Ogoh-Ogoh Simbolisasi Kekuatan Penguasa Waktu

Sekaa Teruna Desa Adat Ole, Desa Marga Dauh Puri melaksanakan prosesi mengarak ogoh-ogoh saat Hari Raya Pengrupukan/Foto: darma
SEHARI sebelum Nyepi Tahun Isaka 1947, Umat Hindu di Bali merayakan Hari Pengerupukan pada, Jumat 28 Maret 2025. Pengerupukan adalah ritual penting yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali sebelum Hari Raya Nyepi. Masyarakat Hindu di Bali melakukan serangkaian upacara dan tradisi untuk membersihkan lingkungan dari pengaruh buruk dan menyambut tahun baru dengan pikiran dan hati yang bersih
Prof. Dr. Drs. Ketut Sumadi, M.Par. mengarakan, pada Hari Pengrupukan umat Hindu melaksanakan prosesi mengarak ogoh-ogoh (patung raksasa). Mengarak Ogoh-ogoh sejalan dengan pemahaman teori Interaksionisme simbolik, Ogoh-ogoh dianalogikan sebagai wujud bhuta kala (kekuatan penguasa waktu).
“Ini, hendaknya dapat dimaknai sebagai upaya untuk mengendalikan sifat-sifat keraksasaan yang melekat pada diri sendiri dengan meningkatkan perbuatan baik berlandaskan dharma sesuai dengan waktu dan kondisi lingkungan di mana sedang berada,” katanya.
Mengarak ogoh-ogoh ibarat cermin bagi generasi muda penerus masa depan bangsa untuk bersikap sportif, kreatif, kolaboratif dan bijaksana menerima budaya global agar budaya bangsa tidak tergerus perilaku hedonis. Sedangkan bagi para pemimpin bangsa.
Para penegak hukum di negeri ini, agar tidak ragu-ragu menegakkan dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang mensejahterakan masyarakat, para penegak hukum terus menjaga supremasi hukum, membrantas, menggiring serta memberi hukuman setimpal kepada “para raksasa” yang telah mengganggu kebahagiaan dan keharmonisan hidup masyarakat.
Pada hari suci Nyepi umat Hindu melaksanakan Brata Panyepian, sebagai sinbolisasi waktu yang tepat merasakan keheningan suara hati, sipeng (sepi), hening sempurna. Seperti tersurat dalam Lontar Sundarigama, saat Nyepi umat Hindu harus melaksanakan Brata Panyepian berupa amati geni (tidak menyalakan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak berpergian), amati lelanguan (tidak menikmati hiburan).
“Khusus di Bali, suasana pun menjadi begitu hening dan udara bebas polusi. Bali menjadi pulau yang steril dari segala macam polusi dan ulah manusia yang rakus mengeruk sumber daya alam,” terang Guru Besar Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa ini.
Amati geni pada hakekatnya merupakan tuntunan untuk mengheningkan perasaan dengan mengendalikan api nafsu indria. Bhagawan Wararuci dalam kitab Sarasamuccaya melukiskan indria itu seperti sorga dan neraka, kalau dapat mengendalikannya disebut surga, apabila tidak sanggup mengendalikannya itulah laksana neraka.
Duryodana dan kroni-kroninya yang tak kuasa mengendalikan nafsu indria, mabuk kekuasaan dan berlaku sewenang-wenang kepada Pandawa, akhirnya terjebak dalam konflik antar saudara sampai akhirnya menemui ajal dalam Bharatayudha.
Sedangkan amati karya atau tidak melakukan aktivitas mengajak kita untuk mulat sarira, merenungkan segala sepak terjang selama ini sesuai dengan ajaran wiweka. Setiap orang mesti mampu menimbang, memilah atau menentukan baik buruknya suatu perbuatan. Orang akan dikenal sebagai keturunan orang berbudi luhur dilihat dari hasil kerjanya untuk kesejahteraan orang banyak, bukan dari apa yang banyak dibicarakan, atau bukan dari apa yang telah diambilnya dari alam untuk dirinya sendiri.
Amati lelungan dan amati lelanguan juga menyadarkan umat manusia agar tidak mudah tergoda gaya hidup yang bersifat hedonisme. Hura-hura, boros, iri hati melihat kemajuan orang lain dan suka berpuas diri patut dihindari, karena sangat bertolak belakang dengan keadaan getir bangsa Indonesia saat ini.
Ketika mengangkat Wibisana menjadi raja di Alengka setelah Rahwana tewas, yang pertama diingatkan oleh Rama adalah agar Wibisana memberi perhatian sungguh-sungguh kepada rakyatnya. Prof. Sumadi mengatakan,“Selamatkan negara dari kehancuran dan berikan perhatian kepada rakyatmu, jangan lupa bercermin pada ajaran agama,” tutur Sang Rama.
“Nasehat Sang Rama yang kemudian lebih dikenal dengan ajaran Astabrata ini, patut direnungkan kembali oleh seluruh warga negara dan pemimpin bangsa dalam upaya membebaskan diri dari keterpurukan akibat krisis global yang multidimensional,” pungkasnya. [B/darma]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali