Festival Ke Uma 3 Digelar di Areal Subak Kekeran Tampilkan Tiga Lomba Aktivitas Tempo Dulu
Festival Ke Uma untuk ketigakalinya, berlangsung Sabtu-Minggu, 9-10 Juli 2022. Festival kali ini dilaksanaakan di areal persawahan Subak Kekeran, Banjar Kekeran, Desa Penatahan, Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Meski acara dan konten yang dilaksanakan hampir sama dengan sebelumnya, namun festival yang digelar Sanggar Buratwangi dan Sanggar Wintang Rare kerjasama dengan Kubu Bali Women Crisis Centre (Kubu Bali WCC) itu berlangsung meriah. Alam desa yang damai seakan mengajak semua peserta melihat kembali aktivitas petani yang ditelan jaman.
Festival ke Uma 3 diawali dari aktivitas yoga menyongsong sinar mentari deaa yang penuh harapan. IGR Panji Tisna sebagai instruktur yoga memandu pesera dengan sungguh-sungguh. Aura posiyif dari peserts yoga membua alam persawahan menjadi semakin damai. Setelah peserta yoga mengakhir aktivitasnya, Festival Ke Uma 3 kemufian dibuka oleh Perbekel Desa Penatahan Nengah Suartika, Sabtu (9/7) pagi.
Materi lomba Festival ke Uma 3 kali ini lebih meriah dan bersifat partsipatif dari sebelum-sebelumnya. Ada tiga jenis lomba yang dipergelarkan dengan tiga kategori, yakni anak-anak, remaja dan dewasa. Kategori ibu-ibu mengawali dengan lomba nyuun saang (menjunjung kayu bakar) yang mirip perempuan desa tempo dulu. Hanya saja dikolaborasi dengan sekarang, yakni diisi menari atau goyang, hinggga mengundang gelak tawa pengunjung. Lomba ini diulang beberapa kali, sehingga menjadi tontonan menarik.
Pada lomba beikutnya, pesertanya masih ibu-ibu dengan materi nyuun dagdag (menjunjung bahan makanan babi). Walau semua peserta lolos dalam lomba itu, tetapi tidak semuamya tampak pasih nyuun gadgad. Banyak peserta yang dagdagnya mering sana sini karena tidak terbiasa mesuunan. Pemandangan itu, tentu saja menjadi bahan tertaeaan pengunjung festival. Hal menarik lagi, setiap jenis benda yang disuun, mrnjafi pertanyaan pengunjung utamanya anak-anak. Itu artinya, mereka memang belum tahu apa itu saang dan dagdag.
Ketika pemandu lomba akan melamjutkan pada jenis lomba berikutnya, tiba-tiba kaum bapak bapak keranjingan, mereka minta diberikan kesempatan ikut sebagai peserta lomba. Seketika itu, bapak-bapak langsung mengambil saang itu, lalu menjunjung walau tanpa aba-aba. Pemandu yang tegas menghentikan, lalu mengatur sesuai dengan ketentuan yang disrpakat. Peserta dari kaum pria ini terus mengalir, bahkan Perbekel Desa Penatahan, Babinkantibmas, dan Babinsa desa itu spontanitas juga ikut berpartidipasi nyuun saang Bahkan, babinsa dan perbekel keluar sebagai pemenang saking stabil nyuun saang juga memiliki goyang yang mantap.
Lomba paid upih di sawah juga tak kalah menarik. Sawah yang tanahmya sudah “nyarang” (rata dan halus) menjadi ajang mereka untuk berekpresi. Walau ini ajang lomba, tetapi mereka lebih banyak menampilkan gerak-gerak tari mengikuti iramaa musik tiktok. Peserta yang pasangannya tak seimbang (kecil dan besar), tampak susah menarik upoh ketika anak yang besar duduk dan anak yang kecil menariknya. Itu memang kreteria, karena setelah sampai pada garis pundukan (pematang) sawah, anak-anak itu harus bertukar. Sontak adegan itu mengundang tawa. Pe gunjung tertawa terpingkal-pingkal ketika anak kecil yang tak mampu menarik upih, tetapi teyap goyang happy.
Perbekel Nengah Suartika saat membuka festival mengatakan, Penatahan merupakan daerah agraris yang hampir 80 persen merupakan petani yang menggarap sawahnya. Karena itu dengan adanya festival ini akan dapat memberikan pemahamab pentingnya sawah di mata anak-anak. “Mudah-mudahan ke depan festival ini kembali digekar di Desa Penatahan, karena daerah kami terdiri dari 6 banjar yang memiliki sawah masih asri,” harapnya.
Dengan kegiatan festival ini bagus untuk mengangkat kearifan lokal yang sudah banyak dilupakan masyatakat. Dengan festival ini Tabanan sebagai lumbung beras Bali bisa dipertahankab. Bagaimanaoun julukan Tabaanan sebagai lumbung beras Bali patut dijaga. Dengan adanya Festival ke Uma ke 3, dapat memberikan respon baik kepada peserta, dan kepada masyarakatnya. Subak dan pekaseh mesti tetap mengangkat kearifan loksl khususnya di Penatahan. “Saya rasa festival ini mengingatkan kita untuk menggali kearifan lokal. Saya sendiri ini juga penting, apalagi Desa Penatahan sedang mengembangkan desa wisata, sehibgga kegiatan seoerti ini sangat penting,” sebutnya.
Festival ini sangat mendukung keinginan untuk menuju desa wisata, apalagi sesuai dengan karakter desa yang sedang mengembangkan desa wisata, dan UMKN, dan yang terpenting meningkatkan pertanian nantinya. Karena festival ini benar-benar mengenalkan sawah kepada anak-anak yang belum tahu dengan aktiviitas persawahan. Meteka lebih banyak tahu sawah dari buku, bukan dari sawah secara langsung. “Jujur anak anak sekatang jarang yang memiliki niat ke carik, aoalagi mau memjadi petani. . Jika carik ditinggalkan, maka siap-siap carik ditimbuhi beton,” imbuhnya.
Made Adnyana Ole selaku penggagas acara mengatakan, Tabanan ini sebagai daerah agararis. Nah festival dibuat untuk mengingatkan diri kita dan anak-anak bahwa Tabananan masih tetap sebagai daerah agraris yang memiliki banyak permainan tradisional, tradisi dan kesenian yang betkaitan dengan daerah persawahan. “Festival ini hanya mengingatkan kalau di Tabanam itu masih menjadi lumbung berasnya Bali, maka kita harus tetap menjaga dan meningkatkannya. “Apalagi tradisi pertanian itu banyak melahirkan kesenian. Ya, awalnya muncul dari pemainnam yang kemudian berubah menjadi kesenian. Dari aktivitas pertanian melahirkan berbagai permainan, seperti permainan yang diadakan di arena berlumpur, di sungai, dan lainnya,” paparnya.
Festival ke Uma digelar pertama tahun 2017, lalu sempat jeda. Dua festival diselenggarakan di subak di Marga, Tabanan, dan yang ketiga ini dibawa dan diselenggarakan keliling di Tabanan, di daerah-daerah yang masih memiliki areal persawahan. “Kami membawa Festival ke Uma di daerah persawahan yang ada di Tabanan sekaligus menggarap permainan yang ada untuk diperkenalkan kepada masyarakat. Mungkin tak pesat pengaruhnya, tetapi dapat membeti pengaruh pada anak-anak secara perlahan, dan kecintaan anak-anak pada sawah dan pada leluhur yang menciptakan sawah,” katanya.
Festival ke Uma 3 diawali dari kegiatan yoga menyongsong terbitnya matahari di sawah. Yoga dipandu oleh I Gusti Ngurah Panji Tisna. Kemudian lomba-lomba, seperti Lomba Paid Upih, Lari Menggendong, Nyuun Saang (Kayu Bakar), Nyuun Dagdag. Lomba ini tak hanya diikuti masyaralkat umun juga diikuti perbekel, babinsa dan babinkamtibmas di Desa Penatahan.
Dimeriahkan pula Gender Wayang dati Sanggar Seni Eka Satya Budaya, Sosialisasi Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak, Pembuatan Eco Dupa, Workshop Teater, dari Mahima, Permainan “Megandu” oleh Wayan Weda, lalu Pentas Seni “Men Tiwas Men Sugih” (Komunitas Mahima), Musik Puisi (Komunitas Budang Bading, Badung), Musik Puisi (Komunitas Jalan Air) dan “Pan Jempiyit” (Teater Kalangan). “Besok, Minggu, 10 Juli 2022 diisi Lintas usunan (jalan santai) menyusururi desa kekeran, Wanda Mendongeng dan Workshop Melihat Gempa,” imbuhnya. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali