Bulfest 2025: Pameran Seni Rupa Topeng, Jejak Budaya dan Ekspresi Kontemporer

 Bulfest 2025: Pameran Seni Rupa Topeng, Jejak Budaya dan Ekspresi Kontemporer

Pameran Seni Rupa Topeng di Bulfest 2025/Foto: Surya Darma

BULELENG Festival (Bulfest) 2025 berlangsung meriah pada 18–23 Agustus di Kota Singaraja, Bali. Kali ini, mengangkat tema “The Mask History of Buleleng: Topeng Leluhur, Jiwa Buleleng”. Festival ini bukan sekadar ruang hiburan, tetapi juga momentum untuk meneguhkan jejak sejarah dan menghidupkan kembali tradisi melalui seni.

Selain pertunjukan seni tradisional dan kontemporer, salah satu agenda utama yang menyita perhatian adalah Pameran Seni Rupa Topeng, yang mempertemukan warisan leluhur dengan tafsir visual para seniman masa kini. Singaraja telah lama dikenal sebagai salah satu episentrum seni topeng di Bali Utara.

Wilayah Tejakula, misalnya, sangat lekat dengan tradisi Wayang Wong, sebuah seni pertunjukan yang memadukan tari, drama, dan penggunaan topeng. Dalam rangkaian Bulfest kali ini, Rumah Jabatan Bupati Buleleng dialihfungsikan menjadi ruang pamer bertema topeng.

Tidak hanya menghadirkan koleksi topeng sakral dan klasik, pameran juga menyuguhkan karya 26 perupa Bali yang menafsirkan simbol topeng dengan beragam gaya dan pendekatan visual.

Baca Juga:  Sekaa Gong Kebyar Gema Giri Kusuma Badung dan Sanggar Seni Anglocita Suara Buleleng Satu Panggung di PKB ke-47

Beberapa karya yang menjadi pusat perhatian publik antara lain:

I Kadek Wiradinata, melalui lukisan “Satu di antara 1000” (40 x 60 cm, oil on canvas), menampilkan wajah Sang Buddha yang tenang dan penuh welas asih. Karya ini menyiratkan pesan spiritual: dalam hiruk pikuk kehidupan modern, figur penuh kasih sejati semakin langka.

Md. G. Karma Wedha, dengan karya “Jati Diri Tidak Harus Dipublikasikan tapi Pembuktian”, menampilkan sosok anak muda berwajah badut dengan jeans robek dari atas ke bawah. Melalui satir visual, ia mengingatkan bahwa identitas seseorang tak bisa diukur semata-mata dari tampilan luar.

Tini Wahyuni, menghadirkan “When the Mask Come Off” (60 x 80 cm, oil on canvas). Lukisan ini tidak menggambarkan topeng secara eksplisit, melainkan simbolis: figur berjubah biru dengan wajah misterius seolah baru saja menanggalkan topeng kepalsuan, sementara gelembung-gelembung rapuh di sekelilingnya menjadi metafora rapuhnya kepalsuan manusia.

Pameran Seni Rupa Topeng di Bulfest 2025/Foto: Surya Darma

Dewa Made Agung Kusuma Wardhana, menafsirkan Topeng Arsa Wijaya, simbol pemimpin bijaksana, dengan visual dramatis: topeng terbelah oleh sayatan pisau tajam. Kritik sosial pun hadir, mempertanyakan masih adakah pemimpin yang benar-benar adil dan berwibawa di tengah pusaran kekuasaan.

Baca Juga:  Bulan Bahasa Bali, Teater 3 Garap Kisah Cinta Made Sarati dan Dayu Priya

Menurut I Made Tegeh Okta Maheri, S.Sn, Kepala Bidang Kesenian Buleleng sekaligus koreografer, pameran ini adalah ruang temu antara seni rupa kontemporer dengan warisan klasik. Selain lukisan-lukisan mutakhir, pengunjung juga dapat melihat topeng Wayang Wong asli dari kelompok Guna Murti Desa Tejakula serta koleksi keluarga Manikan dari Desa Banyuatis, yang dihadirkan di bawah tanggung jawab Gede Yudi Gautama. Beberapa topeng yang dipamerkan merupakan replika dari topeng sungsungan (sakral) yang biasanya disimpan di pura-pura desa.

Pameran juga menampilkan karya maestro tari topeng almarhum I Nyoman Suma Argawa dari Desa Bungkulan, yang bukan hanya dikenal sebagai penari ulung tetapi juga pembuat topeng handal. Salah satu karyanya yang ikonik adalah Topeng Barong Singa, bentuk khas Singaraja yang menggabungkan barong dengan figur singa dan rangda.

Pameran ini menjadi bentuk penghormatan kepada maestro-maestro seni topeng Buleleng yang telah mendunia. Keunikan karakter Wayang Wong Banyuatis, misalnya, memperlihatkan kecerdikan para seniman dalam menciptakan figur-figur berbeda, menjadikan tradisi ini khas sekaligus monumental. Potensi besar ini diharapkan dapat mendorong lahirnya Museum Topeng Bali Utara, sebagai pusat literasi, penelitian, dan wisata budaya.

Melalui pameran ini, Bulfest 2025 menegaskan kembali posisi Singaraja bukan hanya sebagai penjaga warisan topeng, tetapi juga sebagai pusat kreativitas yang terus hidup. Warisan leluhur dipertemukan dengan ekspresi kontemporer, menciptakan ruang dialog lintas generasi.

Baca Juga:  Resurrection Global Humanity

Mudah-mudahan, ke depannya perhatian terhadap seniman Buleleng semakin diperkuat, baik melalui pembangunan museum topeng khas Bali Utara, maupun penyediaan ruang yang lebih representatif sebagai tempat berkesenian. Kehadiran gedung pameran seni rupa permanen akan menjadi tonggak penting, sebagaimana Yogyakarta memiliki ArtJog, Jakarta dengan Art Jakarta, Surabaya dengan ArtSub, hingga Singapura dengan Art SG.

Selain itu, hotel-hotel di kawasan Lovina yang memiliki ballroom juga diharapkan dapat diajak bermitra, menjadikan ruangannya sebagai alternatif ruang pamer seni rupa. Sinergi semacam ini akan memperluas akses seniman dalam mempresentasikan karyanya sekaligus memperkaya pengalaman wisata budaya di Buleleng.

Ruang-ruang semacam ini bukan hanya wadah bagi seniman untuk mengekspresikan ide dan gagasan, tetapi juga mampu mendatangkan devisa dan wisatawan, yang pada gilirannya memberikan dampak ekonomi nyata bagi masyarakat dan daerah.

Sebab, negara yang kuat tidak hanya ditopang oleh persenjataan, melainkan juga oleh kekuatan seni dan budaya yang terjaga dan berkembang. Di sinilah letak kehebatan sebuah bangsa dan daerah: ketika tradisi leluhur mampu berjalan seiring dengan dinamika zaman, sekaligus menjadi daya tarik dunia.

Baca Juga:  Ngerebeg, Tradisi Khas di Desa Adat Tegal : Proteksi Wabah Penyakit dan Pengaruh Negatif

Bulfest 2025 pun hadir sebagai pengingat bahwa seni dan budaya Buleleng adalah aset adiluhung yang patut terus dirawat, dilestarikan, dan ditampilkan dalam wajah yang semakin segar baik bagi masyarakat lokal maupun dunia internasional. [B/I Gede Made Surya Darma]

Related post