Pura Luhur Tamba Waras, Tempat Memohon Kesembuhan

 Pura Luhur Tamba Waras, Tempat Memohon Kesembuhan

Melakukan wisata spiritual ke Pura Luhur Tamba Waras, sungguh menyenangkan. Dalam perjalanan tak akan membosankan, karena selama perjalanan menawarkan pemandangan alam persawahan, tegalan dengan tanaman lokal, dan hijaunya pegunungan Batukaru yang menciptakan suasana damai. Aktivitas masyarakat lokal, seperti membajak sawah, mencangkul, mengembala sapi dan lainnya seakan menjadi atraksi wisata yang memang sudah semakin langka.

Pura Tamba Waras terletak begitu dekat dengan Gunung Batukaru, tepatnya di Desa Sangketan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan atau sekitar 22 km dari Kota Tabanan dan sekitar 50 Km dari Kota Denpasar. Jalan ke sana sudah sangat baik, karena sudah di hotmik. Pura yang berada pada satu garis dengan Pura Luhur Batukaru ini terletak pada ketinggian sekitar 725 meter dari permukaan laut. Pura Luhur Tamba Waras atau disebut pula Tambo Waras dipercaya sebagai gudang farmasinya jagat raya.

Kalau pada hari-hari biasa, pemedek (pengunjung yang hendak sembahyang) agak sepi. Berbeda halnya pada hari-hari libur, termasuk hari suci, seperti purnama, tilem serta hari suci lainnya, pengunjung bisa membludak. Tetapi, tenang saja, kawasan pura ini memiliki areal parkir yang luas. Setelah parkir, umat Hindu biasanya pengelukatan di Pancoran Sapta Gangga, sebelum melakukan persembahyangan di Pura Luhur Tamba Waras. Tujuh pancoran berderet itu dikenal sebagai tempat berobat sekala-niskala itu, mulai dari Pancoran Sanjiwani, Kamandalu, Kundalini, Pawitra, Maha Pawitra, Pangurip, dan Pasupati.

Sebelum melukat, umat menghaturkan pejati dan bungkak nyuh gading untuk melukat. Selanjutnya menghaturkan canang disetiap pancoran itu, lalu berkumur 7 kali dan minum air sebanyak 7 kali lalu mencuci muka dan rambut atau seluruh badan. Kemudian pemangku melukat dengan air tirta serta bungkak nyuh gading. Jika ingin tahu sakit, maka dengan menghaturkan sebuah canang sari pemangku akan mencoba menerawang sakit, baik sakit secara niskala ataupun sekala. Pancoran itu merupakan tempat pengelukatan baru sejak 2016. Sebelumnya, ritual pengelukatan dilakukan di Pura Beji Pingit dan Beji Kauh.

Baca Juga:  Rare Bali Festival 2024 Ajak Anak-anak Bermain Permainan Tradisional dan Mendongeng

Pura Luhur Tamba Waras

Umat kemudian melakukan persembahyangan di Pura Luhur Tamba Waras. Pura ini sangat alami yang diperkirakan berdiri sekitar abad ke 12. Salah seorang pemangku di sana mengatakan, Pura Tamba Waras sangat erat kaitannya dengan Pura Luhur Batukaru, dan memiliki sejarah yang mendalam dengan Pura Dalem Solo. Selain itu berkaitan pula dengan Pura Puser Tasik. Oleh karena itu, di pura tersebut terdiri dari banyak palinggih, namun yang utama adalah pelinggih Panglingsir Ratu Niang dan Gedong Bhatara Kabeh yang menggunakan wastra poleng (kain warna hitam dan putih kotak-kotak).

Puri ini berdiri, ketika Raja Tabanan yaitu Cokorda Tabanan mengalami sakit keras dan lama tidak mendapat obat. Raja kemudian mengirim utusan untuk mencarikan obat sesuai dengan petunjuk gaib yang Sang Raja terima. Dalam petunjuk gaib itu, berupa kepulan asap. Utusan itu kemudian berjalan di dalam hutan Batukaru dalam waktu yang lama, tiba-tiba utusan itu melihat asap mengepul yang berasal dari sebuah kelapa di tanah. Setelah memohon di tempat itu, didapatkanlah obat.

Utusan ini kemudian menghaturkan obat kepada raja. Obat itu kemudian menyembuhkan Sang Raja. Untuk menghormati dan pemuliaan tempat itu, maka dibangunlah tempat pemujaan yang dinamakan Tamba Waras, yang kini menjadi Pura Luhur Tamba Waras. Konon, kata Tamba Waras itu berasal dari dua kata tamba dan waras. Tamba berarti obat, sedangkan waras artinya sehat. Piodalan atau pujawali di pura ini jatuh setiap Buda Manis Prangbakat atau dua bulan setelah pujawali di Pura Batukaru. Pura kemudian diamong oleh lima banjar adat, yakni Kayu Puring, Munduk Dawa, Munduk Bun, Sangketan, dan Bongli.

Sebagai pura pusat pembuatan obat, di areal pura ada pelinggih khusus untuk membuat obat, yakni berupa perapian bernama Palinggih Hyang Geni dengan sejumlah peralatan, seperti wajan dan bahan obat-obatan. Sementara bahan obat-obatan itu terdiri dari daun kayu putih yang dipetik langsung di jaba tengah serta beberapa temu-temuan dan minyak. Semua bahan itu direbus dengan menggunakan kayu bakar. Selain untuk mohon obat, masyarakat juga banyak nunas anak (mohon keturunan) bagi masyarakat yang belum memiliki keturunan. [B/*]

Related post