Genggong Khas Desa Batuan Hibur Pengunjung PKB ke- 46
Anak-anak di jaman ini, pasti jarang yang mengenal kesenian Genggong. Berbeda dengan dulu, kesenian rakyat yang lahir dari budaya pertanian itu sangat disukai. Kesenian ini, biasa disajikan dalam kegiatan upacara adat dan agama.
Selain itu, kesenian Genggong juga sering muncul dalam siaran radio ataupun dalam tayangan TV, sehingga seakan tak asing di telinga masyarakat tempol dulu. Suaranya yang lebut dan manis, cara memainkan juga sangat unik. Karenanya tak semua orang yang bisa memainkannya.
Nah, dalam upaya melestarikan kesenian Genggong itu, Pesta Kesenian Bali (PKB) ke- 46 memberi ruang Sanggar Tri Pusaka Sakti, Desa Batuan, Gianyar mempersembahkan Genggong. Kesenian ini tampil di Kalangan Ratna Kanda, Taman Budaya Bali, Senin 25 Juni 2024.
Genggong merupakan jenis gamelan, musik tradisional Bali yang minim generasi. Jika instrumen ini dimainkan, suara yang ditimbulkan mirip seperti suara katak sawah atau enggung. Suaranya riang, gembira, saling bersahutan dan memberi kesan ‘ngelangenin’.
Jenis instrument Genggong itu sebenarnya tidak memiliki nada. Untuk mendapatkan nada dengan cara mengolah kerongkongongan seperti bumbung dalam gamelan kerawang atau besi. Jadi kerongkongan itu berfungsi sebagai resonansi.
Artinya, penabuh itu memanfaatkan rongga mulutnya sebagai resonator. Teknik memainkannya, pertama harus menemukan getaran yang digasilkan dari ikut capung genggong. Di dalamnya ada memberan yang disebut pelayah.
Ujung ikut capung digetarkan dengan cara menarik tali kalingan, sehingga menghasilkan nada yang sangat lembut. Penabuh akan mengandalkan rasa, sehingga dapat menghasilkan nada-nada yang berbagai jenis itu.
Selain cara memainkan yang sangat unik, dalam sajian ini dikemas menarik yang dibalut dalam garapan seni drama yang mengundang gelak tawa penonton. Genggong, sebuah alat musik klasik terbuat dari bambu yang dibunyikan dengan mendekatkan dengan rongga mulut.
Gengong yang memiliki, seperti suara enggung atau katak besar yang saling bersautan itu dibuat menjadi lebih ramai dan menarik, sehingga dipadu dengan seperangkat gamelan geguntangan, kendang, suling , kempul dan cengceng.
Alat music ini disajikan dengan apik dan padu saat mengiringi tarian dan cerita rakyat. Sajian ini, diawali dengan tabuh petegak, kemudian disajikan sebuah tari penyambutan, selanjutnya membawakan cerita Jenggala dan Daha dari abad ke-10 dan ke-11 Kerajaan Hindu Jawa Timur.
Sanggar yang dibina oleh Maestro I Made Djimat itu menghadirkan tokoh Godogan dimainkan dengan baik, dengan tingkah lucu, dan imut, sehingga mampu memikat penonton dari berbagai kalangan itu. Bahkan, pemain godogan sesekali mengajak penonton menari ke panggung.
Kebetulan, ada seorang bule yang tengah serius menonton, lalu diajak menari ke panggung. Bule itu pun menari manja. Dirinya diminta cium pipi godogan. Seketika itu penonton riuh memberi sambutan. Penonton kemudian semakin memadati panggung dengan jenis presenium itu.
Dalam sajian cerita godogan ini, memang tak asing dalam sajian pementasan kesenian arja klasik di Bali. Tokoh ini dikenal lekat dengan penikmat seni sejak dulu, khususnya dalam pementasan seni godogan dalam arja maupun drama Gong.
Adapun kisahnya, ada seorang Pangeran Jenggala di masa kecil yang sangat gemar menangkap capung atau Ngonang. Pada suatu ketika Pangeran Jenggala mengejar capung hingga teramat jauh dan menghilang di kaki Gunung Kelud.
Beberapa tahun kemudian munculah seekor katak besar (Godogan) yang diyakini sebagai penjelmaan pangeran yang hilang bernama Wanong Sari. Suatu hari beranjak dewasa Wanong Sari bertemu dengan seorang putri dari Kerajaan Daha yang sanngat cantic.
Bahkan kecantikannya itu membuatnya terpesona. Dia pun jatuh cinta akan tetapi tetapi Raja Daha hanya bersedia menikahi putrinya jika dia bisa melalui persyaratan yang diberikan oleh sang Raja, dan sangat mengejutkannya Wanong Sari pun dapat melewati persyaratan tersebut.
Ia kemudian masuk ke dalam fase pertapaan guna merubah wujudnya kembali menjadi manusia, dan atas karunia Dewa Wisnu melalui manifestasinya ia kembali menjadi pemuda tampan yang menyerupai pangeran Jenggala yang lama hilang.
Akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia di Kerajaan Kahuripan, yaitu nama baru dari Kerajaan Jenggala. “Proses latihan kami, kurang lebih 2 bulan. Kami, cukup beryukur bisa menyajikan kesenian klasik kerakyatan yaitu genggong di panggung PKB tahun ,” kata salah satu anggota sanggar, I Gede Agus Hendra Arta Dinata.
Konon, kesenian ini sangat langka dan telah eksis sejak lama atau sekitar abad ke 15. Maka ini, menjadi sebuah kebanggan anggota sanggar yang kebanyakan generasi muda mengenal dan dapat ikut melestarikan kesenian yang umurnya sudah tua ini.
“Dengan melibatkan generasi anak-anak dan remaja di lingkungan desa Batuan, kita masih bisa melestarikan kesenian rakyat ini,” ungkap Agus Hendra yang juga merupakan cucu dari Maestro topeng I Made Djimat.
Kesenian ini akan tetap lestari dan terdepan tentunya mendapat pendampingan dari para senior sebagai penerus kesenian genggong. Dukungan dari para senior, serta semangat dari anak-anak muda untuk menggeluti kesenian genggong, akan membuat kesenian ini tetap lestari.
“Saya yakin dengan didorong rasa antusias yang sangat tinggi dari anak-anak, para senior juga memiliki semangat yang sama, maka Genggong akan tetap eksis di Bali khususnya di Batuan,” tutup Agus Hendra Arta Dinata. [B/*/darma]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali