Ekspresi Agraris Seniman Tabanan

WILD karya Nyoman Wijaya/Foto: dok. Maha Rupa Batukaru
DI jantung lumbung padi Bali, gema kreativitas seniman Tabanan meletup dalam pameran seni rupa bertajuk Aneka Warna Gaya di Kota Pelangi. Momentum ini bukan sekadar pameran, melainkan ruang komunikasi imersif di mana para seniman menyambut Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Fadli Zon, dengan bahasa yang paling mereka kuasai, yakni seni rupa.
Pameran yang digelar oleh komunitas Maha Rupa Batu Karu ini berlangsung sehari, pada 5 Agustus 2025, menghadirkan karya dari 30 seniman lintas generasi. Dari jumlah tersebut, sejumlah perupa secara khusus merespons tema agraris, menampilkan karya-karya yang menggugah kesadaran tentang ketahanan pangan, keberlanjutan tanah, serta keterhubungan spiritual antara manusia dan alam.
Sejak langkah pertama Menteri memasuki ruang pamer, aroma cat minyak dan akrilik berpadu dengan nuansa tanah basah, sementara cahaya lembut memantulkan bayangan pada kanvas. Suasana itu menjadikan setiap karya seolah berbicara: menyapa, mengingatkan, sekaligus menggugah. Tabanan yang dikenal sebagai lumbung padi Bali menampilkan dirinya melalui karya-karya yang menyoroti isu agraris, ketahanan pangan, dan harapan akan keberlanjutan tanah serta budaya.
Karya yang Menghidupkan Lumbung Padi
Lukisan “Padi Jatiluwih” karya I Made Subrata menghidupkan hamparan sawah berundak yang bergoyang diterpa cahaya. Pada beberapa bagian, tampak burung kuntul beterbangan bebas, menandakan ekosistem yang hidup dan harmoni—sebuah pengingat bahwa hasil agraria bukan hanya dinikmati manusia, tetapi juga menopang keberlangsungan seluruh makhluk dalam lingkungannya.
“Harvest” karya I Made Gunawan menghadirkan ikatan padi raksasa dengan detail yang nyaris dapat disentuh. Di sekeliling ikatan padi itu tergambar manusia-manusia kecil, seakan larut dan bergantung pada ikatan tersebut. Lukisan ini menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya menjaga pangan, serta bahaya alih fungsi lahan yang mengancam keberlangsungan hidup manusia. Padi menjadi simbol sumber kehidupan, sementara tanah dipandang sebagai pusaka yang tak tergantikan—warisan leluhur yang mesti dijaga untuk masa depan.

Dalam “Subak”, I Ketut Mastrum menangkap ketegangan antara harmoni alam dan ancaman alih fungsi lahan. Burung-burung di atas pematang menjadi simbol kebebasan sekaligus kerentanan. Sementara I Wayan Naya Swantha melalui “Tekstur Tumbukan” menorehkan luka tanah akibat tekanan beton dan buldoser, sebuah kritik visual terhadap perubahan yang menggerus lahan pertanian.
Nyoman Wijaya menghadirkan “Wild”, lukisan yang menampilkan sapi Bali sebagai sahabat abadi petani dalam mengolah sawah. Di tengah derasnya penggunaan alat modern, karya ini menyuarakan kerinduan akan sentuhan alami dalam budaya agraris. Sapi Bali di sini menjadi simbol keliaran yang justru menyatukan manusia dengan alam—ekspresi liar namun tulus dari kehidupan pedesaan yang semakin jarang tersentuh.
Spiritualitas dan Filsafat Agraris
Dimensi spiritual hadir dalam “The Last Paradise” karya I Wayan Santrayana. Tarian lingga-yoni sebagai simbol kesuburan dipayungi cahaya hangat, mengajak pengunjung merenungi keterhubungan sakral antara manusia dan alam.
Ni Luh Gede Firda Yani melalui “My Self” melukis potret dirinya dalam lanskap agraris. Bukan semata representasi personal, karya ini menjelma simbol keterhubungan manusia dengan tanah tempat berpijak. Filosofi “Aku adalah kamu, kamu adalah aku” bergema kuat di kanvasnya, menegaskan kesatuan manusia dan bumi.
Energi transformasi hadir lewat “Triangle of Brahma” karya I Kadek Dedy Sumantrayasa. Api merah berkobar menjadi metafora proses padi yang berubah menjadi nasi, sumber energi kehidupan. Bentuk segitiga dipilih sebagai lambang stabilitas, keseimbangan, sekaligus arah kemajuan.
Astikayasa, pelukis sekaligus petani, menampilkan “Spirit Harmony”: guratan menyerupai sisa pembakaran jerami yang tertiup angin, menandakan akhir siklus panen dan rekonsiliasi manusia dengan alam. Sementara Made Gama dalam “Wanita Bali” menegaskan peran vital perempuan dalam budaya agraris. Wajah tegar yang ia lukiskan mencerminkan ketangguhan dan kesetiaan perempuan Bali menjaga bumi dan tradisi.
Tak kalah penting, Dr. I Nengah Wirakesuma menampilkan karya berjudul “Earth Mandala”. Dalam lukisan ini, ia meramu simbol kosmologi Bali dengan lanskap agraris Tabanan. Pola mandala tanah dipenuhi warna-warna bumi, padi, dan air, menyiratkan keseimbangan unsur semesta yang menopang kehidupan.
Pusaran garis dan warna menghadirkan doa visual agar bumi tetap subur dan lestari, sekaligus menegaskan bahwa tanah bukan sekadar ruang pijakan, melainkan pusat energi yang menyatukan manusia, alam, dan kosmos. Karya ini menjadi jembatan antara filosofi spiritual dan realitas agraris, mengajak penonton merenungkan keterhubungan sakral antara manusia dengan bumi yang menumbuhkan kehidupan.
Seni Rupa sebagai Dialog dan Doa
Lebih dari sekadar estetika, setiap karya dalam pameran ini menjelma doa, kritik, sekaligus harapan kolektif. Warna, tekstur, cahaya, dan simbol-simbol agraris berpadu, menuturkan kisah tentang tanah, budaya, dan masa depan.
Warisan yang Harus Dijaga
Pameran Aneka Warna Gaya di Kota Pelangi menegaskan bahwa seni rupa Tabanan bukan hanya soal keindahan visual, melainkan refleksi mendalam tentang tanah, pangan, dan identitas budaya. Kehadiran Menteri Kebudayaan memberi semangat baru bahwa suara seniman dapat bergema lebih luas, sekaligus menjadi bagian dari arah pembangunan kebudayaan nasional.
Di penghujung kunjungan, yang tertinggal bukan hanya apresiasi, melainkan kesadaran kolektif: bahwa Tabanan sebagai lumbung padi Bali adalah warisan yang harus dijaga bersama. Melalui seni rupa, para seniman menegaskan peran mereka sebagai penjaga alam, budaya, dan spiritualitas masyarakat. [B/ I Gede Made Surya Darma]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali