ISI Bali Ajak Masyarakat Jatiluwih Punya Produk Cenderamata Sendiri
Prodi Despro ISI Bali melaksanakan pengabdian kepada Masyarakat (PKM) di Desa Jatiluwih Agustus 2025/Foto: dok. ISI Bali
SIAPA sih yang tidak mengtahui Jatiluwih? Desa yang terketak di Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan – Bali merupakan desa wisata yang menawarkan panorama indah terkenal dengan sawah berundak. Daya Tarik Wisata (DTW) ini menjadi favorit wisatawan mancanegara.
Desa dengan udara yang segar itu mampu membuat orang damai. Satu hari, kabut tipis turun pelan di pagi hari di desa masih asri itu. Udara lembap dari hamparan sawah berteras mengantar aroma tanah basah dan dedaunan tambah yang baru jatuh.
Beberapa perempuan desa tampak menata helai daun jati, alpukat, dan kersen di atas bentangan kain putih di sebuah bale banjar. Tok-tok-tok…., suara palu kecil dengan ritme lembut. Itulah suara baru dari desa warisan dunia yang kini menemukan denyut baru dalam seni botanical print.
Itulah aktivitas dosen dan mahasiswa Program Studi Desain Produk (Despro) Institut Seni Indonesia (ISI) Bali saat melaksanakan Program Pengabdian kepada Masyarakat (PKM), sejak Agustus 2025.
PKM kali ini mengangkat tema “Pembinaan dan Pengembangan Desain Produk Cenderamata sebagai Penguatan Identitas DTW Jatiluwih, Tabanan, Bali”. Mereka melakukan kegiatan selama satu setengah bulan, mereka bekerja bersama warga.
Program ini dipimpin oleh Dr. I Ketut Sida Arsa, M.Si., S.Sn., bersama para dosen—Ir. Mercu Mahadi, MT., Dra. Ni Kadek Karuni, M.Sn., Ni Made Santi Udiyani, S.Ds., M.Ds., dan I Gede Eka Yasa Utama Wibawa, S.T., M.Ds.
Kegiatannya itu, memperkenalkan teknik pewarnaan alami dari daun dan bunga lokal yang disebut botanical print seni cetak ramah lingkungan. “Kegiatan ini bertujuan untuk mengubah potensi alam sekitar menjadi karya kriya bernilai ekonomi dan budaya,” kata Dr. Sida Arsa.

Melalui PKM ini, tim program ini ingin masyarakat Jatiluwih punya produk cenderamata yang lahir dari tanah mereka sendiri, dari daun-daun yang tumbuh di sini.
“Bukan hanya cantik secara visual, tapi juga mencerminkan keseimbangan manusia, alam, dan spiritualitas seperti nilai dalam sistem Subak,” sebutnya.
Kegiatan ini dengan delapan sesi pelatihan berjenjang, mulai dari pengenalan material, teknik mordanting, pounding, hingga kukus dan fiksasi para peserta menghasilkan selendang, udeng, dan sapu tangan dengan motif daun jati, paku, dan manggis.
Warna-warna lembut tanah berpadu dengan guratan alami daun, menghadirkan pesona yang otentik dan tak bisa disalin pabrik.
“Kegiatan ini merupakan bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang setiap tahun dijalankan ISI Bali melalui program pengabdian sesuai bidang keahliannya mulai dari seni pertunjukan hingga desain kriya,” papar Dr. Sida Arsa.
Desain Produk memilih Jatiluwih karena kekayaan lanskap dan statusnya sebagai Warisan Dunia UNESCO, sekaligus sebagai ruang hidup komunitas Subak yang memegang teguh nilai keseimbangan antara manusia dan alam.
Dr. Drs. I Wayan Suardana, M.Sn., mantan Ketua LP2MPP ISI Bali, menyebut program ini contoh nyata bagaimana seni dapat hadir sebagai solusi sosial.
“Seni dan desain bukan hanya untuk estetika. Ia bisa menggerakkan ekonomi kreatif dan memperkuat identitas budaya masyarakat,” ujarnya saat meninjau kegiatan.
Puncak kegiatan tersebut berlangsung pada Minggu, 19 Oktober 2025 di area DTW Jatiluwih, di mana karya peserta dipamerkan bersamaan dengan presentasi proses dan video dokumentasi.
Warga, pengelola DTW, dan wisatawan yang hadir tampak antusias melihat hasil karya yang tak hanya indah, tapi juga berakar pada kearifan lokal.
Melalui kegiatan ini, ISI Bali berencana membantu membentuk Unit Produksi Kriya DTW Jatiluwih (UPK-DTW) sebuah wadah kecil yang akan mengelola produksi suvenir botanical print dan pelatihan lanjutan bagi kader lokal.
“Tujuannya sederhana namun bermakna, yakni agar suara palu kecil di bale banjar itu terus berbunyi, dan agar warna-warna daun Jatiluwih menjadi bagian dari kisah pariwisata Bali yang berkelanjutan,” jelas Dr. Suardana.
Sebuah Harmoni Baru
Kini, di antara gemericik air subak dan hijaunya terasering sawah, Jatiluwih tak hanya dikenal karena pemandangan indahnya, tetapi juga karena tangan-tangan kreatif warganya yang menanamkan warna dan kehidupan baru pada selembar kain.
Botanical print bukan sekadar teknik pewarnaan; ia menjadi simbol harmoni antara seni, budaya, dan alam antara akademisi dan masyarakat, antara tradisi dan masa depan.
Dari daun-daun yang direbus dan dipukul lembut itu, Jatiluwih menemukan kembali jati dirinya: sederhana, alami, dan sarat makna. [B/ I Gede Made Surya Darma]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali