Refleksi Akhir Tahun Kawiya Bali: Pemajuan Kebudayaan Bali Perlu Ditopang Penguatan Ekonomi Krama MENJEL

 Refleksi Akhir Tahun Kawiya Bali: Pemajuan Kebudayaan Bali Perlu Ditopang Penguatan Ekonomi Krama  MENJEL

Sawah yang masih bertahan ditengah ekspansi pariwisata/Foto: dok.balihbalihan

MENJELANG akhir tahun 2025, Kawiya Bali memandang perlu menyampaikan refleksi kritis atas kondisi pemajuan kebudayaan Bali yang tengah berlangsung. Di tengah derasnya arus globalisasi, ekspansi pariwisata, serta tekanan ekonomi-politik yang kian kompleks, kebudayaan Bali menghadapi tantangan serius yang tidak dapat diselesaikan dengan pendekatan seremonial, simbolik, maupun administratif semata.

Kebudayaan Bali bukan sekadar identitas, ornamen pariwisata, atau komoditas ekonomi. Ia adalah sistem nilai, tata kehidupan, dan pengetahuan kolektif yang hidup melalui lembaga-lembaga adat, praktik sosial, serta relasi manusia dengan alam. Karena itu, pemajuan kebudayaan Bali harus dimaknai sebagai upaya memperkuat ekosistem kehidupan masyarakat Bali itu sendiri.

Kawiya Bali menilai, hingga akhir 2025, kebijakan pemajuan kebudayaan masih menghadapi persoalan mendasar, yakni kecenderungan formalisasi budaya tanpa penguatan struktur sosial dan ekonomi pendukungnya. Banyak program kebudayaan berhenti pada tataran event, festival, atau regulasi, namun belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan: melemahnya lembaga adat, tergerusnya ruang hidup masyarakat, serta rapuhnya kemandirian ekonomi krama Bali.

Salah satu pilar utama kebudayaan Bali adalah desa adat. Banyak desa adat menghadapi tekanan alih fungsi lahan, konflik ruang, hingga komersialisasi ritual yang menggerus makna kebudayaan itu sendiri. Kawiya Bali memandang penguatan desa adat harus ditempatkan sebagai agenda strategis pemajuan kebudayaan.

Penguatan ini tidak cukup melalui pengakuan simbolik, tetapi harus diwujudkan dalam perlindungan wilayah adat, dukungan anggaran yang berkeadilan, serta pelibatan desa adat sebagai subjek utama dalam perencanaan pembangunan.

Selain desa adat, subak sebagai warisan budaya dunia dan sistem pengetahuan ekologis Bali juga berada dalam kondisi rentan. Subak bukan sekadar sistem irigasi, melainkan pranata sosial-religius yang mencerminkan harmoni antara manusia, alam, dan spiritualitas. Namun alih fungsi lahan pertanian, krisis air, serta kebijakan tata ruang yang bias pada kepentingan investasi telah menempatkan subak dalam posisi terdesak.

Baca Juga:  Patung JAS, Nasibmu Kini

Pemajuan kebudayaan Bali tidak akan bermakna jika subak hanya dilestarikan sebagai simbol UNESCO tanpa keberlanjutan ruang hidup para petani. Oleh karena itu, Kawiya Bali menekankan pentingnya kebijakan lintas sektor yang menjadikan perlindungan subak sebagai bagian dari agenda ketahanan pangan, keadilan ekologis, dan kedaulatan budaya.

Dalam konteks kelembagaan, Kawiya Bali juga menyoroti pentingnya penguatan Majelis Kebudayaan Bali (MKB) sebagai ruang dialog, refleksi, dan perumusan arah kebudayaan Bali ke depan. MKB mesti menjadi forum strategis yang mampu menjembatani aspirasi komunitas adat, seniman, akademisi, dan generasi muda Bali dalam menghadapi tantangan zaman.

Selain itu, MKB perlu diberi ruang yang independen, inklusif, dan berwibawa untuk mengkritisi kebijakan pembangunan yang berpotensi mereduksi nilai-nilai kebudayaan Bali. Tanpa keberanian intelektual dan kultural, pemajuan kebudayaan akan terjebak dalam romantisme masa lalu dan kehilangan relevansi sosialnya.

Lebih jauh, Kawiya Bali menegaskan bahwa penguatan perekonomian masyarakat atau krama Bali merupakan prasyarat mutlak bagi keberlanjutan kebudayaan. Kebudayaan tidak mungkin tumbuh subur jika pelakunya hidup dalam ketidakpastian ekonomi. Ketika petani kehilangan lahannya, seniman kehilangan ruang berekspresi, dan generasi muda tercerabut dari akar budaya karena tuntutan ekonomi, maka kebudayaan Bali berada dalam ancaman nyata.

Di sini, Kawiya Bali menggarisbawahi peran penting Lembaga Perkreditan Desa (LPD)—lembaga keuangan yang lahir dari, oleh, dan untuk desa adat. LPD bukan sekadar lembaga simpan pinjam: ia adalah sarana pemberdayaan ekonomi masyarakat atau krama Bali yang berlandaskan nilai budaya lokal.

Secara umum, kondisi LPD hari ini menunjukkan dinamika yang beragam. Banyak LPD yang tetap kokoh menjadi pilar ekonomi desa adat, menyediakan pembiayaan bagi usaha mikro, tradisional, dan komunitas lokal. LPD turut berperan dalam menjaga perputaran ekonomi desa, mendukung UMKM berbasis budaya, serta menjadi alternatif sistem pembiayaan yang lebih adil dibandingkan lembaga keuangan komersial.

Baca Juga:  Garap Karya Mengacu Tema PKB XLVII, 21 Sekaa Hasil Kurasi Siap Meriahkan Rekasadana

Terdapat pula LPD yang menghadapi kesulitan, terutama dalam hal akses teknologi, sumber daya manusia, tata kelola, dan tekanan persaingan pasar modal modern. Tantangan ini muncul karena keterbatasan modal kerja, transformasi digital, serta kebutuhan peningkatan kapasitas manajemen yang belum merata antar desa adat.

Terkait hal itu, Kawiya Bali mendorong kebijakan yang memberikan dukungan regulasi dan pembinaan LPD dari pemerintah daerah; mendorong kolaborasi antara LPD, desa adat, serta pelaku UMKM lokal; menyediakan akses teknologi dan literasi keuangan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan LPD. Harus diingat kembali bahwa LPD merupakan milik desa adat, karenanya tiap desa adat sudah semestinya memiliki pararem yang mengatur mengenai keberadaan LPD setempat.

Penguatan ekonomi krama Bali melalui LPD dan pemberdayaan usaha lokal akan memberi dampak positif tidak hanya pada kesejahteraan, tetapi juga pada kelestarian kebudayaan Bali. Ketika masyarakat memiliki basis ekonomi kuat, mereka tidak diperas oleh model pembangunan yang merusak ruang hidup budaya dan lingkungan.

Oleh karena itu, kebijakan pemajuan kebudayaan harus terintegrasi dengan penguatan ekonomi rakyat berbasis desa, pertanian, kerajinan, kesenian, dan ekonomi kreatif yang berakar pada nilai-nilai lokal. Skema ekonomi berbasis komunitas perlu diperkuat agar krama Bali tidak hanya menjadi penjaga budaya, tetapi juga subjek kesejahteraan.

Menutup refleksi akhir tahun ini, Kawiya Bali mengajak seluruh pemangku kepentingan—pemerintah, desa adat, lembaga kebudayaan, akademisi, serta masyarakat luas—untuk memaknai pemajuan kebudayaan Bali sebagai kerja kolektif jangka panjang. Pemajuan kebudayaan bukan sekadar program tahunan, melainkan komitmen moral untuk menjaga martabat, keberlanjutan, dan kedaulatan budaya Bali di tengah perubahan zaman.

Kawiya Bali percaya, hanya dengan memperkuat lembaga adat, melindungi subak, menghidupkan ruang intelektual kebudayaan, serta memastikan kesejahteraan krama Bali, kebudayaan Bali dapat terus hidup, tumbuh, dan bermakna bagi generasi kini dan mendatang. [*]

Related post