Pakar Internasional Dibidang Digitalisasi Museum, Bahas Manfaatkan Teknologi di Museum Pasifika Bali

 Pakar Internasional Dibidang Digitalisasi Museum, Bahas Manfaatkan Teknologi di Museum Pasifika Bali

Foto pembicara Michal Teague, Susanne Erhards, Restorator lukisan Raden Saleh Dr. Emma Duester, Mrs. Dr. , dan Mr. Ondris Pui/Foto: dok. Megasepa Duade Bekagama

MUSEUM Pasifika Bali memanfaatkan teknologi digital untuk memastikan kelestarian koleksi sekaligus memperluas akses publik. Museum yang terletak di kawasan The Nusa Dua ini juga menjadi pusat pelaksanaan seminar dan lokakarya internasional terkait teknologi digital.

Seminar dan lokakarya internasional bertajuk “Cultural Heritage Digitization and Preservation: Adapt and Thrive in Cultural Digitization Environments” itu berlangsung pada 15–16 Agustus 2025.

Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi strategis dengan Shanghai Jiao Tong University (Tiongkok) dan RMIT University (Australia & Vietnam), serta bermitra dengan Jurusan Tata Kelola Seni FSRD ISI Yogyakarta.

Seminar menghadirkan pakar internasional dibidang digitalisasi museum, etika kecerdasan buatan, serta pelestarian warisan budaya, dengan peserta dari kalangan akademisi, profesional museum, seniman, hingga mahasiswa.

Baca Juga:  Anggis Devaki “Tutup Hati”

Seminar ini menghadirkan pembicara Dr. Emma Duester (Shanghai Jiao Tong University) – meneliti persinggungan antara seni, teknologi digital, dan ekosistem budaya kontemporer di Asia. Museum di Asia Tenggara masih sangat terbatas dalam menyediakan koleksi digital yang dapat diakses publik.

Menurutnya, upaya digitalisasi di Kamboja, Indonesia, Laos, dan Vietnam adalah langkah strategis agar warisan budaya dapat hadir di ruang daring dan menjangkau generasi muda serta audiens global.

Mrs. Michal Teague (RMIT Vietnam) menghadirkan perspektif kebijakan dan tata kelola digitalisasi dalam konteks Asia Tenggara. Ia menyoroti bagaimana keragaman budaya kawasan ini membutuhkan pendekatan khusus dalam mendigitalisasi koleksi, agar tidak terjadi homogenisasi nilai budaya.

Dr. Tammy Wong Hulbert (RMIT Australia) membahas keterhubungan antara seni, komunitas, dan teknologi digital. Baginya, museum perlu hadir sebagai ruang dialog yang inklusif, di mana masyarakat merasa memiliki dan ikut merawat warisan budaya, bukan sekadar menjadi penonton pasif dari pameran digital.

Baca Juga:  “Rajah Rasa” Pameran 17 Perupa di Teba Kangin Pemanis Art Space

Mr. Ondris Pui (RMIT University) memberikan pengalaman teknis praktis, terutama pemanfaatan teknologi pemindaian 3D melalui fotogrametri dan LiDAR. Peserta diperkenalkan cara sederhana men digitalisasi objek hanya dengan ponsel, lalu mengkonversinya ke format digital yang dapat digunakan untuk seni, arsitektur, maupun dokumentasi budaya.

Kehadiran empat narasumber ini memperlihatkan spektrum pandangan yang lengkap, mulai dari teori, kebijakan, praktik komunitas, hingga keterampilan teknis, yang semuanya penting dalam menjawab tantangan digitalisasi museum dan warisan budaya.

Dalam sesi pembukaannya, Dr. Emma Duester menyoroti urgensi akses publik terhadap koleksi digital.

“Digitalisasi adalah langkah penting agar warisan budaya dapat lebih mudah diakses secara online, sekaligus cara efektif untuk menjangkau audiens baru, khususnya generasi muda dan audiens internasional,” jelasnya.

Baca Juga:  Ini Single Terbaru Tjok Bagus

Lokakarya yang berlangsung dua hari ini pun dirancang dengan spektrum berlapis. Dari eksplorasi teknis seperti pemindaian 3D bersama Ondris Pui, hingga lokakarya digital storytelling dan kurator pameran virtual, peserta diajak memahami bagaimana teknologi digital bisa mendukung strategi pelestarian sekaligus memperluas pengalaman audiens.

Isu etika menjadi sorotan penting. Mikke Susanto, staf pengajar ISI Yogyakarta sekaligus keynote speaker, menekankan bahwa teknologi digital membawa tantangan baru bagi dunia museum.

“Ketika pengunjung memotret, merekam video, atau menganimasi karya di museum, muncul pertanyaan besar: siapa pemilik file digital itu? Apakah museum, seniman, atau individu yang merekam?” ujarnya.

Menurutnya, etika digitalisasi harus mencakup perspektif individu, institusi, hingga komunitas global. Indonesia perlu belajar dari Tiongkok, Vietnam, dan Australia dalam menyusun regulasi hak cipta agar praktik duplikasi, replikasi, dan distribusi karya seni di masa depan tidak menimbulkan konflik hukum.

Baca Juga:  Menggema di Bali, ‘Save Your Song’ Memukau Melalui Musik dan Edukasi

Selain sesi teknis, seminar juga menghadirkan Susanne Erhards, ahli restorasi asal Jerman yang pernah menangani karya Raden Saleh. Ia berbagi pengalaman mengenai tantangan konservasi karya klasik di tengah perubahan iklim dan perkembangan teknologi.

Peserta juga mengikuti tur koleksi Museum Pasifika yang dipandu Megasepa Duade Bekagema, pakar digital marketing museum. Dengan pendekatan naratif, ia menguraikan kisah di balik karya-karya penting, mulai dari lukisan Raden Saleh hingga cerita persahabatan Presiden Sukarno dengan Basuki Abdullah.

Dalam sambutannya, Laksmi, Direktur Museum Pasifika, menegaskan bahwa digitalisasi adalah medium penting untuk menghidupkan kembali kesadaran tentang keberagaman warisan Asia-Pasifik.

Pandangan ini diperkuat oleh I Made Marlowe Makaradhwaja Bandem, penggagas Arsip Bali 1928. Menurutnya, dunia digital kini digerakkan oleh “data, dominasi, dan disrupsi”, sehingga digitalisasi budaya di Bali harus lebih dari sekadar memindahkan bentuk visual. Ia menekankan perlunya menjaga roh pengetahuan, nilai, dan praktik budaya yang hidup.

Baca Juga:  Rayakan HUT ke-28, XL Axiata Beri Diskon Menarik dan Kejutan Spesial untuk Pelanggan Setia

Sementara itu, I Gede Made Surya Darma—penulis, perupa, sekaligus founder Lepud Art Management—menekankan pentingnya pendekatan kritis dalam membaca transformasi budaya digital. Baginya, museum adalah arena pertarungan narasi, tempat tradisi, modernitas, dan teknolog membentuk wajah baru identitas kultural.

Lebih dari dua dekade hadir sebagai rumah bagi koleksi seni Asia-Pasifik terbesar di kawasan, Museum Pasifika kini menegaskan perannya bukan hanya sebagai destinasi wisata budaya, melainkan juga sebagai laboratorium digitalisasi warisan budaya dunia.

Kehadiran akademisi, kurator, praktisi teknologi, seniman, dan komunitas budaya dalam seminar internasional ini memperlihatkan satu hal penting: teknologi digital bukanlah ancaman.

Ia adalah medium baru untuk memperluas jangkauan budaya, membuka akses yang lebih inklusif bagi generasi muda, serta menciptakan interaksi yang lebih dinamis antara publik dengan nilai-nilai warisan budaya. [B/surya]

Related post