‘Paradiso’ di Museum ARMA Ubud: Kegelisahan Enam Perupa Sadrasa Terhadap ‘Surga’
Pameran ‘Paradiso’ dari enam perupa Sadrasa di Museum ARMA Ubud/Foto: darma
MULAI hari ini, Sabtu 6 Desember 2025, Museum Agung Rai (ARMA) Ubud memajang karya-karya perupa Bali yang tergabung dalam Sadrasa. Setelah memasuki area lobby, lebih dari 20 karya seni di atas kanvas itu terasa mengajak kita berenung bagaimana Bali kini.
Pameran bertajuk “Paradiso” itu menampilkan berbagai objek yang tidak biasanya, namun masih kuat dengan nuansa tradisinya. Para perupa tampaknya lebih mengutamakan kebebasan dalam berkreativitas, tanpa terbelenggu pada salah satu aliran yang ada.
Meski bentuk dan objek yang disajikan berbeda, tetapi karya-karaya itu seakan menyampaikan pesan yang sama, yaitu lahir dari kegelisahan. Endapan kegelisahan itu dipandang perlu diketengahkan demi untuk berbagi dan menggugah perenungan menuju yang terbaik.
Para seniman berbakat ini mengusung konsep – ide visual yang sangat menarik dengan menghadirkan keaneka ragaman rasa tetapi mempunyai kesetaraan dan visi misi yang sama dari 6 teman – teman seniman ini. Seperti arti dari kata Sadrasa itu sendiri.
Keenam perupa Sad Rasa itu terdiri dari I Made Gunawan, I Wayan Santrayana, I Ketut Suasana Kabul, I Made Sutarjaya, I Ketut Suwidiarta dan I Wayan Gede Budayana. Mereka lebih banyak membawa medium Bali, tetapi menyampaikan secara global.

Semua ide-ide itu lahir dari pengamatan mereka yang melihat pergeseran surga, sehingga perlu berkontemplasi, melakukan perenungan untuk melihat Bali sebagai sudat terakhir melalui karya seni.
“Pameran Paradiso ini lahir dari proses panjang—bermula dari mengenal karya para seniman, berdiskusi, hingga membaca realitas kekinian Bali yang terys tergerus,” kata Direktur Museum ARMA, Agung Gede Yudi Sadona saat konferensi pers di Arma Ubud, Jumat 5 Desember 2025.
Pada saat itu, karya seni para perupa sudah dipasang dengan rapi di dinding area lobby Arma, namun belum lengkap dengan label karya seni atau keterangan karya mereka. Seluruh karya seni tampak indah dan menginspirasi. Namun, karya-karya itu berbicara lantang.
Semua perupa itu menyuarakan kegelisahan terhadap pergeseran citra Bali sebagai “Pulau Surga” yang kini dinilai kian memudar. Pesannya hampir sama, namun masing-masing perupa menampilkan bentuk dan objek yang berbeda-beda.
Kurator, Ari Suhaja mengungkapkan, perjalanan seniman Sad Rasa ini adalah proses “terlahir dua kali”—melalui pendidikan seni dan penempatan diri dalam sejarah. Karena itu, karya-karya itu tidak lagi sekadar memproduksi keindahan, melainkan membongkar realitas yang selama ini disembunyikan di balik citra Bali sebagai surga.
“Memaknai “Paradiso” bukan dari khazanah Bali, melainkan dari paradigma lama abad ke-18—tentang surga dan neraka berlapis, tentang dunia bawah dan atas sebagai tujuan manusia. Namun dalam konteks kini, tema itu justru memantulkan keadaan Bali yang menurutnya compang-camping,” paparnya.
I Ketut Sudiarta menampilkan tiga karya yang menonjolkan symbol-simbol yang bisa diartikan atau ditapsirkan secara bebas. Karya dengan nuansa hitam itu lebih banyak memberikan ruang tapsir kepada penikmat.
Karyanya itu lebih pada merefleksikan situasi Bali hari ini lewat simbol-simbol multitafsir. “Tema surga muncul dari hasil diskusi dengan kurator dan menjadi cara membaca fenomena Bali dalam perspektif seniman,” ucapnya.
Wayan Santrayana menampilkan tiga karya bertema pornografi. Senggama itu adalah surga yang diberikan sesaat atau beberapa menit. Senggama sebagai “surga sesaat” bagi manusia. Namun, sekarang terjadi pergeseran nilai dari unsur “ang–ah” yang sebelumnya disucikan, kini tereduksi menjadi sekadar bahasa tubuh.
Simbol “surga di telapak kaki ibu” kini semakin diremehkan, menggambarkan Bali yang lelah oleh eksploitasi. “Senggama itu suci, namun sekarang melenceng. Itu dilakukan untuk kreasi bukan regenerasi,” sebutnya.
Perupa Kabul dalam karyanya mengangkat imajinasi dari lebah, binatang munggil, tetapi menarik. Lebah satu-satunya memikiki perbedaan dari jutaan binatang, yakni meliki madu dan racun yang kalau disimbolkan dalam kehidupan maka tidak akan terlepas dari plus dan minus.
Perbedan itu memang harus ada agar tercipta harmonis. “Lebah sebagai metafora Bali—makhluk kecil yang membawa madu sekaligus racun. Dualitas ini, mencerminkan kondisi Bali dan dunia yang dipenuhi campur tangan manusia berlebihan hingga menimbulkan ketimpangan,” sebutnya.
I Made Gunawan dalam karyanya kali ini lebih pada membawa tema alam dan keharmonisan. Lewat karyanya itu, seakan menegaskan, kerusakan lingkungan yang terus terjadi menunjukkan ketidakmampuan manusia menjaga Bali.
Dalam karyanya itu, menegaskan bahwa alam itu mestinya tetap dijaga agar menjadi harmoni. Namun, tipu daya pada alam yang sering terjadi, mengakibatkan hancurnya Bali sebagai pulau surga.
Budayana menyajikan karya yang lebih memilih pada pendekatan penuh warna untuk menggambarkan sisi gelap Bali. Surga yang dijual selama ini sedang tidak baik-baik saja. Kondisi itu makin diperburuk oleh kerusakan alam dan dinamika sosial yang tidak menemukan solusi.
“Kami berharap pameran ini untuk mengingatkan, bahwa di balik baliho pariwisata yang megah, ada kegelisahan yang tak lagi bisa ditutup-tutupi,” ungkapnya.
Sutarjaya menghadirkan karya seni lebih mangangkat objek penari Bali dalam berbagai pose. Karya itu lahir dari inspirasi masa kecil, khususnya tarian Bali yang dulu dikagumi namun kini dianggap tak lagi menarik bagi generasi muda.
“Melalui goresan spontan ini, saya mencoba merekam keanggunan penari yang kini sinarnya mulai redup,” bebernya.
Dalam goresnnya itu, Sutarjaya menggmbarkan penari yang dibuat menarik secara visual. Karena penari itu menampilkan gerak penari yang lebih terlihat. Geraknya gemulai dan bergerak sangat luwes.
Tari Bali itu sesungguhnya terkait dengan alam, karena konsep tari di Bali lebih banyak terinspirasi dari alam. “Dalam karya ini, saya bawakan Tari Oleg yang sudah dikombinasi, sehingga ada awan, bunga dan simbol matahari,” ucapnya [B/darma]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali