I Nyoman Kariasa: Angkat Ritus ‘Mejaga-jaga’, Pentaskan Karya Cipta Seni Karawitan Ekologis ‘Nuwur Geni Kahuripan Ang-Ah’

 I Nyoman Kariasa: Angkat Ritus ‘Mejaga-jaga’, Pentaskan Karya Cipta Seni Karawitan Ekologis ‘Nuwur Geni Kahuripan Ang-Ah’

Karya Cipta Seni Karawitan Ekologis ‘Nuwur Geni Kahuripan Ang-Ah’/Foto: doc.balihbalihan

Ketika hari mulai gelap, warga yang mengenakan busana adat sambil mengusung berbagai alat dan sarana upacara berbaris rapi diiringi gamelan bleganjur. Warga yang terdiri dari anak-anak, remaja, hingga dewasa itu tampak khusuk mengikuti prosesi “nuur”.

Barisan ini mirip seperti prosesi upacara “ngebejiang” untuk mensucikan “Prelingga Ida Betara” dan sarana prasarana yang akan digunakan saat berlangsungnya piodalan. Pemangku memimpin prosesi itu, lalu diikuti oleh barisan lelontek, pajeng, tombak, kober, lalu gebogan.

Selanjutnya, ada laku-laku yang mengenakan busana batik kuno dengan udeng putih untuk orang dewasa, dan memakai udengan batik untuk para remaja. Dibelakangnya, diikuti penari rejang dan penari baris lengkap dengan property tamiang dan toombak pendek.

Itulah awal dari pertunjukan karya seni “Nuwur Geni Kahuripan Ang-Ah” di area Pura Dalem Desa Pinda, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Jumat 24 Januari 2025. Karya ini sebuah penciptaan seni karawitan ekologis hasil kajian I Nyoman Kariasa dalam tugas karya ujian S3.

Baca Juga:  Ogoh-Ogoh Simbolisasi Kekuatan Penguasa Waktu

Karya berbasis kearifan lokal Desa Pinda itu, didukung oleh warga Desa Adat Pinda dengan penih semangat menampilkan kearipan local yang sudah menjadi warisan sejak dulu. Ketika suara gamelan lelambatan dimulai, para penari serta pemuda yang mengikuti prosesi itu duduk.

Nuwur Geni Kahuripan Ang-Ah’ pada penyajian Nedunin Geni di jaba tengah pura/Foto: doc.balihbalihan

Penari rejang kemudian menari lembut dan tulus terasa sangat kuat. Busana rejang didominasi warna putih dan merah tua dengan gelungan janur yang khas. Setelah tabuh gilak mulai dimainkan, penari Baris pun menari. Gerak tari sederhana, didukung suara-suara polos.

Pertunjukan seni itu kemudian menuju jaba sisi, tepatnya di wantian tajen. Panggung ini didominasi dengan properti api. Di depan panggung berjejer barisan api kecil. Sementara di belakang panggung sebuah dekorasi dengan api berkobar membuat efek lidah api yang indah.

Para penabuh memainkan gamelan kreasi yang enerjik. Terkadang suara gamelan dipadu dengan tembang-tembang yang ditata apik dan indah. Gending yang dimainkan menyajikan nada-nada yang begitu kuat seakan memberikan jiwa kehidupan. Gending lalu pelan-pelan dan hilang.

Baca Juga:  I Nyoman Hartanegara Lanjutkan Profesi Sang Kakek

Perhatian penonton kemudian tertuju pada area jalan pura itu. gamelan blehanjut dimainkan. Penari laki-laki yang tubuhnya mengkilap membawa sambuk (serabut), didatangi pemangku lalu menyalakan tumpukan serabut itu. Api pun berkobar membuat areal jalan itu menjadi terang.

Api semakin membesar, lalu penari laki-laki itu kemudian menendang bara api kepada temannya. Mereka berperang saling lempar api. Meski ada yang kena, namun mereka tak merasa panas, justru semakin bersemangat untuk berperang api kembali.

Dalam karya seni karawitan ini, I Nyoman Kariasa mengangkat ritus ‘Mejaga-jaga’ yang konon pernah berlangsung sekitar akhir tahun 1990-an di Desa Pinda. Tradisi siat api ini dilakukan menjelang Perayaan Nyepi. Tradisi ini mengandung pesan dan sarat makna, namun memudar.

Nuwur Geni Kahuripan Ang-Ah’ pada struktur penyajian Nedunin Geni di Wantilan Tajen/Foto: doc.balihbalihan

Bermula dari tradisi ini maka gagasan mengangkat kembali tradusu itu, lalu menuangkan ke dalam karya berjudul “Nuwur Geni Kahuripan Ang-Ah”. Penciptaan ini untuk merekonstruksi Ritus Mejaga-jaga dan mengembangkan dengan gamelan gong kebyar sebagai daya tarik wisata.

Baca Juga:  Kesenian Janger Bernuansa Sosial, Tari dan Nyanyian Penuh Percintaan.

“Proses penciptaan ini dilakukan dengan pendekatan interdisipliner (estetika, religi, ekonomi, sosial, budaya), melalui beberapa tahapan antara lain: riset lapangan untuk memahami dan merekonstruksi Ritus Mejaga-jaga yang telah lama terlupakan,” ucap Kariasa.

Selanjutnya menyusun rancang bangun model pertunjukan, melakukan implementasi model, uji coba model, dan diseminasi karya. Sementara sumber data penciptaan ini antara lain, Lontar Prakempa dan Aji Ghurnita, Ritus Mejaga-jaga, Gamelan Gong Kebyar Desa Pinda.

Termasuk para sesepuh, tokoh adat, seniman, budayawan, akademisi, masyarakat terkait yang dipilih berdasarkan teknik purposive sampling dan snowball. Analisis data digunakan teori etnomusikal, teori representasi budaya, teori komodifikasi, teori praktik, dan teori semiotika.

Dalam penciptaan ini kemudian menghasilkan karya seni berjudul “Nuwur Geni Kahuripan Ang-Ah”, yang disajikan total performance sesuai dengan tata ruang kosmologi lingkungan alam Desa Pinda diiringi Gamelan Bleganjur inovasi dan konser “Gong Kebyar Ang-Ah”.

Baca Juga:  Ni Wayan Latri Legenda Mantri Manis Arja Keramas

Menurut Kader, sapaan akabranya, struktur penyajian diawali Nedunin Geni, Nyuarang Geni, Nyolahang Geni, dan Ngaluwur. Nedunang geni itu diimplentasikan melalui pementasan rejang dan baris di jaba tengah Pura Dalem ini dengan nuansa lembut, halus dan penuh penjiwaan.

Nuwur Geni Kahuripan Ang-Ah’ pada struktur Nyolahang Geni dan Ngeluwur di areal jalan pura/Foto: doc.balihbalihan

Pertunjukan di wantilan tajen itu, sebagai bentuk Nyolahang Geni, sehingga dekorasi pertunjukan diwarnai dengan nyala api. Selanjutnya, perang api dengan iringan semangat bleganjur itu sebagai bentuk Nyolahang Geni, dan Ngaluwur.

Karya seni ekologis ini memiliki pesan pemberdayaan dan pelestarian, serta memiliki makna estetika baru, makna sosial, makna ekonomi, dan makna identitas wisata Desa Pinda. Dalam penciptaan ini menghasilkan novelty/temuan baru bernama “Getek Solah”,” ungkapnya.

Sebab, didalamnya mencakup konsep penciptaan baru, metode penciptaan baru, teknik penyajian baru dalam seni karawitan Bali. “Konser pentas karya Gong Kebyar berjudul Aksara “Ang” dan “Ah” adalah simbol sakral-magis sebagai siklus penciptaan dan peleburan,” jelasnya.

Baca Juga:  8 Tahun Komunitas Manubada Masih Berkarya dan Berkegiatan Sosial

Secara filosofis maupun spiritual, Kader memaparkan dwi aksara ini merupakan aksara suci dalam ajaran Hindu Bali yang sering digunakan di tengah kekhusyukan puspa ragam ritual keagamaan.

“Di antara dualitas penciptaan dan peleburan itu, memercik dinamika nyala api pada raga-diri manusia dalam rentang kehidupan sosio-kulturalnya. Secara simbolis, api mencerminkan energi kreatif, debur transformasi, deru penjelajahan yang beretos pendakian melaju terus menerus,” ucapnya.

Kader meyakinkan masyarakat Desa Pinda, mewarisi euforia keceriaan Gong Kebyar, dari generasi ke generasi, tegar dan kokoh melegenda di tanah Bali. Alkisah sebuah kearifan budaya mejaga-jaga yang pernah tersemai di desa ini, terasa masih mengepul dengan spirit kesiagaan menjaga harmoni masyarakatnya.

“Tradisi sehari menjelang Nyepi yang digelorakan melalui api sabut kelapa itu, sejatinya masih menyisakan bara. Salah satu upaya untuk memantik, memaknai dan mengartikulasikan warisan seni dan budaya tersebut adalah melalui karya cipta “Nuwur Geni Kahuripan Ang-Ah ini,” jelasnya.

Baca Juga:  Pameran Seni Rupa ‘Refined: Dinamika Simbolisme Keseharian’ di ARTspace ARTOTEL Sanur

Garapan dalam sajian ini Kader didukung penuh oleh masyarakat Desa Pinda yang melibatkan tidak kurang 400 orang. Mulai dari Krama Desa Adat Pinda, Sekaa Gong Dharma Kusuma Pinda, Mahasiswa Prodi Karawitan ISI Denpasar, Sekaa Gong Banjar Telabah Sukawati.

Sekaa Gong Banjar Kebalian Sukawati, Sekaa Gong Banjar Kutri Buruan Blahbatuh, Sanggar Paripurna Bona Blahbatuh, Siswa-Siswi Kokar Bali, Sidha Karya Blahbatuh dan tenan sahabat I Nyoman Kader. [B/darma]

Related post