Teater Genta Malini Pentaskan ‘Matemuang Samaya’ di Bulan Bahasa Bali

 Teater Genta Malini Pentaskan ‘Matemuang Samaya’ di Bulan Bahasa Bali

Teater Genta Malini, SMA Negeri 1 Gianyar pentaskan Matemuang Semaya/Foto: darma

Teater Genta Malini, SMA Negeri 1 Gianyar tampil dalam ajang Bulan Bahasa Bali (BBB) VII itu bertepatan dengan Hari Raya Tumpek Landep, upacara yadnya untuk semua jenis alat tajam atau runcing, Sabtu 22 Pebruari 2025. Mereka tampil sangat apik dan memukau.

Teater Genta Malini tampil dalam Panggung Apresiasi Seni Sastra BBB VII yang berlangsung di di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali. Mereka menampilkan garapan apik, yang tetap memasukan hal-hal baru untuk membuat pertunjukan menjadi lebih atraktif.

Cerita yang diangkat merupakan adaptasi dari karya Made Sangra yang berjudul “Ketemu Ring Tampak Siring, lalu diadaptasi menjadi “Matemuang Semaya”. Maka, ada penambahan tokoh, unhtuk mendukung tema Bulanh Bahasa Bali VII serta bebas menyajikan pesan moral.

Dalam penggunaan bahasa, teater ini tidak kaku. Walaupun ada yang menggunakan bahasa sesuai anggah ungguhing basa, namun dalam penyajian para pemain lebih banyak memasukan bahasa Bali yang lumrah dan yang mudah dimengerti anak-anak di jaman now ini.

Baca Juga:  DJ Nico: Bintang Muda Baru Berkontribusi untuk Bali Melalui Musik

Peran punawakan I Geblag dan I Geblug adalah peran adaptasi yang berhasil menghidupakn suasana. I Geblug seorang penar bencong lebih banyak menggunakan basaha Bali, terkadang bahasa Indonesia, terkadang pula bahasa Inggris, sehingga mendapat respon penonton.

Teater Genta Malini, SMA Negeri 1 Gianyar pentaskan Matemuang Semaya/Foto: darma

Iringannya, sangat sederhana, yang terdiri dari 2 penyanyi, 2 gitar bolong dan satu kajon. Dalam penampilannya iringan bukan sebagai sajian seni yang menonjol. Iringan itu hanya mendukung suasana, dan terkadang menegaskan suasana melalui tembang-tembang yang dilantunkan.

Sutradara Ni Putu Kliyo Meita mengatakan, dalam penggung apresiasi ini Teater Genta Malini membawakan sebuah cerita adaptasi dari karya Made Sangra yang berjudul “Ketemu Ring Tampak Siring, lalu diadaptasi menjadi “Matemuang Semaya”.

“Secara alur itu sama saja dengan karya Made Sangra, tetapi kami memasukan tokoh lain untuk mendukung dari tema Bulan Bahasa Bali VII. Di sini, kami sampaikan pesan moral yang dapat dijadikan pedoman hidup,” kata Ni Putu Kliyo Meita usai pementasan.

Baca Juga:  Setelah Dikonservasi, Lontar Milik I Wayan Mustawan Bertambah 4 Cakep

Pementasan ini, mengisahkan seorang wartawan asal Belanda, Van Steven yang datang ke Bali bersama rombongannya. Rombongan turis ini berwisaya ke Tirta Empul, Tampak Siring. Di objek wisata Tirta Empul itu wartawan itu kemudian bertemu dengan seorang penjual oleh-oleh khas Bali, Luh Rai. Mereka kemudian saling suka.

Namun, ternyata mereka itu bersaudara. Bapaknya Van Steven dan Luh Rai itu memang ayahnya satu, uaitu orang Belanda yang sempat tinggal di Bali dan menikah dengan orang Bali bernama Kompyang. Karena bapaknya menjalankan tugasnya sebagai tentara, ia lalu kembali ke Belanda. Seorang belanda ini mengajak anak pertamanya Van Stven karena sudah lahir. Sementara Luh Rai sedang dalam kandungan.

Teater Genta Malini, SMA Negeri 1 Gianyar pentaskan Matemuang Semaya/Foto: darma

Itu merupakan kisah aslinya dari karya Made Sangra. Namun, dalam kisa itu kemudian diadaptasi dengan menambahkan peran lain, seperti Tokoh Ajik selaku peran antogonis. Termasuk menambahkan peran I Geblag dan I Geblug berperan, seperti parekan (punakawan) yang berfungsi untuk mencairkan suasana pementasan itu.

“Kalau cerita aslinya itu kisah romio. Namun, kami sengaja adaptasikan dengan mengangkat unsur alam atau pesan, bahwa Bali tidak sedang ridak baik-baik saja. Tanah Bali banyak ditumbuhi beton,” ungkapnya.

Baca Juga:  Pj. Gubernur Meletakan Globe di Atas Bedawang Nala, Bulan Bahasa Bali VII Dimulai

Tokoh Ajik itu, tokoh yang melambangkan keserakahan orang Bali yang menjual tanahanya untuk orang asing. “Ajik itu merupakan orang Bali yang serakah yang tidak memikirkan kalau sawah-sawah itu merupakan warisan yang kita miliki. Tanah itu merupakan warisan kita, carik-carik adalah milik kita,” sebutnya.

Dalam drama ini menegaskan, keberadaan carik di Bali sangat penting untuk orang-orang Bali. Itu artinya, masyarakat Bali tidak hanya menjaga hubungan harmonis sesama manusia, tetapi juga menjaga hubungan hamonis dengan lingkungan dan Sang Maha Kuasa. Karena itu, dalam adegan juga menampilkan kisah Luh Rai yang melakukan mebanten.

Kliyo Meita menjelaskan, untuk persiapan pentas ini Teater Genta Malini telah mempersiapkan diri lebih dari sebulan. Hal itu, mulai dari penyuntingan naskah, selanjutnya menentukan tema yang selalu berkoordinasi dengan Dinas Kebudayaan Bali.

Termasuk berkoordinasi dalam melakukan adaptasi dengan karya Made Sangra ini. “Kami melakukan penytuntingan naskah sekitar satu minggu sekalian casting mencari pemain,” paparnya.

Penampilan Teater Genta Malini dalam Panggung Apresiasi Seni Sastra, karena pada BBB VI, sebelumnya teater yang didukung para siswa SMA Negeri 1 Gianyar tampil sebagai juara I. “Kami sangar senang dan bangga diberikan apresiasi untuk pentas kali ini. Kami juga berterima kasih kepada sekolah yang memberi dukungan atas pemnatsan drama ini,” ucapnya.

Memamg, dalam pentas drama “Matemuang Semaya” itu mendapat dukungan penuh dari seluruh SMA Negeri 1 Gianyar. Maka itu, pementasan ini menghadirkan para siswa dan guru-guru yang mengenakan busana adat Bali. Mereka bahkan menggunakan 5 bus, serta mobil pribadi dan selebihnya sepeda motor unbtuk mensupport pementasan itu. [B/darma]

Related post