Drama Gong Modern ‘Sri Tanjung’ Beber Kisah Legenda Daerah Banyuwangi di Bali Utara

 Drama Gong Modern ‘Sri Tanjung’ Beber Kisah Legenda Daerah Banyuwangi di Bali Utara

Drama Gong Modern ‘Sri Tanjung’ angkat Legenda Daerah Banyuwangi/Foto: ist

Malam itu, Panggung Terbuka Singa Ambara Raja, Taman Bung Karno, Singaraja memang lebih ramai dari hari-hari sebelumnya. Panggung yang memang disiapkan untuk pementasan kolosal itu penuh dengan pecinta seni, khususnya pecinta seni pertunjukan, Selasa 17 September 2024.

Maklum, malam itu ada pementasan drama gong dengan konsep modern yang digarap secara inovatif dan dikemas dengan durasi 30 menit yang menarik. Drama ini melibatkan sedikit pemain, diiringi musik digital yang mampu membuat pengunjung terpesona.

Struktur pertunjukan dikemas ringan, namun penuh pesan moral. Para pemain menggunakan dialog Bahasa Indonesia dan memadukan unsur teknologi, sehingga penonton dengan mudah memahami kisah ataupun pesan yang disampaikan dalam setiap adegan.

Drama Gong Modern yang dimulai pukul 19.00 Wita itu mengangkat kisah legenda nama daerah Banyuwangi. Drama ini merupakan pementasan rekacipta karya Penelitian, Penciptaan, Diseminasi, Seni – Desain (P2DSD) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.

Baca Juga:  PKB XLVI Ditarget Pengunjung 1.8 Juta, Sekaa Kesenian Wajib Tandatangai Pakta Integritas Sampah

Sebagai pengkarya yaitu Ni Wayan Suratni, S.Sn., M.Sn (Penulis Naskah & Sutradara), Ni Wayan Iriani, SST., M.Si (Penata Rias dan Busana) dan Made Ayu Desiari,SSn., M.Sn. (Penata Gerak). Pendukung : I Wayan Agun Adi Putra (Musik Aranger).

Sebagai mahasiwa pendamping, Dewa Gede Satya Adi Maha Utamia dan Kadek Esy Lionita. Lalu, sebagai MITRA adalah Komunitas Seni Manduka Asrama Banjar Tegalbingin, Desa Mas Ubud, Kabupaten Gianyar.

“Pementasan Drama Gong Modern ‘Sri Tanjung’ ini dibiayai oleh Lembaga Penelitian Pengabdian Kepada Masyarakat dan Pengembangan Pendidikan ISI Denpasar,” kata pengkarya Ni Wayan Suratni.

Drama Gong Modern ‘Sri Tanjung’ angkat Legenda Daerah Banyuwangi/Foto: ist

Drama Gong Sri Tanjung ini mengisahkan, dahulu kala, hiduplah seorang raja bernama Prabu Sulahkromo yang memerintah di Kerajaan Blambangan. Ia memiliki seorang istri yang sangat cantik bernama Sri Tanjung. Kecantikan dan kesetiaan Sri Tanjung membuat Prabu Sulahkromo sangat mencintainya.

Baca Juga:  Tiga Mahasiswa ISI Denpasar Pamerkan 31 Karya Seni di Maha Art Gallery

Namun, kebahagiaan mereka terganggu oleh kelicikan seorang patih (perdana menteri) yang iri dan menginginkan Sri Tanjung. Patih tersebut menyusun rencana jahat untuk memisahkan mereka. Ia memfitnah Sri Tanjung dengan mengatakan kepada Prabu Sulahkromo bahwa Sri Tanjung tidak setia dan telah berselingkuh.

Prabu Sulahkromo yang termakan oleh hasutan patihnya menjadi sangat marah dan merasa dikhianati. Tanpa memberikan kesempatan kepada Sri Tanjung untuk membela diri, ia memutuskan untuk menghukum mati istrinya.

Sebelum dijatuhkan hukuman mati, Sri Tanjung bersumpah bahwa dirinya tidak bersalah dan meminta Prabu Sulahkromo untuk membuang tubuhnya ke sungai setelah ia mati. Sri Tanjung berkata bahwa jika air sungai itu menjadi harum, itu akan membuktikan bahwa ia tidak bersalah.

Setelah Sri Tanjung dibunuh dan tubuhnya dibuang ke sungai, terjadi keajaiban. Air sungai yang semula keruh tiba-tiba menjadi jernih dan memancarkan aroma harum. Prabu Sulahkromo sangat menyesal dan sadar bahwa Sri Tanjung tidak bersalah.

Baca Juga:  Catatan Kecil Perjalan | Bakti Wiyasa dari situs ke situs kuno di Bali

Ia menyesali perbuatannya dan menamakannya Banyuwangi, yang berarti “air yang harum” (dari bahasa Jawa: “Banyu” berarti air dan “Wangi” berarti harum). “Melalui pementasan drama ini, kami ingin mengungkap asala mula nama daerah Banyuwangi itu,” jelas dosen seni pertunjukan ISI Denpasar itu.

Foto bersama pendukung Drama Gong Modern ‘Sri Tanjung’/Foto: ist

Menurut Suratni, Legenda Banyuwangi mengandung beberapa pesan moral yang bisa dijadikan sesuluh hidup. Yakni, kesetiaan dan kebenaran (Sri Tanjung tetap setia dan jujur meskipun difitnah), keadilan (kebenaran terungkap meskipun terlambat), penyesalan (Prabu Sulahkromo mengalami penyesalan setelah menyadari kesalahannya).

“Cerita asal-asul nama Banyuwangi ini mengajarkan nilai-nilai moral tentang kesetiaan, kebenaran, kejujuran, dan pentingnya untuk tidak mudah percaya pada fitnah tanpa bukti,” ungkap pemain drama gong tradisi Bali ini.

Legenda tersebut telah menjadi bagian integral dari budaya dan tradisi lisan masyarakat Banyuwangi dan sering dicerita-ulangkan dalam berbagai bentuk seni dan pertunjukan.

Baca Juga:  Bleganjur Kuno, Kini dan Nanti Catatan Lomba Bleganjur Ngarap dalam Kasanga Festival

Drama Gong Sri Tanjung ini didukung oleh I Gusti Ngurah Agung Darma Antara (Prabu Sulakromo), Anak Agung Istri Shanti Laksemi Pemayun (Sri Tanjung), I Gusti Ngurah Aguntio (Patih Sidopekso), I Dewa Gede Oka Bisma (Abdi Patih).

Ada I Ketut Gede Adi Saputra (Abdi Patih), I Komang Arthana Nugraha (Dayang Sri Tanjung), I Wayan Gede Aditya Pratita (Abdi Prabu Sulakromo), dan I Kadek Braban Sunarta (Abdi Prabu Sulakromo).

Penari putra putri berperan sebagai penari air dan bunga yang melambangkan keajaiban air sungai yang berbau harum saat mayat Sri Tanjung dibuang ke sungai. Dalam penyajiannya, drama ini dibagi menjadi empat babak.

Babak 1. Kebahagian Prabu Sulahkromo dengan Sri Tanjung

Setting: Karang Kaputren, Suasana: Bahagia, Romantis, Audio: Musik romantis menyesuaikan, Lagu-lagu.

Adegan:

Sri Tanjung diiringi oleh dayang, bercengkrama di halaman karang kaputren.

Prabu Sulahkromo dan para Punakawan mendatangi Sri Tanjung.

Punakawan dan Dayang saling berpantun ( humor ).

Prabu Sulahkromo menyayangi Sri Tanjung penuh cinta kasih.

Sri Tanjung minta ijin untuk pergi ke taman kerajaan bersama dayangnya .

Prabu Sulahkromo mengijinkan Sri Tanjung dan meninggalkannya kembali ke istana kerajaan.

Baca Juga:  Wisatawan Belajar Mendalang, Wayang Sebagai Pedoman Hidup dan Kaya Falsafah

Babak 2. Ketertarikan Patih Sidopekso kepada Sri Tanjung.

Setting: karang Kepatihan, Suasana: Humor, kasmaran, menegangkan, Audio: musik menyesuaiakan suasana

Adegan:

punakawan Cengar dan Cengir sedang ngobrol tentang loyalitas dari Patih Sidopekso.

Patih Sidopekso datang dengan raut wajah yang sangat bahagia.

Punakawan menanyakan suasana hati Patih Sidopekso

Patih Sidopekso menyampaikan keinginan memiliki Sri tanjung istri dari Prabu Sulahkromo.

Punakawan memberi masukan agar Patih Sidopekso mengurungkan niat memiliki Sri Tanjung.

Patih Sidopekso murka. Namun, akan memberikan hadiah yang fantastik kepada para punakawan, jika keinginanya didukung dan menuruti perintahnya.

Punakawan sanggup dan senang hati.

Patih Sidopekso mengajak para punakawan dan meminta agar berjaga-jaga saat merayu Sri Tanjung di taman Kerajaan, agar Prabu tidak mengetahuinya.

Punakawan siap melaksanakan tugas.

Sri Tanjung bersama dayang sedang menikmati kehindahan taman kerajaan.

Patih Sidopekso medatangai Sri Tanjung dan merayu agar mau menjadi miliknya.

Para Punakawan merayu dayang sembari mengawasi kiranya ada yang datang ( humor)

Sri Tanjung menolak keinginan patih Sidopekso, karena sudah menjadi istri prabu Sulahkromo, dan mengusirnya untuk segera pergi dari taman kerajaan.

Sidopekso hampir memaksa Sri Tanjung, namun ia mengurungkan niatnya dan pergi dengan kekecewaan, diiringi oleh para punakawan.

Sri Tanjung merasa takut, lalu mengajak Dayang untuk bersembunyi.

Baca Juga:  Denny Chrisna; Raih Nominasi Emmy Awards, Inpirasi Para Sineas Muda di Bali

Babak 3. Fitnahan Patih Sidopekso kepada Sri tanjung.

Setting: Pendopo Kerajaan, Suasana: Menegangkan, Audio: Tegang.

Adegan:

Prabu Sulahkromo menerima kedatangan Patih Sidopekso.

Patih Sidopekso melaporkan bahwa Istrinya Sri Tanjung sudah tiadak setia dan berselingkuh.

Prabu Sulahkromo termakan hasutan patih Sidopekso, seketika naik fitam, geram, segera beranjak pergi menemui Sri Tanjung.

Patih Sidopeksa merasa senang melihat parabu Sulahkromo dapat dihasut, sebagai pelampiasan rasa dendamnya kepada Sri Tanjung akibat dari penolakan keinginanya untuk memiliki Sri Tanjung.

Patih Sidopekso meninggalakan istana.

Baca Juga:  Bendesa Adat Kunci Awal Pengembangan Bahasa Bali di Masyarakat

Babak 4. Penyesalan prabu Sulahkromo.

Setting: Taman kerajaan, Suasana: Tegang dan menyedihkan, Audio: Menyesuaikan adegan’

Adegan:

Prabu Sulahkromo memanggil – manggil Sri Tanjung dengan amarah yang membara.

Sri Tanjung dengan senang hati merasa tenang karena sang parabu datang memangilnya, ia berharap bahwa Sang parabu akan melindunginya dari Patih Sidopekso, Ia pun keluar dari persembunyianya lalu memeluk erat Sang pabu.

Prabu Sulahkromo seketika mendorong Sri tanjkung hingga jatuh ke tanah, serta menudingnya dengan tuduhan bahwa dirinya telah berselingkuh.

Sri tankjung merasa kaget dan seketika harapanya diselamatkan oleh Sang prabu sirna begitu saja, Sri tanjungpun menyampaikan kebenaranya bahwa Ia tadak bersalah seperti tuduhan dari Sang Prabu.

Prabu Sulahkromo tidak percaya dengan perkataan Sri Tanjung, dan Ian semakin geram ingin mau membunuh Sri Tanjung.

Sri Tanjung menahan tindakan Sang Prabu yang hendak membunuhnya, Iapun merasa kecewa karena Sang Prabu sudah tidak memprcayainya.

Sri Tanjung berpesan kepada Sang Prabu, ketika ia mati, agar sang Prabu membuang mayatnya ke dalam kali atau sungai, untuk membuktikan kebenaran yang terjadi, namun ketika air sungai tersebut jernih dan menebarkan bau harum, itu berarti Sri Tanjung tidak bersalah.

Prabu Sulahkromo membunuh Sri Tanjung, dan membuang mayatnya ke dalam sungai.

Keajaiban terjadi, seketika air sungai menjadi jernih dan menebarkan bau harum.

Penari air dan bunga menari.

Prabu Sulahkromo menyesali perbuatanya kepada Sri Tanjung dan ia menyesal bhwa Sri tanjung tidak bersalah.

Sebagai pengakuan kesalahannya kepada Sri Tanjung, Prabu Sulahkromo mulai saat itu memberikan nama daerah tersebut dengan nama “ Banyuwangi”. [B/darma]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post