalam air digambarkan dengan berbagai motif gerak tari yang indah, namun penuh makna. Ketika penari bergerak secara perlahan seolah-olah mengambang diatas air, dan ketika penari melakukan roll merepresentasikan plastik yang terhempas oleh angin.
Kesa demikian sapaan akrab koreografer kondang ini mengaku, untuk garapan tari ini melalui sebuah proses, sehingga menjadi sangat menarik. Walau, sering menggarap tari, namun dalam garapan ini tentu ada yang beda yakni plastik yang biasanya digunakan sebagai pembungkus makanan atau barang-baeang sekarang dijadikan sebagai kostum, sekaligus prop tari yang melekat pada tubuh penari dengan menyerupai gaun atau rok. “Kami memang ingin menyajikan sesuatu yang baru, namun tetap ada pesan yang dapat dipetik penonton,” ucapnya serius.
Kostum para penari menggunakan busana yang dapat mendukung pementasan tari itu. Penari wanita memakai strait berwarna kulit dan bra sport. Sedangkan penari plastik laki-laki menggunakan strait berwarna kulit, serta penari gebug ende menggunakan celana putih dan selendang yang semua itu mendukung pementasa. “Karya ini merupakan sebuah kritik atau pengingat tentang bencana ekologis yang ditimbulkan oleh benda asing yang dibuat oleh manusia. Kami juga ingin kembali mengingatkan semua orang untuk cerdas menggunakan plastik secara negatif dan positif karena berujung pada dampak yang ditimbulkan,” paparnya.
Tarian ini dikonseptori oleh Ida Ayu Wayan Arya Satyani yang menawarkan ide sebagai ungkapan kreatif dari yang tak mungkin menjadi mungkin. Idenya lahir dari bentuk penasarannya tentang benda yang tidak biasa hadir dalam pertunjukan, untuk dicoba menghadirkan dengan estetika kesenian. “Kami tak hanya menyajikan kreativitas seni, tetapi melalui garapan “Plastik” ini kami juga menyampaikan pesan untuk tetap menjaga lingkungan kita ini,” ujarnya.
Dayu Ani, sapaan akrabnya memaparkan, plastik bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan abad ini. Disisi lain, plastik menjadi bencana ekologis. Penggunaan yang tak bijak dan tak terkendali, berdampak pada matinya sumber kehidupan secara perlahan. Upaya membangun kesadaran ekologis adalah perjuangan panjang di tengah segala kemudahan yang ditawarkan. “Perjuangan tiada henti itum bagai petarung di ladang tandus meminang hujan, seperti tarian Gebug Ende melecut kesadaran kita akan pentingnya setiap tetes sumber kehidupan,” ucapnya.
Dayu Ani membagi garapan tari ini atau strukturnya dibagi menjadi empat bagian, pertama menyajikan tarian solo plastic sekitar 2 menit yang menari seolah-olah terombang-ambing di tengah lautan, sendiri, sepi, tarian indah, kadang harmoni, dan terkadang gundah juga. Bagian kedua, mengisahkan debur ombak atau gulungan air, tiba-tiba timbunan sampah itu nyata adanya. lautan plastik adea dimana-mana. Timbunan atau gulungan plastik itu kadang menari indah, hingga pencemaran tak terkendali.
Lalu bagian ending, ada tumpukant plastik itu sendiri lagi di stage. Penari kemudian menarikan kemelekatan atau keintimannya dengan property plastiknya, lalu diakhiri dengan keharusan sekaligus keraguan melepasnya. Penari itu diam di tempat mengulurkan tangan dengan plastik ke arah penonton seolah bertanya dan ingin menyerahkan plastic itu. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali