‘Kidung Rasmi Sancaya’ Drama Realis dengan Settingan Minimalis Garapan FIB Unud

 ‘Kidung Rasmi Sancaya’ Drama Realis dengan Settingan Minimalis Garapan FIB Unud

Kisah drama ini sangat sederhana, tetapi pola penggarapannya begitu apik. Pesan dalam kisah itu sangat diperhatikan, sehingga sajiannya menjadi lebih menarik. Pesannya begitu kuat, walau itu disampaikan dengan simbol-simbol. Dengan mengandalkan kemampuan para pemain, melalui kekuatan acting dan dialog, drama ini juga menyelipkan sosialisasi sejumlah regulasi yang berkaitan dengan pengelolaan sampah dan kebijakan Gubernur Bali. Semua itu, bukan sebuah tempelan, melainkan menyatu dalam kisah yang dibeberapa diatas panggung.

Itulah sasolahan (pergelaran) bertajuk ‘Kidung Rasmi Sancaya’ dibawakan oleh Sanggar Mahasaba, Program Studi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana di Gedung Ksirarnawa, Senin 13 Pebruari 2023. Pergelaran ini merupakan bagian dari panggung apresiasi sastra serangkaian peringatan Bulan Bahasa Bali V Tahun 2023. Pergelaran yang didukung para pemain muda ini memang menjadi sajian seni yang menarik. “Bentuk pertunjukan ini sebuah drama realis, tetapi settingannya berbentuk minimalis,” kata Sutradara, Dewa Jayendra.

Potongan-potongan dari adegan drama itu menampilkan beberapa peristiwa saat ini, seperti banyaknya sampah musiman di pantai dan pesan-pesan menjaga lingkungan. Semua itu dijadikan bagian dari isi pertunjukan untuk menyampaikan upaya untuk mencoba menempatkan laut sebagai sesuatu yang memberikan efek berkehidupan bagi manusia. Selain itu, drama dengan naskah berbahasa Bali ini mengunakan semacam tata titi berbahasa atau sor singgih dalam adegan. Termasuk menempatkan bahasa puitis yang tepat, sehingga menarik penonton untuk mendengar.

Secara pertunjukan, pemakaian kostum menggunakan bentuk realis. Demikian pula dari dialog. Namun, drama ini disetting secara minimalis. Artinya, tidak membuat setting seutuhnya. Ketika mengisahkan pemain di pesisir pantai, maka penonton tidak akan menyaksikan pantai yang sesungguhnya. Sebab, suasana pesisir disajikan melalui simbol-simbol, seperti perahu, daun kelapa, dan lainnya. Suasana itu, dikuatkan lagi dengan sebuah kelir yang menggambarkan ikan-ikan di laut melalui permainan wayang yang dibuat sebelumnya.

Baca Juga:  IB Gede Agastia dan I Gede Sura Menerima Penghargaan Bali Kerthi Nugraha Mahottama
Kidung Rasmi Sancaya
FIB Unud pentaskan ‘Kidung Rasmi Sancaya’ dalam ajang Bulan Bahasa Bali ke-5.

Penataan kostumnya juga unik, yang mengangkat motif busana di jaman tahun 30-an. Kostum seperti itu, mendukung kisah yang diangkat. Itu karena, setingan drama berawal dari Kidung Rasmi Sancaya, karya sastra Danghyang Nirartha yang dikombinasikan dengan Sat Kerthi, program Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali. Terinspirasi dari itu, lalu lahirlah keputusan untuk mengambil kostum dengan latar belakang di tahun 30-an. “Kami rasa motif busana di jaman itu dapat menambah suasana dalam kisah dari ‘Kidung Rasmi Sancaya’ itu,” ungkapnya meyakinkan.

Drama modern yang menyampaikan kisah melalui bahasa Bali memang menjadi tantangan dari para pemain. Namun, pemain dari drama ini mampu membawakan dengan anggah ungguhing bahasa Bali yang benar. Kisah dibeber secara lugas. “Awalnya ditawarkan dialog-dialog yang memang membutuhkan dinamis dengan retorika puisi. Mereka agak kesulitan. Berbahasa puisi yang mempunyai nilai filosofi yang harus sampai. “Kalau itu tak sampai, maka itu tidak akan menimbulkan kewajaran,” ucapnya.

Semua itu kemudian menjadi kerja keras Sutradara untuk memberikan pandangan terhadap anak-anak. Setiap kalimat harus ditekankan intonasinya. Itu bisa didapat, bila sudah merasakan peristiwanya, sehingga dapat intonasinya. “Kami bersyukur, pas pentas, mereka semua akhirnya menemukan bentuk kewajaran itu, dan karena merasa nyaman, akhirnya mereka memiliki kekuatan di improvisasi, sehingga sajian drama ini mejadi menarik,” papar Jayendra.

Pada awalnya drama ini ditawarkan menggunakan “Kidung Rasmi Sancaya”, namun setelah dibaca ternyata itu mengisahkan Danghyang Niratha dalam bentuk kebesaran Tuhan, bentuk pesisir laut, dan kehidupan di laut. Semua itu diungkapkan melalu kura-kura yang dilihat sebagai sebuah cakra, ikan berloncatan seperti anak panah. Ia tidak mau ke luar dari prime itu. “Setelah dikurasi maka dikeluarkan kidung, sehingga menjadi Rasmi Sancaya. Nah, baru bisa membentuk cerita sebenarnya, sehingga mendapatkan konflik yang tak terlepas dari situasi dan kondisi yang diinginkan dari isi dari Rasmi Sancaya dan Sat Kerthi, pemuliaan terhadap laut,” ucap Jayendra. [B/*]

Related post