Resonance of Change: Film Dokumenter Karya Putu Arya Dhamma Nanda Lahir dari Pengalaman Pribadi

 Resonance of Change: Film Dokumenter Karya Putu Arya Dhamma Nanda Lahir dari Pengalaman Pribadi

Jonathan Bailey pendiri Narwastu Community tokoh utama film Resonance of Change /Foto: ist

Jangan anggap biasa tayangan Film Dokumenter “Resonance of Change” pada acara Layar Tugas Akhir (LATAR) #1 X Sinema 21 yang diselenggarakan oleh Program Studi Produksi Film dan Televisi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar pada Jumat, 17 Januari 2025.

Film berdurasi sekitar 10 menit itu lahir dari pengalaman pribadi sang sutradara dalam menghadapi tantangan adaptasi sosial, sekaligus menjawab perubahan-perubahan sikap yang terjadi di masyarakat belakangan ini.

Film yang ditayangkan di Gedung Citta Kelangen Lt. 3 Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu menjadi sebuah edukasi karena mengangkat perubahan sikap sebelum dan sesudah adaptasi, dan menyentuh aspek budaya, sosial, dan emosional menjadi bagian perjalanan manusia.

“Resonance of Change ini digarap sebagai bagian dari Program Magang Proyek Independen Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), dan menjadi sarana pembelajaran sekaligus upaya menginspirasi masyarakat,” kata Sutradara, Putu Arya Dhamma Nanda dalam acara itu.

Baca Juga:  Tampil di PKB, Tiga Gong Kebyar Duta Kota Denpasar Puncaki Mebarung dengan ‘Amertaning Wimala Bhuana’

Arya mengatakan, awal mula film dokumenter Resonance of Change ini berangkat dari refleksi mendalam terhadap proses adaptasi sosial individu dalam lingkungan baru, sehingga produksi ini menjadi sarana pembelajaran sekaligus menginspirasi masyarakat.

Putu Arya Dhamma Nanda garap film dokumenter film Resonance of Change/Foto: ist

Proses penggarapannya, berawal dari riset mendalam dan wawancara terhadap tokoh-tokoh yang merepresentasikan tema adaptasi budaya. “Saya mengangkat Jonathan Bailey, pendiri Narwastu Community, menjadi tokoh utama,” ucapnya.

Menurut Putu Arya, kehidupan Bailey yang lebih dari tiga dekade di Pulau Dewata, serta memiliki dedikasi dalam seni tradisional Bali, mencerminkan harmoni dalam adaptasi lintas budaya yang menjadi tauladan.

“Saya juga mengangkat barasumber lain, seperti Andys Skordis, Kadek Astawa dan Jelena Vuksanovic, untuk memperkaya narasi dengan sudut pandang unik mereka tentang perubahan sikap dan kolaborasi lintas budaya,” paparnya.

Baca Juga:  ‘Ngodakin’ dan Ciptakan Souvenir Okokan: Aktivitas PKM ISI Denpasar di Desa Kukuh Kerambitan

Adapun kisahnya, berawal dari Jonathan Bailey yang tinggal di Bali mendirikan sanggar Narwastu, tahun 2005. Ia mengumpulkan sekelompok orang yang ingin belajar memainkan musik gamelan Bali.

Sepuluh tahun kemudian, komunitas ini telah berkembang menjadi enam inisiatif seni, yang masing-masing berfungsi secara independen tetapi saling tumpang tindih. Narwastu memiliki kelompok inti yang terdiri dari orang Bali dan ekspatriat yang tinggal secara permanen di Bali.

Putu Arya Dhamma Nanda foto bersama pendukung dalam acara LATAR) #1 X Sinema 21/Foto: ist

Sanggar ini melibatkan banyak orang selama beberapa bulan hingga beberapa tahun. Ratusan orang ini mewakili lebih dari 20 negara untuk menemukan ruang kreatif untuk mengikuti hasrat mereka. Sanggar Narwastu kemudian menjadi rumah akulturasi budaya antara warga lokal dan para seniman dari mancanegara.

“Pengalaman ini memperkuat pemahaman saya tentang bagaimana perubahan sosial, pergeseran budaya, dan pengaruh lingkungan membentuk identitas individu,” imbuhnya.

Baca Juga:  Ketut Lanus Garap Cak Perkusi Lahir dari Sebuah Tantangan

Menurutnya, proses itu yang mengajarkan ia tentang pentingnya keberanian, ketekunan, dan dukungan dari komunitas dalam beradaptasi dengan lingkungan baru.

Putu Arya mengawali proses pembuatan dengan memilih lokasi syuting. Tempatnya yang ikonik, seperti Museum Wiswakarma dan Sanggar Tawaketa yang menampilkan arsitektur Bali autentik. Pengambilan gambar menggunakan pendekatan ekspositoris.

Tetap mengedepankan pencahayaan dan framing mendalam, sehingga menciptakan suasana emosional dan reflektif. Proses editing dilakukan untuk memastikan keselarasan visi kreatif dengan hasil akhir.

Film ini hadir karena keinginan untuk menginspirasi dan mengedukasi penonton mengenai pentingnya memahami dan menerima perbedaan budaya, serta membangun empati dan solidaritas. Selain melestarikan nilai-nilai budaya lokal di tengah arus modernisasi.

Baca Juga:  Tari Janger Anak-anak Sanggar Lokananta Banjar Mukti di PKB XLV

“Saya memilih format dokumenter karena memungkinkan saya menyajikan realitas sosial secara autentik dan mendalam, menggambarkan perubahan sikap individu dalam menyesuaikan diri dengan norma dan budaya baru,” akunya polos.

Film ini berbeda dengan film fiksi atau iklan. Film dokumenter memberikan kesempatan untuk mengedukasi dan menggali cerita dari berbagai perspektif yang lebih nyata, tanpa mengubah esensinya.

“Dan yang pasti, format ini juga lebih efektif untuk mengangkat isu-isu sosial dan budaya yang tidak terungkap dalam jenis film lainnya, sehingga lebih tepat untuk tema adaptasi sosial dan pelestarian tradisi,” imbuh Putu Arya. [B/Dharma]

Related post