’The Brief History Of Dance’: Persembahan Teater Garasi Jogjakarta di Festival Seni Bali Jani 2025

 ’The Brief History Of Dance’: Persembahan Teater Garasi Jogjakarta di Festival Seni Bali Jani 2025

Teater Garasi Jogjakarta pentaskan ’The Brief History Of Dance’ di Festival Seni Bali Jani 2025/Foto: darma

NAMAKU Adi Gunawan. Namaku Don Rare. Aku Mas Ruscitadewi berasal dari Kesiman. Aku Putri Lestari dari Yogyakarta. Aku pernah bersekolah TK. Di desa aku tidak ada TK. Aku takut leak, meski tak tahu wajahnya. Di desaku tak pernah ada layar tancap. Aku biasa menari Bali.

Itulah beragam kalimat yang disampaikan oleh para pemain Teater Garasi, Jogjakarta dalam kolosal teater modern bertajuk ’The Brief History Of Dance’ di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya (Art Centre) Bali, dalam ajang Festival Seni Bali Jani (FSBJ) ke-7, Minggu 20 Juli 2025.

“Garapan ini berangkat dari cerita pribadi dan dari cerita biografi mereka, lalu dijajarkan. Sehingga, kalau dilihat dari segi pertunjukan memang menjadi tantangan terbesarnya adalah durasi pertunjukan yang panjang,” kata dramaturg pertunjukan, Ugoran Prasad, usai pementasan.

Sekitar 1,5 jam di atas panggung, mereka hanya mengolah ruang pentas yang berangkat dari cerita pribadi ataupun biografi mereka masing-masing. Sebanyak 6 pemain dengan latar belakang yang berbeda, tempat tinggal dan umur yang tidak sama.

Baca Juga:  Di Ajang PKB XLIII, Sanggar Atmanastuti Tampil Menawan

Namun, menghasilkan sebuah cerita yang terkadang sama, terkadang pula berbeda sebagai sebuah keragaman. Mula-mula memperkenalkan nama dan asal mereka, lalu pendidikan, masalah lingkungan juga kehidupan yang tidak sama antara satu daerah dengan daerah lain.

Meski garapan ini diwarnai dengan cerita-cerita, namun pada satu adegan tertentu, mereka bergerak merespon gemuruh musik dengan gesture tertentu. Menyiratkan pengalaman yang dialami di daerahnya masing-masing.

Ada yang menari, berteater, menyajikan olah tubuh dan pantomime, dipadukan dengan musik dan layar dengan berbagai gambar yang mencerminkan mereka memang hidup dalam keberagaman.

”The Brief History Of Dance biasanya minimal pertunjukan berdurasi 2 jam, tetapi untuk di Bali Jani ini dipadatkan menjadi sekitar 1,5 jam,” lanjut Ugoran Prasad menjelsakan.

Baca Juga:  Teater Kini Berseri Pentaskan ‘Les Tari’: Jaga Alam dengan Budaya Bali sebagai Senjata

Penampilan Teater Garasi, Jogjakarta ini bisa jadi memberikan warna baru terhadap seni perteateran di Pulau Dewata. Garasi Performance Institute yang tampil memeriahkan Festival Seni Bali Jani itu tak banyak menampilkan gerak ataupun olah tubuh.

Musik sebagai pendukung juga sangat minim. Semua pemain lebih banyak menyajikan cerita dan pengalaman mereka masing-masing melalui kata-kata.

”Ceritanya dari awal sangat detail, dan bentuknya memang begitu. Polanya, kadang-kadang beragam. Terkadang memiliki pengalaman sama, terkadang saling menjawab langsung berdasarkan kuesioner,” papar Ari Dwianto

Kolosal teater modern ini berkolaborasi bersama Mulawali Institute, Aghumi, Bali Muda Foundation, Bali Rare Paduraksa, JCorp, Komunitas Kahe, Komunitas Padunungan Art, Sanggar Lokananta, dan Yayasan Seni Pulau Cerita.

Baca Juga:  Fire Dance Disabilitas Meriahkan Konser Amal ‘Wake Up Ubud’

The Brief History Of Dance, sebelumnya dimainkan di Yogyakarta (2022) dan Maumere (2025), dengan dua komposisi aktor yang berbeda, kini khusus dibangun di Bali demi mencari kemungkinan sejarah kolektif melalui penelusuran sejarah ketubuhan dan pengalaman dari biografi individual yang jamak.

Garapan ini berangkat dari karya pertunjukan tunggal Ari Dwianto (2017-2018) sebagai formula untuk percobaan mencari ikatan-ikatan hubungan sosial lintas budaya dan generasi melalui pendekatan perbandingan sejarah minor (comparative minor history).

The Brief History Of Dance dibangun oleh biografi penampil-penampil yang tinggal dan bekerja di Bali serta melibatkan penampil dari TBHoD OpenLab Yogyakarta dan TBHoD Maumere. Kali ini melibatkan Adi Gunawan.

Ada Don Rare, Mas Ruscitadewi dan Kadek Eky Virji (Aktor/Performer Bali), Putri Lestari (Aktor/Performer Yogyakarta), Silvy Chipy (Aktor/Performer Maumere), Ugoran Prasad (Dramaturg), Wayan Sumahardika (Asisten Sutradara).

Baca Juga:  “Rupek” Ketika Kalanari Theatre Movement Yogyakarta Mengupas Situs Air Bali

Kolosal teater modern ini berkolaborasi bersama Mulawali Institute, Aghumi, Bali Muda Foundation, Bali Rare Paduraksa, JCorp, Komunitas Kahe, Komunitas Padunungan Art, Sanggar Lokananta, dan Yayasan Seni Pulau Cerita.

”Ceritanya dari awal sangat detail, dan bentuknya memang begitu. Polanya, kadang-kadang beragam. Terkadang memiliki pengalaman sama, terkadang saling menjawab langsung berdasarkan kuesioner,” papar Ari Dwianto.

Latar belakang para pemain ini memang berbeda. Bahkan, pemain-pemain yang memang asli Bali pun berbeda. Pemain yang berasal dari Desa Lembongan, ceritanya akan tidak sama dengan Desa Les serta berbeda pula dengan pemain yang dari Desa Kesiman.

Cara-cara seperti itu, digunakan untuk menggali narasi yang lebih bebas. “Karena ini berurusan dengan warga biasa yang dilakukan dengan cara menelusuri, maka kita lihat perbedaan dan terkadang juga persamaan. Misalnya cerita kemanusian, ada diantara perbedaan dan kesamaan,” ujar Ugo.

Baca Juga:  Lomba “Ngewacen Puisi Bali Anyar” Ajang Pengembangan Aksara, Bahasa dan Sastra Bali. Ni Putu Renaisan Andari Teja Juara I

Menurutnya, garapan ini membuka peluang untuk melihat kultur warga dengan cara yang berbeda-beda. Misalnya, kepercayaan-kepercayaan yang ragam, dan kayanya sejarah warga di setiap warga yang bisa dipelajari.

“Sumber-sumber pengetahuan yang ada ataupun sumber kebijakan dari cerita itu, kita bisa menyingkap landskap sosial, dan landskap politik yang berbeda-beda.” paparnya.

Ugo mengaku, dirinya dan teman-temannya belajar banyak dari proses garapan ini. Pengalaman ini kemudian ingin dibagikan kepada penonton. “Saya tidak tahu, apakah mereka mendapat sesuatu, tetapi kami mendapat banyak dari proses ini,” ungkapnya.

Misalnya saja, Bali yang ragam, Bali yang beda antara satu desa dengan desa yang lain. ”Padahal, Bali satu pulau yang dikenal memiliki kultur yang sama, tetapi kenyatannya ada perbedaannya,” pungkasnya. [B/darma]

Related post