Lomba Musikalisasi Puisi Festival Nasional Seni Pelajar Jembrana VI. Pemenangnya: Sakura, Komunitas Budang Bading Badung, Teater Solagracia dan Lokatraya
SMA Negeri 1 Kuta Utara (Sakura) berhasil sebagai juara I pada Lomba Musikalisasi Puisi Jenjang SMA – Festival Nasional Seni Pelajar Jembrana VI – 2022. Menyusul kemudian, Komunitas Budang Badung Badung sebagai juara II, selanjutnya Teater Solagracia SMAN 1 Negara sebagai juara III dan LOKATRAYA – SMA Kesatuan Bangsa Yogyakarta sebagai Juara Harapan. Lomba tingkat nasional yang digelar Komunitas Kertas Budaya dari 14-29 Oktober 2022 itu menghadirkan tiga dewan juri, yaitu Nanoq Da Kansas, I Wayan Sumahardika dan Heri Windi Anggara.
Dalam loma yang diikuti sekitar 14 peserta itu, masing-masing peserta membawakan dua musikalisasi puisi yang terdiri dari puisi wajib dan puisi pilihan, secara Dalam Jaringan (Daring). Dari sisi kualitas, seluruh peserta tampil dengan baik dan lebih maju dari sebelumnya. “Saya mengapresiasi apa yang ditampilkan pada Festival Nasional Seni Pelajar Jembrana VI ini memang ada kemajuaan. Musikalisasi puisi menjadi satu hal yang cukup penting, kalau kita bicara ekosistem sastra di Indonesia,” kata Suma sapaan akrab dari I Wayan Sumahardika.
Puisi dalam kontek ini, akan mempunyai perkembangan distribusi yang cukup pesat, selain adanya buku juga ada musikalisasi puisi. Jadi orang bisa berjumpai puisi, tidak hanya dengan cara membaca buku, tetapi juga bisa mendengarkan lewat lagu musikalisasi puisi. Apa yang dilakukan teman-teman dalam kontek sebagai peserta lomba musikalisasi puisi, sejatinya sedang menumbuhkan ekosisten sastra, khususnya puisi. “Orang yang sedang berkarya musikalisasi puisi, itu juga sedang menumbuhkan ekosistem sastra,” tegasnya.
Peserta lomba kali ini cukup berpotensi mengembangkan pratek berpuisi lebih lanjut, jika dibantingkan dengan peserta yang lainnya. Sebab, yang menarik dalam lomba ini tidak seperti lomba-lomba musikalisasi pada umumnya. Ada satu ketentuan, format yang dilakukan panitia untuk menuntut para peserta menjadi lebih progresif. Karena selain mewajibkan mengaransemen musikalisasi yang baru, juga meng-cover lagu musikalisasi puisi. Artinya, lomba musikalisasi yang satu formatnya diwajibkan dalam memformat satu musikalisasi puisi.
Dalam kontek cover musikalisasi puisi ini ada beberapa catatan, pertama praktik cover musikalisasi puisi ini bisa memperpanjang usia musikalisasi puisi. Biasanya, musikalisasi puisi dihidupkan pada dua cara, yaitu lomba diwajibkan untuk membuat karya musikalisasi puisi baru dan terus menerus menggelar lomba, maka dicetuskan juga membuat yang baru. Kedua, distribusi. Selain musikalisasi puisi ini dihidupkan lomba, juga dihidupkan oleh komunitasnya. “Dalam kontek tertentu itu bagus menciptakan iklim kepenontonan, tetapi dalam kontek yang lain itu menjadi angin segar. Cover musikalisasi puisi untuk mengembangkan dan membina generasi musikalisasi puisi,” imbuhnya.
Cover itu penting untuk mengembangkam komposisi musik puisi berikutnya. Cover itu ada diantara ruang puisi dan musik. Cover itu juga sebagai cara memperpanjang konten produk musikalisasi puisi. Namun, yang perlu diperhitungkan lagi, hak cipta musikalisasi puisi itu sendiri. Dengan begitu, pembuat puisi diapresiasi, pembuat musik juga penyair pembuat lirik serta aranger. “Hak cipta ini penting. Ketika membawa musikalisasai seseorang, paling tidak nama pembuatnya disebutkan sebagai bentuk penghargaan hak cipta,” ungkap Suma.
Sementara Heri Windi Anggara sangat kagum dengan potensi-potensi musikalisasi puisi yang bisa hadir di festival ini. Namun ada yang mesti diperhatikan dalam membawakan musikalisai puisi. Ingat, musikalisasi puisi itu hadir karena dua unsur, yaitu puisi dan musik. Jadi diantara dua unsur itu tak bisa saling membunuh dan mengorbankan. Mesti saling mendukung. “Kalau menjadikan puisi itu lirik biasa, maka tidak akan bisa berhasil mengungkap kunci-kunci yang hadir dalam puisi itu. Makanya, dalam musikalisasi puisi yang baik, pasti diawali dari pembacaan puisi yang baik, dilanjutkan dengan pembedahan makna dari puisi itu,” ungkanya.
Meng-cover puisi wajib dilakukan. Ketika meng-cover, ada potensi yang bisa digali entah dari lubang-lubang yang disediakan dari panitia atau memunculkan kemungkinan permainan baru. “Misal, coord-nya dari pertemuan mayor lalu dibuat minor. Mungkin ketika menggubah tempat dipercepat atau bar-nya kita permainkan lagi. Kemungkinan itu banyak bisa hadir, namun dengan catatan bagian “song” nya, iramanya tak jauh berubah. Cuman hanya pemanis. Artinya, bagian utuhnya harus tetap ada,” bebernya.
Penggunaan alat juga menjadi pertimbangan. Ketika menggunakan alat konvensionsl, semisal batu, plastik, kayu dan lainnya harus dimengerti dan tahu untuk apa memakai alat itu. Jangan hanya sebatas gagah-gagahan. Semua yang ingin dimunculkan atau dibawa ini mesti dipertimbangkan dengan matang keungulannya. “Misal plastik kresek ketika tak kena mikropun kedengarannya mungkin cukup saja, tetapi ketika kena mikropin, maka karakter suaranya akan berubah. Bukan aliran air yang terdengar, tetapi suara api kebakaran,” paparnya.
Dalam musikalisasi puisi, alat itu bisa menjadi ruhnya. Ketika memainkan puisi dengan kesungguhan hati, itu pasti beda cara menggesek alatnya, seperti halnya dalam dunia teater. Hati-hati pula mem-fusian-kan alat gamelan Bali dan gitar. Jangan sampai menghasilkan suara agak sumbang, karena tidak mau cuning. “Saya lihat, ada beberapa peserta yang ingin berguman dengan nada-nada yang agak miring, sehingga keluar dari jalur. Ingat, ada hukum-hukum musik didalamnya, seperti puisi tak boleh memenggalkan dan menghilangkan kalimat,” imbuh Heri.
Membuat karya direkam, ini sama-sama membuat performance, namun bukan berarti harus ada tarian. Bukan pula hanya berdiri memainkan musik. Pemusik juga mesti bisa memberi ruh musikalisasi puisi itu, karena vocal hanya sebatas penyampai saja. “Ketika bermain gitar polos, maka yang menyanyipun akan sama pletnya. Puisi itu bukan kita yang buat, pengalaman itu, juga tidak sama, maka bangunlah pengalaman-pengalaman itu. Pemusik membangun suasana itu agar penyanyi merasakan semua itu. Kalau penyanyi yang menggali rasa, maka itu tak akan sampai. Maka, kerja tim itu yang bagus,” selorohnya.
Dengan meyakinkan, Hery lalu mengajak para peserta untuk menampilkan aransemen-aranesen puisi yang baru, sehingga akhirnya akan ada banyak genree yang hadir. “Kita tak berpikir arasemen itu hadir, kita menari puisi dengan aransemen yang kita buat, tetapi kalau kita bisa bongkar puisi membuka peluang-peluang, membongkar lebih puisi itu untuk menjadi musikalisasi puiai yang baru. Bukan menstranfer puisi ke dalam musik yang sudah dibuat, karena tak akan terasa hidup,” ucapnya.
Sementara Nanoq Da Kansas mengatakan, panitia dan para peserta sangat bahagia karena mendapat apresiasi dari dua juri. Karena kedua juri itu memberikan tip-tip khusus, sehingga sebagai bentuk workshop untuk musik puisi. Apresiasi dan sebagai tip yang bagus. Karena, peserta kali ini, banyak yang miss, lepas dari interprestasi dari jiwa puisi. “Ingat, puisi itu kumpulan kata, dan setiap kata diperhitungkan oleh penyairnya, dan itu memiliki fisikologi dan tujuam tertentu. Tetmasuk alatnya. Alat pun punya fisikologi yang harus diilhami. “Itulah kelemahan pada lomba kali ini,” ucapnya.
Saati ini, Festival Nasional Seni Pelajar Jembrana VI menggelar 4 jenis lomba, yaitu Baca Puisi bagi siswa SD, SMP, SMA/K sederajat, Cipta Puisi jenjang SMA/SMK/MA, Musikalisasi Puisi jenjang SMA/SMK/MA dan Mahasiswa dan Poster Digital untuk jenjang SMA/SMK/MA. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali