Ketut Lanus Garap Cak Perkusi Lahir dari Sebuah Tantangan
Cak, cak, cak, cak, cak….! Suaranya terdengar harmoni. Ketika tertindih dentuman kendang, lalu dikuatkan dengan teplakan jimbe, suara itu menjadi lebih atraktif. Cak itu dibawakan dengan gerak tari yang sangat sederhana, namun terasa kuat.
Pola lantai atau komposisinya, juga tak terlalu rumit. Mereka sering melingkar, terkadang berbaris berjejer lurus, terkadang pula duduk rapi, namun suara cak tak berhenti. Tokoh yang ada memaparkan kisah yang dikuatkan dengan narasi dan dibalut simbol-simbol.
Itulah kesenian Cak Perkusi yang disajikan oleh Sanggar Cahya Art pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-50 Bali Hyatt Hotel Sanur, beberapa waktu lalu. Cak Perkusi ini, sesungguhnya adalah Cak Tradisional yang diolah kembali dengan memasukan kreativitas permainkan alat musik perkusi, seperti kendang Bali, jimbe, rebana dan alat perkusi lainnya.
Sementara suling, berfungsi untuk menciptakan suasana serta mendukung narasi. “Kami bukan menciptakan Cak, tetapi kami hanya mengolah kembali embrio Cak yang sudah ada dalam bentuk baru,” ucap Ketut Lanus, S.Sn.M.Si penata Cak Perkusi itu.
Suara Cak, tetap dengan pakem yang ada, namun dibaurkan atau beralkulturasi dengan suara musik perkusi. Pada waktu tertentu, suara Cak tetap menonjol, namun pada saat yang berbeda, suara musik perkusi yang dominan. Lalu, tiba-tiba, kedua-duanya sama-sama menonjol dan tampil bersama dalam harmoni.
Menariknya, alat musik perkusi itu tak hanya dimainkan seperti biasa atau dengan teknik permainannya sendiri, tetapi juga dimainkan seperti permainan Cak, yang ada Cak 1, Cak 2, Cak3, Cak,5 atau Cak ¾.
Cak Perkusi yang didukung oleh 65 penari ini, lebih menonjolkan unsur-unsur kebaharuan yang diolah kembali menjadi sajian seni pertunjukan yang lebih atraktif. Menariknya, garapan seni ini tak hanya menyajikan suara Cak dan alat musik perkusi, tetapi juga berpadu dengan para penari untuk mempertegas suasana di atas panggung.
Sebut saja, penari obor dan Fire Dance sebagai simbol semangat yang tak pernah berhenti. Penari obor menari-menari sambil menyemburkan api, sehingga membentuk sebuah garis api yang sangat indah.
Lalu, masuknya Fire Dance itu, tetap ditata dengan mengadaptasikan tari modern itu bersama tarian obor yang mencerminkan seni tradisi. Dengan begitu, kehadiran Fire Dance itu bukan menjadi seni tempelan, melainkan sebuah satu kesatuan yang saling mengisi dan melengkapi.
Lantas, adanya, Tari Topeng Merah dan Topeng Putih serta tarian kain untuk menterjemahkan tema yang diangkat. “Sudah banyak yang berkreasi tentang Cak. Nah, saya mencoba menata Cak Perkusi yang dasarnya masih tetap pada Cak tradisi yang sudah ada,” tegas Ketua Sanggar Cahya Art ini.
Garapan berdurasi 20 menit itu mengangkat tema tentang perjalanan Bali Hyatt 50 tahun lalu. Hal ini disimbolisasikan melalui penari yang memainkan kain berwarna hijau, kayonan dan diisi dengan daun-daun sebagai simbol hutan.
Ketika dibantu dengan penataan lighting, tarianj itu menjadi lebih indah. Tarian itu menunjukan, hutan bakau dengan perairan biru yang disulap menjadi tempat wisata mewah bagai sebuah istana. Orang-orang yang ingin berlibur ke tempat wisata itu akan merasa nyaman.
Lalu, penari Topen Keras yang berwarna merah sebagai simbol pekerja yang memiliki semangat kerja yang besar dan kuat. Semangat kerja itu, akhirnya terwujud dilambangkan dengan penari obor sebagai simbol semangat. Lalu, dengan sifat-sifat positif yang digambarkan dengan Penari Topeng Putih sebagai simbol kebijakasanaan.
Kemudian didukung dengan narasi, yang berkisah 50 tahun perjalanan Bali Hyatt dengan doa-doa agar tetap berjalan menjadi vibrasi positif, sehingga mampu memberi kehidupan banyak orang, menjaga lingkungan hijau dan melestarikan budaya lokal.
Selanjutnya terwujud sebuah istana bernama Bali Hyatt, lalu di puncak pergelaran diisi pembacaan narasi berjubah kuning emas sebagai 50 tahun berangsung hingga sampai saat ini. Bali Hyatt sangat menghormati tradisi Bali, walau saat ini jaman berada dalam dunia modern. Maka, semangat itu tetap tumbuh yang disimbolkan dengan penari obor yang dilanjutkan dengan Fire Dance.
Busana penari Cak Perkusi, tetap menggunakan busana khas Cak tradisional yakni memakai kain hitam dan saput poleng (kotak-kota hitam dan putih). Busana itu memang khas, dan hidup. Hanya saja, untuk memberi kesan lebih baru, maka pada pergelarangan tangan dan kaki diikatkan benang Tridatu, dengan warna merah lambang semangat, putih kebijaksanaan, dan hitam simbol pelebur, sehingga tiga warna itu memberi keseimbangan, karena kekuatan tiga warna ini selalu ada.
Berawal dari Denfest
Lanus mengatakan, Cak Perkusi ini sudah pernah digarapnya pada tahun 2006. Ketika itu, ia diberi tantangan oleh Seniman Tari, I Nyoman Suarsa (Yangpung) untuk menyajikan sajian seni berjalan dalam Event Denpasar Festival (Denfest) bertempat di Catur Muka.
Kalau menampilkan Gong Kebyar, mungkin sudah biasa. Tetapi, Lanus ingin menjadikan hal ini sebuah tantangan, sehingga timbul ide untuk menggarap kesenian bergerak, yakni memainkan gamelan sambil mengelilingi patung penanda titik Nol Kilometer Kota Provinsi Bali itu.
Saat itu, dalam pikiran Lanus sudah terbayang menggarap kesenian Cak, namun bukan Cak yang sudah biasa ditemukan oleh masyarakat. Embrio utamanya tetap Cak, tetapi dikombinasikan dengan musik pukul yang mampu mendukung serta sesuai dengan karakter kesenian karya Limbak dan Walter Spies itu.
Maka, dicobalah dengan memadukan dengan kendang, rebana, kendang Bali, serta diinteraksikan dengan jimbe. Semua alat musik yang dipilih itu memiliki karakter yang sesusai dengan kesenian Cak.
Cak perkusi yang didukung sekitar 80 orang itu di dalam sajiannya juga memasukan unsur seni teatrikal. Hal itu menjadi pertimbangan, karena Cak Perkusi ini sebagai sajian seni pembuka pada perhelatan Denfest tahun itu.
Waktu yang cukup panjang, yakni sekitar 20 menit, sehingga masuknya unsur teatrikal dapat memberikan sajian yang lebih. “Kami merasa tampil maksimal, artinya sesuai dengan konsep yang dirancang. Merasa lebih senang, ketika penontoan memberi sambutan yang cukup lumayan,” kenang suami Dewa Ayu Wedanaasih ini.
Tak hanya alat musik pukul, Lanus kemudian mengkombinasikan pula dengan musik tubuh, seperi tepuk tangan. Semua itu terinspirasi dari Body Cak karya Prof. I Wayan Dibia, Cak Rina dan Cak klasik yang ada. Di samping sering menonton Cak Bona, ia juga lama terlibat sebagai penari Cak Desa Blakiuh dan penari Cak kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) atau Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar sekarang, tempat ia menuntut ilmu seni.
“Saya sering terlibat dalam pertunjukan Cak Desa cBlakiuh pimpinan alm. Ida Bagus Mas, bahkan mendukung Festival Cak Bali yang memainkan melody karena dianggap memiliki karakter suara besar,” ujar pria asal Penarungan, Mengwi, Badung ini.
Saat terlibat dalam kesenian klasik itu, Lanus benar-benar memanfaatkan kesempatan untuk belajar kesenian Cak. Tak hanya mempelajari suara Cak, komposisi serta gerak tarinya, tetapi juga cara mengatur nafas agar mampu bersuara Cak dalam waktu yang lebih panjang. Dari pengalaman itulah, ia kemudian merasa lebih percaya diri untuk menggarap Cak dalam bentuk yang lain.
“Setelah pentas dalam Denfest itu, saya kembali menggarap Cak Perkusi atas permintaan Bapak Martin pimpinan Event Organizer (EO) di Bali untuk asara di salah satu hotel di Nusa Dua. Kali ini, jumlahnya dikemas lebih minim, yakni sekitar 30 orang dengan pertimbangan bisa bergerak dalam stage lebih pariatif dan atraktif,” jelas Lanus.
Jika sebelumnya melibatkan anggota Sanggar Cahya Art, Mahasiswa Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) yang IKIP PGRI dulu, pada kesempatan ini bekerjasama dengan Cak Tegalalang. Saat ini pun, Lanus memasukan elemen baru dalam produk kesenian itu, sehingga dari rencana didukung 30 penari kemudian berkembang menjadi 45 orang.
Penambahan pemain itu, bukan agar semua dapat pentas, melainkan karena tuntutan sebuah garapan yang tergolong baru. “Syukurnya, Bapak Martin menerima dengan alasan, jangan memangkas kesenian. Mereka kemudian mengalah dengan membuat panggung yang lebih luas,” imbuhnya.
Hanya saja, durasi pentas hanya 7 menit. Walau demikian, seluruh penonton merasa senang dan puas. Apalagi ketika kelompok kesenian Cak Tegalalang ini menyajikan olahan musik mulut dan musik tubuh yang memikat. Secara sajian entertainment sedikit kurang, namun totalitas keseniannya sangat bagus.
Hal tersebut dibuktikan dengan sambutan penonton. Pertunjukan Cak Perkusi yang dipadu dengan Cak Tegalalang itu menjadi sajian yang sangat memukau. Artinya, proses berkarya yang lumayan padat, dan dapat menghasilkan sajian seni yang memuaskan.
Kesuksesan penampilan Cak Perkusi di Nusa Dua itu, Lanus kembali didapuk untuk menyajikan kesenian Cak Perkusi pada perayaan HUT ke-50 Bali Hyatt. Walau merasa senang karena dipercaya kembali, tetapi itu justru menjadi tantangn baginya. Sebab, setiap tampil, ia harus menyajikan hal baru, sehingga bukan menjadi produk kesenian yang itu-itu saja.
Kali ini, Lanus melibatkan Sanggar Manubada, Sanggar Siwer Nadi Swara, serta mahasiswa UPMI sehingga bentuk Cak Perkusi menjadi berbeda. “Kami masukan entertainment yang berkaitan dengan 50 tahun Bali Hyatt, sehingga penting memasukan narasi,” sebutnya.
Hal itu, tentu telah melakukan koordinasi dengan penyelenggara event, sehingga maksud, ide dan pesan yang ingin disampaikan tetap bisa nyambung dan sesuai rencana. Artinya, Cak Perkusi bukan menjadi sajian seni yang baku, tetapi selalu ada perubahan sesuai dengan situasi, kondisi dan tuntutan pentas.
“Saya memang buat Cak Perkusi seperti itu, sehingga ada celah yang bisa dimasukan unsur baru sesuai dengan kebutuhan. Walaupun bingkainya tetap cak perkusi, tetapi celah untuk memasukan unsur kebaharuan itu selalu ada. Kami tak ingin berkarya seperti pepatah “balung tanpa isi”, kita kerja, tetapi tidak diterima,” tutup Lanus tersenyum. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali