Tubuh Tradisi dalam Pertunjukan Teater Modern di FSBJ IV
Beberapa mayat tergeletak di pinggir danau. Mereka adalah Sahadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima. Pertunjukan mengisahkan tentang Panca Pandawa yang menjalani pengasingan di hutan, mereka melewati semak-semak, pepohonan rindang, dan tiba-tiba mereka mendapat satu permintaan dari seorang brahmana tua: “Tongkat saya dilarikan oleh seekor kijang,” kata Brahmana itu, dan Panca Pandawa berjanji untuk membantunya untuk mengambil kembali tongkat itu.
Dalam perjalanan mengambil kembali tongkat Brahmana itu dari Kijang, para Pandawa kehausan. Sahadewa adalah orang pertama yang bertugas untuk mencari air. Tapi lama ia tak kembali, lalu disusul Nakula. Hal yang sama terjadi pada Nakula, lalu disusul, Arjuna, dan seterusnya. Rupanya, sumber air terdekat tidak bisa langsung diminum. Setiap salah seorang Pandawa hendak mengambil air untuk minum, tiba-tiba muncul suara asing: “jangan minum air itu, kau hanya boleh minum setelah menjawab pertanyaan ku,” kata suara yang dari entah itu.
Para Pandawa mengabaikan permintaan suara asing itu, bahkan arjuna dan Bima murka setelah melihat adik-adiknya tergeletak, tapi hal yang sama menimpa setelah mereka dengan arogan hendak melanggar kata-kata itu. Mereka Meninggal. Tapi, tak seperti empat Pandawa yang sudah meminum air itu, Yudistira justru dengan cemerlang mengikuti peraturan itu. Tapi, satu hal yang mengejutkan adalah jawaban dari Yudistira. “Saya ke sini tidak untuk minum air, hanya kebetulan lewat, jadi saya minta kalau berhasil menjawab pertanyaan itu, beri saya tongkat Brahmana yang dilarikan kijang itu,” katanya.
Yudistira tidak meminta adik-adiknya untuk hidup kembali atau meminta agar bisa minum air, tapi tongkat. Sebagaimana tujuan awalnya. Bagi Yudistira, kematian adalah keniscayaan. Suara itu sepakat. Yudistira diberikan pertanyaan-pertanyaan rumit, yang menuntun jawaban pada pemuliaan air. Yudistira berhasil menjawab, tapi setelah semua terjawab suara itu berkata lain: “Aku tak bisa memenuhi keinginanmu.”
Yudistira menjadi murka, dusta adalah kejahatan baginya. Lalu, Yudistira yang bijaksana ini memperlihatkan gelagat marah: “Aku adalah bumi, tak banyak bicara, tapi sekali bicara bisa menenggelamkan gunung sekalipun!”
Dan rupanya, yang berbicara itu, yang memberi pertanyaan, adalah Dewa Dharma, yang tak lain adalah ayah Yudistira. Ia sekali lagi berkata bahwa tongkat itu tak bisa dikembalikan karena Brahmana itu adalah jelmaan dirinya, dan cerita tentang tongkat hanyalah rekaan. Semua itu disusun hanya karena Kerinduan Dewa Dharma kepada Yudistira, anaknya. Pandawa yang telah meninggal dibangkitkan lagi, dan Dewa Dharma memberi petunjuk pada Pandawa untuk menyelesaikan pengasingan itu, dan mereka diizinkan untuk minum air. Pertunjukan selesai.
Pertunjukan berjudul “Danau Kematian” ini ditulis dan disutradarai oleh Anom Ranuara. Pertunjukan ini dimainkan oleh Teater Mini Badung dalam rangka Festival Seni Bali Jani (FSBJ) IV di Ksirarnawa Art Center pada Selasa, 18 Oktober 2022, digelar dalam konteks dan saat yang tepat. “Danau Kematian” dimainkan dengan cara yang unik. Pemain tidak banyak bergerak, tetapi terdapat banyak dialog. Tubuh para “pregina” memperlihatkan pukauannya hanya dengan cara sederhana, yaitu berdiri. Begitu pula dengan kehadiran penari yang telah ditimbang matang-matang. Tarian-tarian justru menjadi penunjuk bahwa para pemeran justru telah hatam dengan bentuk tari Bali, dan tarian bukan hanya tempelan. Ia menjadi rajutan suasana, dan tampil dengan rapi: tidak kurang dan tidak lebih. Selain itu, tubuh-tubuh aktor tampak sebagai tubuh yang telah matang, dan tak diragukan lagi jam terbangnya.
Pada satu kesempatan, gerombolan makhluk kelas bawah—begitu mereka menyebut dirinya—pada bagian ini, para penonton tak lagi menahan tawa. Para pemain tampil dengan memukau. Mereka tak banyak bergerak dari satu titik ke titik lain, tetapi, tubuh mereka seolah-olah telah bicara, telah menyampaikan sesuatu, dan menarik perhatian penonton. Hal ini persis menunjukan proses yang panjang dari para penampil.
Selain itu, pertunjukan ini tampaknya sangat kontekstual. Beberapa hari yang lalu, banjir terjadi di beberapa tempat di Bali, merobohkan jembatan, menghanyutkan rumah warga, dan sebagainya. Belakangan ini, air seolah hadir sebagai tokoh antagonis dalam realitas. Tetapi, bagaimanapun juga, manusia tak bisa hidup tanpa air. Ia adalah sumber kehidupan.
Konteks ini tampaknya relevan dengan lakon “Danau Kematian”. Meskipun air begitu dihargai, dan dibutuhkan, tetapi air tetap bisa membunuh. Air dibutuhkan tetapi di satu sisi ia bisa menghancurkan. Dalam pertunjukan, ini ditunjukan dari kematian para Pandawa. Meskipun begitu, air tetap mesti dihormati, sebagaimana menghormati ibu, sebagaimana yang disebutkan oleh Yudistira dalam pertunjukan.
Tentu tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan pertunjukan ini. Selain aktor-aktor yang memukau, pertunjukan ini mesti menimbang ulang penyampaian pesan. Pesan-pesan penting dalam pertunjukan ini dalam beberapa hal disampaikan secara gamblang. Padahal, dialog-dialog itu cukup berjarak dengan bahasa lisan, dan pesan, kadang tak mampu menancap dalam benak penonton, tapi cerita selalu melekat. Karena itu pula, hal inilah yang sesungguhnya mesti ditimbang lagi.
Pertunjukan “Danau Kematian” meskipun melakukan perpindahan yang tidak banyak, kadang tempo terasa lambat, tetapi ada sesuatu yang membuat penonton tetap bertahan, dan pada titik tertentu, mereka tertawa-tawa. Menjaga perhatian penonton adalah satu keberhasilan dari teater Mini Badung dengan naskahnya yang berjudul “Danau Kematian”. [B/*]
Aktor dan penulis yang aktif di Teater Kalangan dan Lingkar Studi Sastra Denpasar