Bumi Bajra Garap ‘Tamasya Tak Biasa’: Mengenang Setahun Berpulangnya Cok Sawitri

 Bumi Bajra Garap ‘Tamasya Tak Biasa’: Mengenang Setahun Berpulangnya Cok Sawitri

Anak-anak melakukan permainan tradisional Curik-curik dalam Tamasya Tak Biasa/Foto: darma

TAMU undangan terpesona dengan pertunjukan seni bertajuk “Tamasya Tak Biasa”. Garapan seni yang berlangsung di Area Perpustakaan Taman Werdhi Budaya Provinsi Bali, Selasa 8 April 2025 itu, tak hanya sebagai pertunjukan seni yang kreatif dan lugas, tetapi syarat makna.

Ayu Weda seorang artis dan penulis, Ayu Laksmi seorang pemeran, penyanyi, penari juga penulis lagu Indonesia, dan Dayu Ani yang seorang penari dan koreografer selaku inisiator “Tamasya Tak Biasa” memberikan para anak muda untuk tampil, sehingga terkesan beda.

Mereka mempercayakan Gus Torang sebagai ketua acara, serta memberikan kesempatan anak muda, yakni mempercayakan Mahejasena dan Amrita Dharma untuk menyutradarai garapan tersebut. Termasuk para penari dan penabuh yang lebih bantak melibatkan anak-anak.

“Acara “Tamasya Tak Biasa” ini digelar untuk mengenang, setahun berpulangnya budayawan, dramawan dan sastrawan, Cok Sawitri. Momentum ini sangat tepat untuk menumpahkan kerinduan pada Cok Sawitri,” kata Ida Ayu Wayan Arya Satyani yang akrab disapa Dayu Ani.

Baca Juga:  Bendesa Adat di Bali Adu Kecakapan Memberi Sambrama Wacana, Jero Bendesa I Made Yoga Karisma Raih Juara I

Sore itu, area perpustakaan, tepatnya di samping kanan Kalangan Ayodya Taman Budaya Provinsi Bali diramaikan dengan pecinta seni, pelaku ataupun masyarakat seni. Suasannya mirip di pasar tradisional. Orang-orang asyik menikmati makanan tradisional.

Sementara di seberang, di sebuah bale bengong seorang nenek tua yang diperankan Ni Ketut Arini, seniman tari itu memaparkan rempah-rempah, bahan bumbu memasak orang Bali kepada anak-anak penerus budaya ini.

Pemaparannya, bukan seperti narasumber dalam diskusi atau workshop, tetapi dikemas menjadi bagian pertunjukan seni. Sebab, dua wanita yang berada di sampingnya dengan busana santai selalu memainkan rebab, hingga adegan itu selesai.

Diantara pedagang dan nenek tua itu, tampak anak-anak memainkan permainan tradisional yang memang jarang dilakukan belakangan ini. Pada saat persiapan, tubuh anak-anak di lukis oleh perupa Ni Nyoman Sani. Anak-anak asyik bermain curik-curik.

Baca Juga:  "Ngelandepin Idep" di Tengah Hadirnya Artificial Intellegence

Penonton dan fotografer yang sedang mengambil foto, seakan menjadi bagian dari sebuah pertunjukan seni yang sangat kreatif. Penonton dengan tempat mereka menjadi satu pertunjukan seni tanpa scenario. Acara ini dipandu Luh Pucuk dan Eny.

Tamasya kemudian berlanjut ke area dalam yang memulai dengan suasana lebih khusuk. Area ini ditata menjadi stage yang sangat indah. Lampu, menyinari pohon besar, rumput dan taman. Di depan goa, dipajang gambar Cok Sawitri yang sedang memainkan rebana.

“Tamasya Tak Biasa” mengenang setahun berpulangnya Cok Sawitri/Foto: darma

Stage ini menerapkan konsep kalangan, panggung yang semua tepat menjadi pintu masuk penari ataupun keluarnya pengisi acara. Semua tempat menjadi dekorasi, termasuk penonton, baik yang duduk atau berdiri.

Setelah sekapur sirih dari saudara Cok Sawitri dan panitia, teman-teman Cok Sawitri yang hadir kemudian menginterprestasikan karya-karya Cok Sawitri secara bergiliran dengan bentuk dan kreativitas yang berbeda-beda.

Baca Juga:  Sanggar Seni Citta Usadhi Pentaskan “Saraswati Puja” di Amerika Serikat

Lalu, Paramoragya oleh Dayu Mang Ana yang membaca naskah lontar, lalu ditimpali dengan pembacaan puisi oleh Yesi Candrika. Antara membaca sastra dan membaca puisi seakan saling menerangkan, sehingga membuat suasan begitu haru.

Aguron-aguron menggambarkan ilmu dan kemampuan yang dimiliki Cok Sawitri tak terlepas dari peran para gurunya, sehingga acara ini menghadirkan para gurunya itu. Widminarko wartawan Bali Post menjadi senior Cok Sawitri ketika ia menjadi wartawan Bali Post.

Salam sebuah tayangan video, Widminarko memaparkan Cok Sawitri, Oka Rusmini dan Mas Ruscitadewi adalah trio dalam sastrawan Bali. “Ini, penting yang akan berlanjut kepada daya anak-anak untuk mengetahui daya belajar Cok Sawitri,” imbuh Dayu Ani.

Acara bedah sastra kemudian menghadirkan tiga pembicara wanita, yaitu Oka Rusmini, Mas Ruscitadewi dan Sonia Piscayanti. Ketiga narasumber ini memaparkan kisahnya dengan Cok Sawitri yang tentu tidak sama. Selanjutnya, penampilan Putik Padi membaca karya Cok Sawitri.

Baca Juga:  Tampil di PKB, Tiga Gong Kebyar Duta Kota Denpasar Puncaki Mebarung dengan ‘Amertaning Wimala Bhuana’

Visual Puitika – Cok Sawitri yang berjudul “Pada Kematian Aku Bernaung”. Dalam tayangan ini, menampilkan karya-karya Cok Sawitri tayangan digital, sebagai bentuk pemikiran Cok Sawitri yang jauh kedepan.

Disitu juga ada pelukis Budiana dan Sani yang ngempu anak-anak dengan seni melukisnya. “Kami tampilkan juga Putik Padi, karena ingin anak-anak yang tampil sebagai penerus pengetahuan,” tegas Dayu Ani.

Lampu kemudian redup, suara suling mendayu-dayu, lalu Pranita Dewi membaca puisi yang juga menginterprestasikan karya Cok Sawitri. Suara yang mendesah, terkadang menyatu dalam alunan suling, lalu tiba-tiba melengking. Beda lagi penampilan Jani Janardhana.

Ia membawakan musikalisai puisi dengan memainkan morse melalui pukulan trutuk, sebuah alat dalam hamelan Bali. “Semua yang tampil membaca karya Cok Sawitri kemduian menterjemahkan dengan bentuk karya yang lain, seperti alih wahana,” tegasnya.

Baca Juga:  Laporan Pentas “The Seen and Unseen” dari Australia [1] – Hari Pertama, Jalan-jalan di Taman

Dayu Gek Han dan Neo Nolin membaca puisi dipadu dengan gerak tari yang lebih hidup. Tarian ini diiringi dengan Nolin, gamelan khas dari Pupuan, Tabanan. Lalu, menyambung garapan Badan Bahagia karya tari Cok Sawitri di tahun 1990-an yang dihidupkan kembali.

Karya tari itu, ditarikan oleh adik adik Teman Tuli dari Kita Poleng. Kemudian diahkiri dengan penampilan kolaborasi karya Ayu Laksmi dan Cok Sawitri dengan judul “Btari Nini”. Sejak acara ini dimulai, penonton masih antusias menyaksikan.

“Ini sebagai perjalanan Cok Sawitri yang cukup panjang dari wafat, kemudian beberapa tribute, mulai dari Ubud Writer, Bali Berkisah, acara di masa-masa kemarin, dan ini acara menjelang pelebon yang dilaksankan Agustus 2025 nanti,” jelasnya.

Acara ini menjadi untuk mengalirkan pengetahuannya kepada generasi penerus, sehingga acara yang bukan hanya pentas biasai, tetapi dirancang untuk melibatkan anak-anak muda. “Itulah alasan kami melibatkan Mahejesena dan Amrita Dharma di dalam penyutradaraan,” imbuhnya.

Baca Juga:  ‘Wake Up Ubud’: Dimeriahkan Grup Band Lokal Ternama, Menghibur dan Syarat Pesan

Dayu Ani mengakui, acara ini harusnya dilaksanakan tanggal 4 April bertepatan dengan berpulangnya Cok Sawitri setahun lalu, tetapi ternyata ada libur cuti bersama, sehingga diundur hingga hari ini.

Acara puncak akan berlangsung pada upacara pengabenan Cok Sawitri Agustus depan yang akan diisi dengan pentas seni. “Kemasanya sesuai dengan judunnya, yaitu Tamasya Tak Biasa. Kami masksudnya jalan-jalan, mengembara mencari ilmu pengetahuan,” jelas Dayu Ani.

Seperti belajar dari ruang pasar (ruang perut), sehingga menyiapkan pekenan yang menjual berbagai makanan tradisional. Pekenan (pasar) ini juga sebagai gambaran kalau Cok Sawitri itu suka berbagi, disamping kebiasaannya mengembara untuk mencari ilmu pengetahuan.

Sementara Ayu Weda mengatakan, Cok Sawitri itu merupakan sahabat dekat, ulang tahun bersamaan, sehingga selalu merayakan bareng. Itulah alasan mengundang sahabat Cok Sawitri dengan “Nyalakan Kenangan”.

Baca Juga:  Di Bali, UDG XXXI Diikuti 282 Peserta Kabupaten dan Kota

Program pertama menerbitkan buku “Nyalakan Kenangan” dengan 50 penulis sahabat Cok Sawitri, kemudian program hari ini berjudul “Tamasya Tak Biasa, karena Cok tamasya tetapi gak balik,” ujar Ayu Weda.

Sesungguhnya acara ini juga untuk launching Buku Nyalakan kenangan yang telah mencetak 250 buah, tetapi sudah habis. Semua sahabat yang dekat dengan Cok Sawitri. Gambaran buku, dibagi menjadi lima chapter.

Pertama tentang Cok Sawitri yang memotret lengkap tentang sosoknya. Mulai dr. Tiwi yang mengatakan, Cok Sawitri itu sebagai pendongeng, Prof. Darma Putra menyebut bagai kecerdasan mengkemas seni dalam modern.

Selanjutnya memotret Cok Sawitri dari teman-teman yang pernah diajak berkolaborasi, seperti Dayu Ani, Ayu Weda, Jasmin da lainnya. Lalu, menampilkan yang muda yang berani. Ada kasih mengalir, ada yang persahabatan personal sangat dekat dengan Cok Sawitri.

Baca Juga:  I Ketut Wibawa Berkisah “Wayang Cupak” Dukuh Pulu di PKB XLV

Selanjutnya memupupuk pakerti anak-anak yang menjadi binaan Cok Sawitri. Semua penulis menceritakan Cok Sawitri yang memang jasanya sebagai penjaga budaya Bali dan membina persahabatan totalitasnya yang luar biasa.

“Diterbitkannya buku ini dengan harapan bisa sebagai dokumentasi dan inspirasi bagi orang lain, utamanya anak-anak muda,” tutup Ayu Weda. [B/darma]

Related post