Workshop Dasar Tari Bali di Festival ke Uma 2025  

 Workshop Dasar Tari Bali di Festival ke Uma 2025   

Ni Kadek Dwipayani memberikan gerak dasar Tari Bali di Festival Ke Uma V/Foto: Sonhaji

Berbagai program meriahkan ajang budaya tahunan Festival ke Uma V. Acara yang berlangsung di Subak Sidangrapuh, Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan itu diramaikan dengan workshop menari Bali, Mingu 28 September 2025.

Workshop dasar tari Bali itu memang bukan menjadi program yang tercantuk di dalam agenda festival budaya agraris itu. Namun, ketika anak-anak memiliki waktu kosong, tiba-tiba seorang anak bertanya terkait dengan seorang penari yang baik. Seketika itu mereka langsung pratek.

Para peserta, yang seluruhnya adalah anak-anak yang masih duduk di Sekolah Dasar (SD), dan didominasi oleh SD Negeri No. 1 Marga Dauh Puri. Mereka diajarkan beberapa gerak dasar tarian oleh Nyoman Budarsana dan Ni Kadek Dwipayani.

Mulai dari langkah kaki dan jinjit, cara menarik dada, gerak tangan, pinggul, dan naik-rendah tubuh. Yang antara laki-laki dan perempuan, diajarkan masing-masing cara dan bentuknya yang khas.

Baca Juga:  "Paksi Ireng" Ogoh-ogoh Karya Marmar Memikat Wisatawan di Jimbaran Puti A Belmond Hotel

Peserta perempuan, misalnya, diajarkan teknik ngaed, piles kanan piles kiri, ngumbang, dan nyregseg. Sementara laki-laki, diajarkan teknik ngaed, piles kanan piles kiri, malpal dan nayog.

“Kalau tari Bali memang sudah ada pakemnya. Yang tadi itu adalah dasar-dasar gerakan tariannya,” kata Ni Kadek Dwipayani atau biasa dipanggil Dekpa, penari kontemporer, di sela melatih anak-anak.

Ketika itu, melatih beberapa gerak dasar tadi kepada anak-anak. Pada tarian Bali, Dekpa menjelaskan ngagem menjadi titik pembeda yang mana bakal membentuk pada lekuk tubuh si penari, hal ini juga berlaku pada berbagai jenis dasar tarian.

Ngagem pada perempuan cenderung lebih halus atau mengutamakan keanggunan—agar terciptanya keindahan ketika bergerak, ya, ekspresi ada pada wajah atau mata selain lekuk tubuh yang khas, dan gerakan yang agak tertutup.

Baca Juga:  Raih Sertifikat KIK, Permainan “Megandu” Milik Desa Adat Ole

Sementara pada laki-laki, lebih pada gerakan yang tegas, kokoh atau mencitrakan gerakan yang dramatis, juga melalui ekspresi wajah selain lekuk tubuh dan gerakannya yang lebih terbuka.

Tarian Bali, Melatih Otak Bekerja Multitasking

Pada tarian Bali, nyaris semua anggota tubuh itu bergerak. Mulai dari kepala, bagian torso, hingga kaki dan kedipan mata. Yang membuat otak bekerja sepenuhnya.

Berlatih dasar tari sejak kecil, menghasilkan daya ingat dan fokus yang tinggi pada otak ketika sudah ekspert menguasainya.

Hal itu juga—selain membentuk gerak-lekuk tubuh pada si penari nantinya, juga cara berpikir mereka, yang bisa membagi banyak pekerjaan dengan daya-fokus di atas rata-rata.

Baca Juga:  Gebogan Simbol Ketulusan Mempersembahkan Hasil Bumi Kepada Tuhan

“Saat menari. Otak ini memikirkan, otak ini menyebarkan ke semua unsur yang ada di tubuh. Tangan gimana geraknya, kaki gimana geraknya, perut gimana, juga mata gimana, dan ekspresi wajah gimana. Itu bekerja, dipikirkan. Bahkan, bisa otomatis berjalan begitu saja di luar pementasan karena sudah terbiasa,” kata Nyoman Budarsana menjelaskan pentingnya gerak dasar dikuasai.

Sampai di situ, ia juga menjelaskan, bagaimana laku-hidup orang Bali, dalam aktivitasnya, cenderung teatrikal. Karena sudah berdasar gerakannya. Ya, sebagaimana mereka sejak kecil sudah terbentuk.

Masyarakat Bali, memang sejak kecil berurusan dengan tarian. Karena tarian itu terlibat pada urusan ritual agama. Di Pura, terdapat satu istilah ngayah.

Dan para penari perempuan Bali biasanya menarikan tarian untuk Dewa, atau dalam kata lain bersifat spiritual. Dan yang laki-laki melakukan tetabuhan sebagai pengiringnya.

Baca Juga:  Pameran Seni Rupa di Tengah Sawah: ‘Creating New Climate Resilent and Inclusive Cities’

“Yang jelas tarian itu bagian dari persembahan. Selain untuk Dewa, juga untuk diri sendiri,” kata Ni Made Sri Astuti, penari tradisi senior, atau istrinya Nyoman Budarsana.

Ketika menari untuk persembahan spiritual, bayangan tentang kebesaran Tuhan, mengalir pada tarian bebas yang dilakukan di Pura. Tubuh bergerak begitu saja—dengan lentur, mengalir mengikuti alunan musik tetabuhan.

Tarian itu membuat si penarinya, pergi ke dalam diri sendiri atas perenungannya selain persembahan untuk Tuhan. Begitulah kira-kira cerita Ni Made Sri Astuti ketika dirinya ngayah.

Seolah tubuh mengeluarkan hasil rekamannya atas apa yang diserap melalui ingatan, atau sentuhan pada sesuatu. Ya, tubuh selalu responsif atas apa yang diterimanya.

Baca Juga:  Kesenian “Kecak” Awali Prosesi Pembangunan MRO Pertama di Bali

Menyoal pertunjukan seni daerah selain tari lepas, Bali memiliki Arja, Gambuh, dan Drama Gong. Betul-betul kesenian mengalir di pulau ini—selain di nadi orang-orangnya. [B/Sonhaji Abdullah]

Related post