“Pusaka Ki Tadah Satru”, Drama Gong Sanggar Dewa Ruci Hibur Pengunjung PKB Ke-44
Drama gong tidak kehilangan pamor dihadapan para penggemarnya. Kesenian tradisional Bali yang mengutamakan acting serta vocal itu masih diminati. Bahkan, dalam setiap pentasnya masih memiliki penggemar. Sebut saja pada pementasan di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 ini. Ketika drama gong dari Sanggar Dewa Ruci dari Banjar Lambing, Desa Sibang Kaja, Kecamatan Abiansemal, Duta Kabupaten Badung di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Jumat 24 Juni 2022 malam diminati pengunjung.
Penonton, tak hanya datang dari kalangan orang tua, bahkan anak-anak dan remaja pun ada. Pergelaran drama itu seakan sebagai obat kerinduan para seniman yang tampil terobati ketika kembali menjajal Panggung Ayodya. Kisah yang diangkat juga sangat menarik, sarat dengan petuah-petuah dalam menjalani masa hidup di jaman ini. Drama gong dari Sanggar Dewa Ruci dari Banjar Lambing ini mengangkat lakon ‘Pusaka Ki Tadah Satru’ denga iriangan gamelan gong kebyar.
Pentas kali ini, para pemain drama itu merasa sudah rindu sekali dengan pementasan secara langsung. “Diselenggarakannya kembali PKB secara offline, para seniman muda pun kami kembali rekrut dan dibina. Setelah dua tahun pandemi, sekarang kerinduan mereka terobati tampil di PKB. “Untuk tampil di PKB, Sanggar Dewi Ruci melibatkan sebanyak 12 orang seniman diiringi belasan penabuh dari Sanggar Seni Jayengrat dari Desa Taman, Kecamatan Abiansemal, Badung,” ungkap Ida Bagus Gede Mambal coordinator serta pelatih drama gong itu.
Untuk periapan pentas ini, Gus Mambal menyebutkan, karena sudah ada pengalaman sebelumnya, sehingga tidak memerlukan waktu lama dalam persiapan. Konsep hingga proses latihan cepat, dan pelatih agak mudah dalam membina. Kendalanya hanya waktu latihan saja. Waktu bertemu untuk latihan bersama cukup singkat, tidak lebih dari empat kali. “Mengingat mereka masing-masing juga tampil di beberapa agenda kegiatan seni,” terangnya.
IB Gede Mambal melanjutkan, lakon Pusaka Ki Tadah Satru menceritakan sebuah pusaka yang akan keluar dengan sendirinya bila ada musuh maupun bahaya. Setelah pusaka itu mendapatkan satru (tetadahan), maka pusaka itu akan kembali sendiri pada sarungnya. Pada suatu ketika, pusaka tersebut mengamuk dan mengenai raja dari kerajaan Amerta Pura. Sang raja pun terbunuh, hingga pemerintahan diganti oleh sang adik.
Suatu ketika, raja yang memerintah saat ini mendapat petunjuk dari Bhagawanta agar segera dilaksanakan upacara yadnya yang disebut dengan Tawur Nawagempang dan mererebu ring segara, menyucikan pusaka tersebut ke laut maupun danau. Diutuslah Putra Mahkota yang bernama Raden Jaya Semara pergi ke hutan mencari sarana yadnya (getih warak, buron tukang).
Karena di tengah hutan tiba-tiba hujan deras dan banjir, Raden Jaya Semara mampir di sebuah pedukuhan bernama Pedukuhan Alas Raketan. Mampir selama tiga hari, Putra Mahkota Kerajaan Merta Pura itu jatuh cinta dengan Luh Karuni, salah satu anak Ki Dukuh. Ki Dukuh merestui cinta mereka dan membawa Luh Karuni ke kerajaan Merta Pura untuk dinikahi.
Setelah tiba di kerajaan, pro kontra terjadi. Luh Karuni sempat difitnah, disiksa dan ingin dikembalikan ke pedukuhannya. Pada saat yang sama, Ki Dukuh menghadap ke istana untuk mempersembahkan daging yadnya dan mengetahui perlakuan yang didapat anaknya. Di sini lah Ki Dukuh menceritakan asal usul kelahiran Luh Karuni. Pada saat huru hara di kerajaan, di mana pusaka mengamuk dan raja yang dulu terbunuh, istrinya sedang hamil besar lari ke hutan dan diselamatkan oleh Ki Dukuh.
Saat itu, anaknya berhasil diselamatkan, namun nyawa ibunya tidak tertolong. “Saat lahir, anak itu berbantal sarung pusaka dibungkus selendang. Setelah dibuka, ada tulisan dari darah ‘Diah Karunia Dewi Amerta Pura’. Jadi, Luh Karuni adalah putri raja. Akhirnya raja yang sekarang bersama agar yadnya dilaksanakan terlebih dahulu, setelah itu mereka dijodohkan,” jelasnya. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali