Tinggi Kreativitas Peserta Lomba Musikalisasi Puisi Bulan Bahasa Bali ke-5. Teater Angin, Sakura dan Budang Bading Badung Juara

 Tinggi Kreativitas Peserta Lomba Musikalisasi Puisi Bulan Bahasa Bali ke-5. Teater Angin, Sakura dan Budang Bading Badung Juara

Wimbakara (lomba) musikalisasi puisi pada BBB ke-5 tahun 2022/Foto: doc.balihbalihan

Kreativitas anak-anak muda dalam menyajikan musikalisasi puisi begitu tinggi. Aransemen puisi, olah nada, penggarapan musik dan penataan kostum tampak sangat baik. Property yang dibawa juga mendukung tema, sehingga penampilan peserta musikalisasi ini tak hanya menyajikan musik puisi yang indah, tetapi juga sebagai seni pertunjukan yang menarik. Itulah gambaran Wimbakara (Lomba) Musikalisasi Puisi Bali serangkaian Bulan Bahasa Bali ke-5 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu (11/2).

Peserta lomba musikalisasi kali ini sangat antusias. Dari sebanyak 25 peserta yang terdaftar, hanya 23 peserta tampil menyajikan karya musik puisinya. Setelah dewan juri melakukan penilaian, Teater Angin SMA 1 Denpasar meraih juara I, disusul kemudian SMA I Kuta Utara dan Sanggar Komunitas Budang Bading Badung sebagai juara II dan III. Tiga dewan juri yang menilai, yaitu I Komang Darmayuda, S.SN.,M.Sn (Dosen ISI Denpasar), I Ketut Mandala Putra (Staf Balai Bahasa Provinsi Bali) dan Drs. I Made Suarsa S.U (Praktisi aksara, bahasa dan sastra Bali).

Lomba yang berlangsung dua hari, Jumat (10/2) dan Sabtu (11/2) diwarnai kreativitas, khusus dalam penggarapan. Ini membuktikan, perkembangan musikalisasi puisi setiap tahun, begitu luar biasa. “Pada H-5, pendaftaran sudah ditutup karena peserta sudah mencapai 25 peserta yang tampil. Pembatasan peserta itu, mengingat waktu yang agar tidak terlalu panjang,” kata Kepala Bidang Sejarah dan Dokumentasi Kebudayaan Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Bali, Drs. AA Ngurah Bagawinata, MM.

Peserta yang tampil, memiliki jiwa seni dalam berkolaborasi lewat puisi. Hal itu, tak hanya membangkitkan kreativitas berkesenian mereka, tetapi juga mendorong mereka untuk mengerti aksara, bahasa dan sastra Bali. Sebab saat membawakan, mereka harus mengerti puisi itu, sehingga mudah dalam penjiwaan. “Perpaduan seni inilah membuat anak-anak kita menjadi nyaman berkolaborasi antara seni. Kami berharap kedepan, adanya musikalisasi ini tak hanya diikuti para remaja saja, tetapi juga anak-anak sejak dini, sehingga dapat membumikan aksara, bahasa dan sastra Bali sejak dini,” harapnya.

Baca Juga:  9.000 Pengunjung Art • Bali 2019

Komang Darmayuda mengaku bangga, karena pesertanya lebih banyak dari lomba-lomba tahun sebelumnya. Bahkan, sudah banyak datang dari kalangan sekolah-sekolah. Itu, berbeda dengan sebelumnya yang pesertanya didominasi oleh komunitas-komunitas yang biasa mengikuti lomba. Perkembangan kemudian didominasi siswa SMA dan SMK. Kreativitasnya pun berbeda-beda. “Tetapi harus dimengerti. Musikalisasi puisi itu, suatu garapan yang khusus. Saya melihat, banyak peserta yang memusikalisasikan puisi itu, seperti lagi pop. Mungkin pengalaman dan apresiasinya masih kurang,” ungkapnya.

Peserta yang tampil tahun ini, tampaknya belum melihat musikalisasi puisi ataupun hanya menonton di you tube, sehingga nafas musikalisasi belum dapat dirasakan. Kalaupun banyak menonton, kalau tak faham dengan musik, maka akan lebih susah lagi. “Maka itu, carilah orang yang mampu mengaransemen puisi yang baik. Musikalisasi itu bernada, tetapi tidak nge-pop, masih ada reff dan ngebit. Menggarap musikalisasi puisi itu ada bentuk tersendiri. Pemecahan suara itu salah satu ciri khas musikalisasi puisi, karena itu dapat menambah keindahan harmoni vocal,” paparnya.

Kalau pada lomba tahun lalu, kebanyakan diikuti komunitas yang sering ikut lomba, sehingga lebih banyak yang bagus. Peserta, sekarang pun bagus, tetapi kebanyakan larinya ke pop. Kostumnya juga kurang ditata. Padahal, kostum itu tak terlalu formal sesungguhnya, yang penting harus sesuai dengan judul puisi yang dibawakan. Bukan harus tampil dengan busana yang wah dan megah. “Ini baru proses. Kalau lama-lama, mungkin akan lebih mengena,” imbuhnya.

Lomba Musikalisasi Puisi
foto bersama, pemenang lomba musikalisasi puisi Bula Bahasa Bali ke-5 dengan dewan juri.

Darmayuda mengingatkan, cara membingkai kreativitas itu perlu didasari oleh logika dan estetika. Missal tema puisi tentang laut, lalu mambawa property kipas itu kurang pas. Semestinya disesuaikan dengan laut itu. Soal estetika, keindahan harus pada karya sastra. Artinya, masih dalam bentuk garapan sastra yang menampilkan spirit dari puisi dengan gaya musical. “Intinya mereka harus mengerti puisi itu, sampai dimana jeda dan berlanjut. Karena urutan kata-kata, lalu nyambung ke kata yang lain, semua itu perlu diinterpretasikan,” bebernya.

Baca Juga:  IB Gede Agastia dan I Gede Sura Menerima Penghargaan Bali Kerthi Nugraha Mahottama

Karena itu, Komang Darmayuda mengusulkan perlu adanya workshop musikalisasi puisi. Walau dalam pelaksanaan Bulan Bahasa Bali sudah ada, namun itu perlu dilakukan langsung ke kantong-kantongnya. “Bila perlu, kita harus ke daerah-daerah memberikan workshop dalam rangka bulan bahasa ini, sehingga mereka bisa mengerti, lalu mencari pelatih yang memang bisa dan tepat. Bagaimana pun pintarnya menyanyi, tetapi kalau yang mengaransemen lagu itu kurang faham, tentu hasilnya juga akan kurang baik,” tegasnya.

Ketut Mandala mengatakan, kreativitas seluruh peserta memang tinggi, namun ada kecendrungan memunculkan deklamasi. Dinamika puitis itu ditafsirkan sebagai deklamasi puisi. Kelirunya lagi, semuanya menjadi deklamasi, bukan musikalisasi puisi. Dengan begitu, harmonisasi dengan musik tidak terjalin dengan baik. “Ini mungkin menjadi sebuah kendala dari peserta dalam mengaransemen puisi atau musik terlalu panjang, sehingga sulit dipahami. Akhirnya, lebih mudah dideklamasikan, bukan dibuat aransemen seperti sebuah lagu,” ujarnya.

Melagukan puisi itu memang tantangan. Itu yang memang kurang dalam lomba kali ini. Pengetahuan tentang musik perlu menjadi refrensi yang memadai. Dalam musikalisasi itu ada deklamasi, itu memang tak apa-apa, tetapi bukan seutuhnya. Kalau 2 atau 3 baris saja, itu tak apa-apa. “Saya kagun dengan kreatifitas peserta, pemakaian alat musik sangat bervarisasi, sehingga terlihat lebih inovatif,” ungkapnya.

Hanya saja, itu mesti disesuaikan dengan tema puisi. Karena, kali ini mengangkat tema laut, dan laut dianggap sebagai “lebur mala”, maka ada salah satu peserta yang membawa sampah plastic diikat tali plastic lalu dibentangkan melahirkan efek bunyi yang sangat indah. Disitu ada unsur teatrikal pertunjukan. Dari segi keutuhan penyajian juga sangat menarik. “Jadi tak hanya sebuah musikalisasi puisi, tetapi ada pertunjukan teater, sehingga menjadi sajian musikalisasi puisi yang lebih indah,” sebutnya.

Baca Juga:  Semangat Peserta Lomba Bulan Bahasa Bali Membumikan Aksara, Bahasa dan Sastra Bali.

Kostum dan property yang dibawa juga sangat menentukan garapan itu. Ini sebuah pertunjukan seni memakai property, itu memang sah-sah saja asal tidak mengganggu penyajian saja. “Kami mengapresiasi kreativitas peserta. Ada salah satu peserta membawa alat musik seperti kecapi dipadu dengan alat musik lain, itu sangat bagus. Di sana tidak yang saling meniadakan, sehingga semuanya saling mendukung. Bukan membawa musik jalan sendiri, yang tidak nyambung. Kami berharap kedepan bisa lebih memahami dari pada pengertian musikalisasi puisi itu. Musikalisasi puisi itu sebuah harmoni dari puisi dan karya musik menjadi sebuah lagu,” pungkas Mandala. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post