Sekelumit Kesenimanan I Nyoman Antat

Alm. I Nyoman Antat ( Agem Tari Arya) Dokumen: Koleksi Keluarga, ca. 1980
I Nyoman Antat, seniman ini lahir di Banjar Pekandelan, Desa Batuan, Gianyar pada tahun 1908 dan meninggal pada tahun 1998. Masa anak-anak hingga remajanya tergolong unik. Di tengah kesibukannya, membantu ayahnya berjualan celeng (babi), kucit (anak babi) dan daun sirih ia meluangkan waktunya untuk menempa dirinya dalam bidang seni. Kelahirannya berada pada karma sejarah, yakni ketika situasi dan kondisi Nusantara masih dalam masa penjajahan Belanda dan dilanjutkan penjejahan Jepang membuat semakin susahnya kehidupan I Nyoman Antat bersama keluarga. Namun, masa-masa itu secara tidak langsung telah membentuk dirinya sebagai insan yang kuat dengan mental baja. Dalam situasi seperti itu, bisa dibayangkan bagaimana usahanya untuk dapat memenuhi kewajibannya agar dapat meneruskan warisan seni budaya di lingkungan Desa Batuan, serta disatu sisi harus berjuang membela tanah kelahiran dari tangan penjajah.
I Nyoman Antat dilahirkan dari keluarga yang kurang mampu. Area rumahnya berdampingan dengan lingkungan puri, griya, yang notabena seni tari masih dianggap milik kalangan atas, namun tidak menyurutkan niat I Nyoman Antat untuk masisya (menjadi siswa, murid). Seniman yang tidak dapat menempuh pendidikan formal ini merupakan anak dari pasangan Alm. Pande Wayan Timtim dengan Ni Wayan Renti. Ia menikah dengan Ni Sumping, adik kandung dari I Nyoman Kakul, seniman Gambuh Desa Batuan. I Nyoman Anta mengawali kiprahnya sebagai seniman tari dari kegiatan ngelawang Barong di desa bersama teman-teman sebayanya. Aktivitas berkesenian itu dilakukan pada saat upacara hari suci, seperti Galungan dan Kuningan. Lahir dan hidup di lingkungan desa seni membuat kesehariannya terbiasa menonton seni tari juga seni lainnya. Setelah menginjak remaja melalui bimbingan Ida Bagus Gedit, Anak Agung Raka, I Tunas, secara perlahan I Nyoman Antat mampu menguasai Dramatari Gambuh, khususnya tokoh tari Arya, Kade-kadean, Semar, dan Togog.
Meski tak mengenyam pendidikan formal, namun I Nyoman Antat memiliki kiprah dalam dunia akademik. Ia pernah menjadi guru atau asisten dosen luar biasa di Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar) dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI), kini Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar sekitar 1978-1985. Ia juga mendapat kesempatan ke luar negeri, salah satunya bertandang ke Negeri Sakura, Jepang. Saat itu, bersama rombongan Dharma Santi yang merupakan gabungan dari sekaa Gambuh Mayasari Pekandelan-Batuan dengan lembaga ASTI Denpasar pada tahun 1982 dengan membawa agenda promosi seni budaya Bali.
Darah seninya lalu mengalir kepada anaknya yakni Alm. I Wayan Supir yang sering berperan sebagai tokoh Tumenggung, dan salah satu cucunya yaitu I Nyoman Suwida sebagai Ketua Komunitas Genggong8 merupakan seniman yang telah banyak berkiprah di jagat Nasional dan Internasional. Selain bidang seni tari, Nyoman Antat juga menguasai bidang pembangunan gaya Bali yang profesi sebagai tukang atau undagi (undahagi kayu).

Saya secara khusus memiliki kisah tersendiri saat berguru Tari Gambuh kepada “Kaki Ndung”, panggilan akrab I Nyoman Antat. “Ndung” itu dari kata “landung” atau tinggi yang memang postur tubuhnya tinggi. Saya mengawali belajar tari Gambuh dengan Kaki Ndung pada tahun 1986. Saya sangat serius belajar Gambuh, khususnhya pada tokoh Arya sebagai persiapan ngayah pada upacara Tumpek Wariga di Pura Desa-Puseh Batuan. Upacara tersebut, sudah menjadi tradisi setiap upacara piodalan Nadi disajikan Gambuh sebagai bagian dari jalannya upacara yang dibawakan oleh sekaa Gambuh Mayasari Banjar Pekandelan Batuan Gianyar. Kaki Ndung memiliki andil dalam mengasah, menempa kemampuan yang saya miliki dalam penguasaan tokoh Arya dalam pegambuhan. Dalam melatihnya, Kaki Ndung tak hanya melatih gerak Arya, tetapi juga menyelipkan petuah-petuah, sebagai cara untuk meyakinkan, agar dapat terus menekuni tari Gambuh.
Jujur, saya masih ingat ketika diarahkan dengan cukup keras untuk menghasilkan agem yang berkualitas khususnya untuk tari Arya.itu, selepas belajar tari Gambuh di Balai Banjar, saya kemudian melanjutkan lagi di rumah sendiri didampingi ayah. Kalau urusan mencetak generasi, Kaki Ndung memang serius. Bahkan, saking seriusnya tanpa terasa waktu latihan sampai menunjukan pukul 02.00 Wita. Kaki Ndung, akhirnya berkata, “Suud-suud mone muruk, mani buin, beh sing taunin sube mekruyuk siappe (berhenti-berhenti latihan dulu, besok lagi, aduh tidak terasa sudah berkokok ayamnya). Perkataan, Kaki Ndung sangat bermakna. Artinya, orang yang disiplin dan tekun belajar, tidak akan mengenal batas waktu, dengan kedisiplinan niscaya apa yang menjadi tujuan dan harapan akan tercapai.
Kini 24 tahun Kaki Ndung telah meninggalkan kami, namun semangat beliau dalam mengabdi pada seni sebagai bagian dari yadnya masih tetap berkobar yang diwujudkan oleh para generasi seniman Batuan. Sekiranya, beliau dari alam keabadianNya tidak berharap banyak, hanya satu yakni setidaknya Gambuh Batuan masih tetap lestari-ajeg sepanjang masa mengiringi prosesi ritual disetiap upacara piodalan di Pura Desa-Puseh, Desa Adat Batuan sebagaimana amanat sakral dalam Prasasti Baturan 944 Saka. Tahun 2022 ini, karma sejarah akan terukir oleh Krama I Baturan sebagai momentum menapak Sahasra Warsa Baturan (1000 tahun prasasti Baturan/ Batuan). [B]

I Wayan Budiarsa Dosen dan Koordinator Prodi PSP FSP ISI Denpasar asal Banjar Pekandelan, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar.