Sayang Kepada Orang Tua, Putu Diky Wahyu Arjaya Garap “Tresna Sih Rupaka”. Ujian Sarjana ISI Denpasar

 Sayang Kepada Orang Tua, Putu Diky Wahyu Arjaya Garap “Tresna Sih Rupaka”. Ujian Sarjana ISI Denpasar

“Meme lan bapa nak tuara anggon cening rerame, nanging cening de sengsaya teken kapitresnan meme lan bapa, kadi rasa melaib labuh meme lan bapa ngaruruh pangupa jiwa pang ade anggon ngetohin cening pianak meme lan bapa”.

Kata-kata itulah yang mendorong Putu Diky Wahyu Arjaya menggarap sebuah komposisi musik berjudul Tresna Sih Rupaka. Pesan yang disampaikan oleh kedua orang tuanya, yakni I Ketut Suarjaya dan Ida Ayu Putu Ariani selalu diingat dalam setiap langkahnya. Untuk membayar jerih payah kedua orang tuanya itu, ia bertekad bisa menjadi anak yang membanggakan. “Karya music gamelan ini sebagai persembahan dan rasa terima kasih saya terhadap orang tua. Karenanya, saya membangun suasana haru, bahagia, sedih, bimbang yang terakumulasi dalam jalinan gending, memenuhi ruang dan waktu guna mencapai keharmonisan,” katanya.

Tresna Sih Rupaka merupakan komposisi karawitan berbentuk Tabuh Kreasi Semar Pagulingan sebuah ungkapan sayang pada otrang tua. Tresna berarti “Kasih Sayang”, dan Sih bermakna lebih serta Rupaka berarti Orang Tua sebagai representasi dari ketulusan kasih sayang orang tua terhadap anak, sekaligus sebagai wujud rasa terima kasih penata terhadap orang tua. “Saya mengungkapan rasa itu melalui kawi gending, sehingga nada-nada yang dibangun mampu berkomunikasi dengan harmonis melalui alur untuk mencapai kesempurnaan,” ucap remaja kelahiran, Denpasar 3 Desember 1999 ini.

Karya tabuh yang juga sebagai syarat menempuh ujian Strata 1 Desiminasi Tugas Akhir Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) Mahasiswa Seni Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar itu telah dipentaskan di Sanggar Bona Alit, Gianyar, Minggu 16 Januari 2022. Untuk mengungkapkan kosep garapan, ia didukung sebanyak 23 orang dan 3 orang gerong (penyanyi) yang berasal dari Komunitas Seni Semal Megamel, Siswa SMK Negeri 3 Sukawati, Mahasiswa ISI Denpasar, dan Mahasiswa UNHI Denpasar.

Baca Juga:  “Tila Kencana” Seni Lintas Prodi Komunitas Usadi Langu ISI Denpasar di Festival Seni Bali Jani

Pemilihan tempat pentas di Sanggar Bona Alit bukan suatu kebetulan. Di samping merupakan MBKM, sehingga ujian akhir kali harus memiliki mitra kerja, juga melihat dari pengalaman berkesenian khususnya Seni Karawitan Sanggar Bona Alit sangat profesionalits dalam memproduksi karya maupun saat menghendel sebuah acara. “Selain itu, dari segi karya banyak menginspirasi saya dalam penggarapan Tresna Sih Rupaka ini. Pedoman berkarya Sanggar Bona Alit yaitu produksi dan bersensasi, serta yang terakhir dalam situasi ini Covid-19 Sanggar Bona Alit memiliki tempat yang strategis untuk melaksanakan proses tugas akhir Merdeka Belajar Kampus Merdeka,” ujar Diky yang tinggal di Banjar Kemulan, Desa Jagapati, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung ini.

Diky menggunakan media ungkap Semara Pagulingan yang memiliki 7 nada untuk dapat mengungkapkan segala ide kreatifnya. Lewat alat musik tradisional ini, Diky merasa leluasa berekpresi dan lebih banyak dapat mengeksplor nada untuk mengungkapkan gagasannya. Setiap nada dari gamelan tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda. Gerong dalam karya ini bukan sebagai pelengkap saja, melainkan untuk memperjelas dan menegaskan suasana. Melalui olah vocal, gerong dapat mempertegas gagasan, sehingga lebih mudah dimengerti oleh penonton.

Tresna Sih Rupaka

Karya berdurasi 14 menit ini mengungkapkan suasana haru, bahagia, sedih, dan bimbang dengan membagi menjadi beberapa bagian. Bagian pertama, merupakan pengenalan instrumen dengan memainkan nada-nada yang menggambarkan orang tua mulai memperkenalkan cara mengasihi anak-anaknya. Orang tua dengan kasih sayang sangat telaten mengajari anaknya untuk berprilaku santun dan berbudi luhur, memohon untuk kelangengan atas cinta kasih baik itu pada keluarga, lingkungan sekitar maupun leluhur.

Bagian kedua, gending-gending lebih menyerupai gegenderan yang mengambarkan orang tua yang sudah memulai memberikan kebebasan untuk memilih dunia anaknya sendiri, akan tetapi tetap dalan pengawasan orang tua. Hal tersebut diungkap melalui kotekan gender rambat dan pola-pola reong, namun tetap berpatokan dengan melodi.

Baca Juga:  Fakultas Pendidikan UNHI Denpasar Pusatkan Pengabdian Masyarakat di Jatim

Di bagian ketiga, menyerupai pengadeng dalam pembagian tabuh. Pada bagian ini, Diky berusaha membangun suasana seorang anak yang telah merasakan kebebasan dan beranjak dewasa. Orang tua tetap memberikan pitutur yang bisa digunakan ketika dewasa nantinya. Dalam bagian ini, Diky menekan pada konteks musikalitas adalah pada vokal dari gerong. Hal itu dikuatkan dengan kata-kata yang berbunyi; “emban antuk budine sadu, budi satwam anggen nasarin, angen ngayomin satwa tumuruh, kawit satya hredara, darma patut angen sesuluh, sai astiti bakti ring widhi”. Artinya pelihara jiwa ini dengan budi yang luhur dan landasi dengan jiwa yang jujur untuk memelihara semua yang ada. Setiap kita berjalan awali dengan mendengarkan hati nurhani, menjadikan kebenaran sebagai cermin dan selalu bersyukur.

Bagian keempat, menyerupai bapang yang menggambarkan keresahan yang terjadi pada diri sendiri. Sebagai anak masih merasakan kebinggungan menjadikan titik awal untuk mencari jati diri. Kekebasan yang dirasakan masih dibatasi tutur orang tua. Penggambaran dalam musikalnya ditunjukan oleh dengan satu pola permainan nada, namun menggunakan tiga patet yang berbeda dalam satu siklus permainan.

Sementara bagian kelima, menyerupai pengecet yang menggambarkan kebebasan seorang anak yang ingin berprilaku dikemudian hari, namun tetap mengingat pondasi-pondasi yang diberikan orang tua. Artinya, sejelek-jeleknya sebagai anak, maka orang tua selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak. “Meyasa kerti utama Hyang, wastu sida labda karya”. Artinya, sebagai anak utamakanlah berbuat baik, niscaya kebahagiaan akan menyertai. Pada bagian ini pula terdapat bagian pola yang sama dengan pola bagian I yang menganalogikan sebagai sebuah perputaran siklus kehidupan, bahwa seorang anak tidak bisa memungkiri akan dimasa depan nanti juga akan menjadi orang tua.

Baca Juga:  “Merayakan Panen” Pameran 31 Mahasiswa ISI Denpasar di LV8 Resort Hotel Canggu

Kostum para penabuh menggunakan perpaduan warna dasar hitam dan putih yang melambangkan rwa bhineda, keseimbangan dan keselarasan dalam menjalani hidup. Dalam karya ini menggambarkan keseimbangan jalan hidup yang dipilih oleh penggarap sendiri dengan tutur yang diberikan oleh orang tua. Tempat pertunjukan itu dihias sangat menarik dan mendukung ide dalam garapan itu. “Stage saya tata sangat menarik agar mendapatkan hasil visual yang lebih menarik, dan enak dipandang,” pungkas Diky. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post