Jantra Tradisional Bali 2025 Perkenalkan ‘Megandu’: Permainan Tradisional yang Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia

 Jantra Tradisional Bali 2025 Perkenalkan ‘Megandu’: Permainan Tradisional yang Ditetapkan Sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia

Permainan tradisional ‘Megandu’ meriahkan Jantra Tradisional Bali 2025/Foto: dok.buratwangi

DI pagi yang cerah, teruna teruni dari Sanggar Buratwangi, Banjar Dinas Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan melakukan permainan Tradisional Megandu di Lapangan Timur UPTD. Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Sabtu 5 Juli 2025.

Mereka yang bergerak lincah dan penuh semangat itu menarik perhatian masyarakat ataupun wisatawan yang sedang jalan pagi di kawasan pusat pemerintahan, bisnis, dan rekreasi di Provinsi Bali itu. Perhatian mereka tertuju pada bola gandu, tali guntung dan pelepah pisang kering.

Keceriaan anak-anak muda yang masih mau melestarikan permainan sawah itu, juga menjadi sorotan para masyarakat. Permainan Megandu, merupakan hari kedua Murtirupa (Demonstrasi) Jantra Tradisional Bali merupakan rangkaian dari Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47.

“Murtirupa Permainan Rakyat Megandu kali ini ditampilkan oleh Sanggar Buratwangi Desa Ole. Megandu sebagai permainan rakyat yang sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) tahun 2023,” kata Ni Made Wiyarsani, Pamong Budaya Ahli Muda, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali disela-sela acar itu.

Baca Juga:  Janger Hasta Komala ‘Cupak Dadi Ratu”, Pembuktian Seniman Duta Kota Denpasar

Megandu merupakan permainan tradisional berkaitan dengan masyarakat petani di Banjar Ole, dan sudah berlangsung sejak dahulu yang dilakukan oleh anak laki-laki juga perempuan. Permainan ini dilakukan usai musim panen, dengan memanfaatkan sisa-sisa panen padi berupa tumpukan jerami.

Jerami itu dibuat menjadi gandu atau bola jerami sebagai sarana bermain. Bola gandu itu kemudian dikumpulkan di dekat patok atau tonggak kayu lalu ditancapkan sebelum permainan dimulai. Anak-anak, kemudian mengelilingi tonggak kayu dan gandu-gandu yang berada di tengah-tengah lingkaran itu.

Untuk memilih si pencari, para peserta melakukan jamprit atau sut. Si pencari kemudian menjaga gandu agar tidak diambil atau dicuri. Sebagai budaya masyarakat, permainan ini dapat memupuk rasa solideritas, kebersamaan serta mempererat rasa menyama braya, selain berfungsi sebagai hiburan bagi anak-anak di Desa Ole.

Ketua Sanggar Buratwangi, I Wayan Suprananda CP, mengatakan, permainan Megandu ini tumbuh dan berkembang di Banjar Dinas Ole hingga saat ini. Sempat pula tidur, namun atas inisiatif I Wayan Weda, seniman di desa itu menggali kembali pada 1983 dan dikenalkan kepada generasi muda hingga saat ini.

Baca Juga:  Raih Sertifikat KIK, Permainan “Megandu” Milik Desa Adat Ole

Megandu kemudian dimainkan dalam ajang PKB pada 1998, dipublikasikan dari salah satu TV Nasional sekitar tahun 2012. Pada tahun 2016, kembali dipentaskan dalam ajang PKB, dalam bentuk Tari Kreasi Baru.

Megandu kembali ditampilkan dalam ajang PKB ke-40 tahun 2018 oleh Sanggar Wintang Rarei dikolaborasikan dengan permainan silat, megender, megending dan cecimpedan. Awal tahun 2025, Megandu diangkat kedalam film pendek berjudul Tung Tung Uma oleh Magasiswa ISI Bali.

“Permainan Megandu juga telah meraih Sertifikat Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI) pada 2021, dan ditetapkan sebagai WBTB Indonesia pada tahun 2023,” ucapnya.

Setelah demonstrasi Permainan Megandu, kegiatan Jantra Tradisi Bali dilanjutukan dengan Pacentokan (Lomba) Olahraga Tradisional Hadang/Megala-gala yang diikuti oleh 9 kelompok merupakan perwakilan dari Dinas Kebudayaan kabupaten dan kota di Bali.

Baca Juga:  Menulis Aksara Bali di Ruang Public dengan “Pasang Jajar Palas”

Ni Made Wiyarsani mengatakan, peserta megala-gala merupakan anak-anak tingkat SMP yang umurnya sekitar 13 – 15 tahun. Hari ini, melakukan lomba mulai dari babak penyisihan hingga final.

“Para tahun lalu mengadakan lomba megala-gala tingkat putra dan putri, namun kali ini hanya tingkat putri saja. “Untuk lomba tajog dan deduplak kali ini dikuti peserta laki-laki, sehingga untuk lomba terompah dan megala-gala itu khusus perempuan, agar seimbang,” tutupnya. [B/puspa]

Related post