Sebuah Catatan. Ketika Budang Bading Badung Tampil di Tatkala May May May 2023
Penampilan Komunitas Budang Bading Badung (BBB) dalam acara Tatkala May May May, Jumat 19 Mei 2023 berbeda dari biasanya. Komunitas yang berdomisili di Kabupaten Badung ini tak hanya memetik apraseiasi, tetapi juga menuai berbagai pertanyaan, saran ataupun kritik yang dikemas dalam sebuah diskusi yang atraktif. Wajar, anggota komunitas yang didominasi para remaja setingkat SMA ini, menyiapkan mental untuk menjawab pertanyaan serta berupaya mencari pembenaran menguatkan konsep garapan musikalisasi puisi. Saat itu, BBB menyiapkan 6 buah musikalisasi puisi.
Saat itu, BBB didukung oleh I Made Manipuspaka (keyboard/ xylophone), Putu Andika Pratama Yoga (gitar), Putu Keisya Renatha Putri Dwisa (vokal), Ni Kadek Meyta Gifani Putri (vocal), Ni Nyoman Praba Putri Mahadewi (voval), dan Ni Made Yunda Darmayanti (vocal/ cymbal). Boleh dibilang, penampilan BBB saat itu menjadi lebih special karena melibatkan Ketua Komunitas BBB, I Wayan Amrita Dharma (drum/ cymbal) serta pelatih yang juga aransemen, I Nyoman Sedana Yoga Anugraha (gitar/keyboard/xylophone).
Setelah MC membuka pementasan itu, BBB memulai dengan Musikalisasi berjudul “Pemargin Ida” karya Nyoman Manda, lalu “Lumbung Kencana” karya Made Adnyana Ole, selanjutnya menampilkan “Autobiografi Kejahatan” karya Stira Prana Duarsa. Ketika akan menyiapkan musikalisasi puisi selanjutnya, pencetus Tatkala May May May, Made Adnyana Ole tiba-tiba mengambil mik, lalu mempersilahkan penampil istirahat sejenak untuk minum atau sekedar meregangkan nafas. “Inilah anak-anak yang membahagiakan orang tuanya,” kata Made Adnyana Ole mengawali apresiasinya.
Dengan suasana akrab, pemilik Tatkala.co ini kemudian mempersilahkan anggota BBB untuk memperkenalkan namanya masing-masing. Ia pun, kemudian memberikan kesempatan BBB untuk memaparkan proses kreatif, mulai dari mengumpulkan pemain, mengaransemen puisi, proses latihan hingga tampil dalam sebuah event lomba. “Jujur, saya merasa tidak ada masalah dalam melatih mereka (angota BBB). Mereka sangat disiplin, bahkan langsung mengeksekusi ide yang saya berikan. Mungkin, karena mereka biasa memainkan alat musik atau gamelan,” ujar Yoga.
Pria jebolan Sastra Indonesia Universitas Udayana ini memaparkan, anggota BBB memiliki modal suara yang rata-rata. Artinya, mereka tidak mempunyai vocal yang sangat baik, namun mereka penuh semangat untuk berlatih, sehingga hasilnya mendekati dengan apa yang diinginkannya. Tentu yang sesuai dengan tema dari puisi itu. Mula-mula menjelaskan maksud dari puisi yang diangkat, lalu melatih vocal sesuai dengan kemampuannya. “Prosesnya memang panjang, namun semua itu terasa pendek karena didukung oleh semangat para anggota yang tak pernah kendor,” paparnya.
BBB kemudian melanjutkan penampilannya dengan membawakan musiklaisasi berjudul “Bagaimana Jika” karya Kadek Sonia Piscayanti, kemudian “Segara Sanusantara” karya Made Sangra, dan musikalisasi pamungkas “Jalan Subak yang Menanjak” karya Made Adnyana Ole. Usai membawakan musikalisasi yang terakhir, penonton rupanya masih penasaran, sehingga kembali memberikan ruang untuk berdiskusi, bertukar pengalaman, saling mengisi dan saling melengkapi.
Wah Surya menanyakan dimana sesungguhnya kekuatan BBB dalam membawakan musikalisasi puisi. Apakah ada pada nada, musik atau vokal. Sebab, ia merasa semua musikalisasi yang dipersembahkan BBB itu hampir menawarkan warna yang sama dengan gaya musikalisasi Denpasar. Bahkan, sentuhan musikalisasi Denpasar terkesan kuat, sehingga kecendrungannya sama. Pria yang juga seorang pengaransemen musikalisasi puisi ini pun menegaskan, teknik penggarapan musik juga terkesan sama antara satu puisi dengan puisi lainya, sehingga terkesan monoton.
Gek Ning yang juga seorang pengaransemen puisi menyatakan, penampilan BBB lebih mengena sentuhan gaya musikalisasi Denpasar yang lebih menonjolkan musiknya. Tempo, dinamika, dan alat musik yang dimainkan berbeda dari penampilan musikalisasi biasanya. Dan itu sangat mengena dengan tema puisi yang dimainkan. Sebut saja, dalam “Segara Sanusantara”. Di opening, vokal yang dipadu dengan suara musik menggambarkan suasana “segara” (laut). Musiknya seperti suara ombak, dan vocal pemain terkesan di segara. “Saya rasa, BBB sudah berhasil membangun suasana di segara,” ungkapnya.
Gek Ning juga merasakan ada ciri khas yang hadir disetiap musik puisi yang dibawakan. Namun, ia tak berani mengatakan, apakah itu menjadi ciri khasnya. Sebab, ia sangat tahu kalau puisi itu membebaskan penggarap bereksprimen pada musiknya. Walau demikian, Gek Ning masih ragu, sehingga mempertanyakan, apakah dalam membawakan musik puisi itu hanya menyamyi atau memaknai puisi?
Kadek Sonia Piscayanti, owner Mahima Institute ini dengan wajah ceria mengatakan, kehadiran BBB ini sangat menyenangkan Mahima. Ia juga merasa terkejut, ketika puisi “Bagaimana Jika” yang menceritakan kekerasan terhadap kaum perempuan itu dibawakan dengan manis oleh BBB. “Ketika saya mendengar tadi, kalian membawakan sangat bagus, dan itu sudah kena. Tetapi, akan lebih bagus lagi kalau ada teaternya. Kalau tampil membawakan puisi ini lagi nanti, tolong juga digarap teater musicalnya, dan itu bisa bekerjasama dengan Mahima,” ucapnya.
Sementara Tini Wahyuni berkata, dirinya merupakan generasi oma dari kalian (BBB red). Dirinya sangat menyukai musik, dan bisa memainkan beberapa alat yang terkena imbas puisi. “Saya tak mengerti apakah performance ini menarik, vocal dan teknik musiknya indah, karena saya baru menyaksikan musikalisasi puisi. Tetapi, saya yakin performance ini bagus. Karena, saya percaya ada kekuatan alam yang saya yakini, ketika mendengarkan lagu-lagu tadi, bulu-bulu di tangan berdiri dan terasa merinding. Itu artinya bagus, dan itu ada pada kalian,” ujarnya serius.
Sedangkan Parta Wijaya yang dimintani tanggapan, ia hanya mengatakan, ”Jujur, saya gak pernah melihat musikalisasi puisi. Ini kompak dan bagus. Sungguh, mempesona!!
Menanggapi semua itu, Yoga mengakui kekuatan penampilan BBB itu ada pada rasa kebersamaan. Masing-masing dari mereka tak mau menyerah, jika ada yang merasa kurang, mereka pasti mengejar. Bahkan, dalam penampilan kali ini, ada musik puisi yang menampilkan ketukan 5/8, namun mereka mau belajar dan tak pernah menyerah. “Kalau dikatakan monoton, itu saya sadari. Karena musikalisasi ini digarap untuk sebuah lomba, sehingga memasukan sedikit bumbu yang sama dengan harapan meraih juara. Kalau gambling, ya… antara menang dan kalah banget,” jawabnya lugas.
Hal itu sangat ia sadari, vokal para pendukung BBB memiliki vocal yang tak cukup bagus, kurang mengtahui teknik, sehingga menghadirkan musik puisi sesuai selera juri. “Dalam
mengaransemem musikalisasi puisi, saya berangkat dari puisi yang pasti mengikat serta melakukan pendekatan-pendekatan yang disesuaikan dengan puisi itu. Seperti dalam puisi “Segara Sanusantara” dengan membuat lirik yang lantang juga menyanyikan dengan lantang dan tegas. Senusantara, saya membayangkan laut itu luas, juga memasukan vartikel angin, ombak dan suara-suara percapakan di laut,” pungkasnya.
Setelah diskusi yang berlangsung hangat itu, para peserta diskusi akhirnya meminta kembali BBB untuk menampilkan musikalisasi puisi yang lain dan mengulang musikalisasi “Segara Sanusantara” karya Made Sangra. Tanpa berpikir panjang, BBB kemudian menampilkan musikalisasi “Di Taman Itu Jejakmu Masih Terasa” karya Moch Satrio Welang, lalu mengakhiri persembahannya dengan “Segara Sanusantara”. [B/*].
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali