Puisi Bali Modern Cenderung Menggurui: Dari ‘Ngortaang Buku #2’ di Bulan Bahasa Bali VII

I Made Sujaya dan Komang Sujana/Foto: rusdi
Selama ini, puisi-puisi Bali modern masih terjebak dalam tradisi. Selain itu, juga cenderung menggurui, berisi pitutur, yang seakan tak lengkap tanpa hal tersebut. Semua hal itu, secara tidak langsung, seperti menjadi karakteristik puisi Bali modern.
“Dalam kumpulan puisi Renganis ini pun, hal itu juga masih terasa,” kata Dekan Fakultas Sastra dan Seni Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) Bali, I Made Sujaya saat menjadi pembicara bedah buku bertajuk “Ngoryaang Buku #2” di Lantai Bawah Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali Jumat, 21 Februari 2024 sore.
Acara yang diinisiasi oleh Komunitas Mahima, Suara Saking Bali, dan Komunitas Wartawan dan Penulis Budaya (Kawiya) itu membedah buku kumpulan puisi Bali modern, Renganis karya Komang Sujana yang menjadi pemenang Hadiah Sastera Rancage 2025.
Acara ini yang dihadiri budayawan, sastrawan, wartawan, guru, pegiat literasi hingga Penyuluh Bahasa Bali berlangsung komunikatif. Hampir seluruh peserta mengeluarkan ide dan gagasan sekaligus kritik membangun terhadap perkembangan puisi Bali modern.
Termasuk mengupas distribusi buku karya puisi Bali modern karya penulis lokal yang sangat lemah. “Padahal puisi Bali juga berakar dari puisi Indonesia, dan puisi Indonesia sudah mengalami loncatan yang jauh,” papar Sujaya.

Lalu, terkait dengan Renganis yang menjadi judul kumpulan puisi ini adalah sebuah kesenian yang lahir dari seni mabebasan dan dibubuhi unsur suara alam yakni kodok atau pun enggung. “Kesenian tersebut bisa menjadi sebuah inspirasi baru untuk melakukan pendobrakan dalam membuat sebuah puisi,” sebutnya.
Sujaya juga menilai, kekuatan puisi ini terletak pada bahasa. Hal ini bisa jadi dipengaruhi oleh penulisnya yang berasal dari Buleleng yang memiliki struktur bahasa lengkap. “Saya juga melihat dominasi sajak lirik sangat kuat di sini, seperti bentuk terzina, quatrain,” paparnya.
Mantan wartawan ini juga menegaskan, distribusi buku sastra Bali modern saat ini yang belum bagus. Padahal di sekolah-sekolah saat ini keberadaan bacaan berbahasa Bali masih sangat kurang. “Mestinya buku-buku sastra Bali itu bisa didistribusi ke sekolah-sekolah,” ujarnya.
Penulis kumpulan puisi Rengganis, Komang Sujana mengatakan dalam buku ini terdapat 66 buah puisi. Buku Rengganis ini sebelum dinyatakan menang Hadiah Rancage, dan buku ini sempat meraih juara 3 Gerip Maurip.
Sebagai seorang guru bahasa Bali, Komang Sujana ingin memberikan contoh nyata pada siswanya, dan bukan hanya sekadar berteori. “Ini adalah buku kedua saya setelah yang pertama Cangkit Den Bukit,” paparnya.
Sementara itu, sastrawan Made Adnyana Ole dalam kesempatan itu juga menyoroti distribusi buku SBM. Penulis SBM selama ini hanya ngayah dan sulit mencari pembaca. “Menulis susah, mencari pembaca juga susah,” paparnya.
Mereka, para penulis SBM itu lebih sering membagikan bukunya secara cuma-cuma dan kadang juga tidak dibaca. “Maka dari itu, diperlukan sebuah regulasi dari pemerintah saat pengadaan buku di sekolah-sekolah,” ucapnya.
Karena selama ini pemenang tender selalu dari luar Bali, sehingga buku terbitan di Bali, apalagi buku SBM tak bisa masuk. “Seharusnya ada kebijakan, sebelum tender pengadaan buku, diberikan syarat, sekian persen harus ada buku terbitan di Bali dan juga buku berbahasa Bali,” sebutnya.
Mungkin dengan cara seperti itu, iklim perbukuan di Bali akan lebih hidup karena buku tersebut bisa terdistribusi dengan baik. [B/darma]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali