Ketika Pakis Bali Mesatua di Bulan Bahasa Bali VII

 Ketika Pakis Bali Mesatua di Bulan Bahasa Bali VII

Para pemenang Lomba Masatua dalam ajang Bulan Bahasa Bali VII/Foto: darma

Bagai Anak Baru Gede (ABG), ibu-ibu ini begitu gesit dalam mesatua (bercerita menggunakan Bahasa Bali). Mereka tak hanya tampil rapi dan cantik, tetapi menawan pula ketika bercerita di atas panggung. Ibu-ibu ini mesatua penuh penjiwaan, sehingga penonton larut di dalamnya.

Sering kali, penonton dibuat emosi, terkadang gembira, bahkan sedih dengan kekuatan para ibu-ibu ini mengekpresikan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita itu. Termasuk pula menggambarkan suasana ataupun latar dimana tokoh itu berada.

Itulah penampilan ibu-ibu merupakan anggota Paiketan Krama Istri (PAKIS) dalam ajang Wimbakara (Lomba) Masatua dalam ajang Bulan Bahasa Bali (BBB) VII di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Kamis 20 Pebruari 2025.

Lomba ini diikuti oleh 9 peserta, PAKIS perwakilan dari kabupaten dan kota di Bali. Dengan mengenakan busana adat, ibu-ibu ini membawakan satua (cerita) yang sangat beragam, namun penyampaian pesan positif dalam menjalani kehidupan menjadi hal utama.

Baca Juga:  Bulan Bahasa Bali ke-5, Membumikan Bahasa Bali Gaungnya Hingga ke Desa Adat

Setiap peserta yang tampil, selalu mendapat sambutan para penonton yang merupakan para suporter mereka. Walau semua menarik, namun dewan juri tetap memilih yang terbaik. PAKIS Desa Dinas Sanur Kaja, yaitu Ida Ayu Gede Sasrani Widyastuti terpilih sebagai Juara I.

Sementara Juara II dan III dimenangkan oleh PAKIS Desa Adat Unggasan, Putu Satya Paranitha dari Kabupaten Badung dan PAKIS Keluruhan Kaliuntu, Kadek Susan Tyo Riski sebagai Duta Kabupaten Buleleng.

“Kali ini sudah 7 kali peleksanaan lomba Masatua yang melibatkan peserta PAKIS di Bali ini, dan boleh dibilang lomba kali ini yang apaling menarik,” kata Dewan juri, Dr. Drs. Ida Bagus Rai Putra, M.Hum yang dosen Bahasa Bali Unud itu.

Penampilan salag satu peserta Lomba Masatua dalam ajang Bulan Bahasa Bali VII/Foto: darma

Pesertanya lengkap diikuti oleh seluruh kabupaten dan kota di Bali dan mereka tampil sangat bagus. Hal itu dapat dilihat dari keutuhan satwa, vokal, kemampuan bercerita, penghayatan dan bahasa Bali yang sesuai dengan anggah ungguhing basa.

Baca Juga:  Festival Seni Bali Jani Ruang Strategis Pengembangan Seni Inovasi, Modern dan Kontemporer

Bahkan ada yang mengunakan teknik bercerita yang seperti para peserta di tingkat nasional. Mereka tampil sangat baik. Pada saat bercerita dia menggunakan narator bercerita, begitu masuk pada dialog cerita dia bisa memanfaatkan kemampuan membedakan suara masing masing tokoh.

Misalnya menggunakan suara tokoh-tokoh lengkap dengan karakternya, termasuk suara bintang. Bahkan, itu disampaikan sesuai karakter binatang. Apalagi, didukung gerak dari anggota tubuhnya, namun itu tidak berlebihan.

Ada pula peserta penampilannya bagus, tetapi tampil terlalu monyer. Vokalnya nyempreng dan mimiknya tidak mendukung. Ada pula peserta yang tampil galak sejak awal hingga akhir, namun kurang berisi. Sebab, para peserta dinilai adalah keutuhan performingnya, apakah dia melakukan logika bahasa dan isi, termasuk pula menyampaikajn pesan dari cerita itu.

“Pesan itu tak sekedar mengambil dari kitab suci, tetapi harusnya diterima oleh orang yang bercerita dan orang mendengar cerita itu mendapatkan bahasa Bali dan mendapatkan kebudayaannya,” pungkasnya.

Baca Juga:  Konser Kebangkitan di The Apurva Kempinski Bali. Maestro Aksan Sjuman Padukan Musik dan Emosi yang Memikat

Kemampuan untuk menyimpulkan cerita itu sangat penting, sehingga bentuk fungsi dan maknanya kelihatan. Elemen-elemen dalam pencerita itu seperti, tokoh, latar, dan penokohan itu sendiri mampu disampaikan secara logis dan tidak logis, sehingga mendukung tema cerita itu sendiri.

“Esensinya bagaimana pengalaman batin dari seorang pencerita bisa menuangkan kepada yang mendengarkan, sehingga bisa menyimpulkan tokoh ini bagus dan tokoh ini jelek, karena satua itu fase dasar pengetahuan untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk,” paparnya.

Itu adalah makna satua. Pencerita yang menyampaikan dengan lugas, maka yang mendengar memilihnya. Artinya, yang mana akan ditauladani dan yang mana di tidak tauladani untuk diterapkan dalam kehidupan.

Aerinya, para pencerita ini penting memiliki kemampuan untuk menyimpulkan cerita itu sendiri, sehingga bentuk fungsi dan maknanya kelihatan. “Kami kagum, para peserta yang lomba di sini semuanya bagus-bagus kalau dilihat dari teknik cerita, dan buktinya direspon penonon,” ujarnya.

Baca Juga:  IB Gede Agastia dan I Gede Sura Menerima Penghargaan Bali Kerthi Nugraha Mahottama

Konsep bercerita dengan audient tampak jelas. Begitu pula ketika kembali pada narator, ia mampu tampil secara utuh. Memperkenalkan tokohnya sangat jelas, latarnya bagus, dan situasi penceritaan. Itulah yang membuat cerita hidup, yang dikontekkan dengan pendengarnya.

“Dan yang mengejutkan lagi, salah satu peserta itu mampu membuat orang ngeh, seakan mengingatkan dengan Tumpek Landep yang ada beberapa hari lagi. Itu sangat konstektual, mereka menyinggung odalan tetapi masih terkait dengan satua,” pungkas Ida Bagus Rai Putra. [B/darma]

 

Related post